by

Mujahidin, Sang Guru Umar Patek Tobat

Kalimat ‘Dulu NU, Muhammadiyah, NKRI; Musuh Saya’ dari mantan, teroris Abdurrahman Ayyub membuat terpukau peserta dialog tentang radikalisme dan terorisme, di Pondok Pesantren Mambaul Ulum, Kecamatan Sukowono, Kabupaten Jember, Jawa Timur, Sabtu (12/9).

Abdurrahman adalah mantan petinggi Jamaah Islamiyah, jaringan teror yang ditakuti Barat. Karirnya dalam gerakan radikal lumayan mentereng. “Saya dulu melawan Rusia di Afganistan. Kalau karir saya diteruskan, saya bisa setara komjen (komisaris jenderal dalam kepolisian),” katanya disambut tawa hadirin.

Gara-gara Kedangkalan Agama

Abdurrahman memasuki gerakan Islam radikal sejak duduk di bangku sekolah teknik menengah. “Kerjaan saya dulu tawuran. STM itu kan Sekolah Tidak Mikir. Tapi begitu didakwahi ustadz, tujuan hidup saya berubah,” katanya.

Ustadz ini menarik perhatian Abdurrahman kepada agama. Semangat jihadnya terbakar, begitu mendapat penjelasan mengenai ayat-ayat dan hadits mengenai perang suci.

Sang ustadz mengajarkan kepadanya bahwa Indonesia negara jahiliyah, karena berpedoman pada Pancasila dan UUD 1945, bukan pada Al quran dan hadits Nabi Muhammad. Maka, sah bagi Abdurrahman untuk memeranginya.

“Saya tidak pernah ngaji dan masuk pesantren, ya telan saja. Soalnya saya diberitahu: kalau kamu tidak hijrah batin dari NKRI ke Negara Islam Indonesia, maka salat, puasa, dan ibadah kamu sia-sia. Kalau mati tidak berbaiat, maka mati dalam keadaan jahiliyah. Kalau kamu dengan NKRI sama saja kafir dan mati jahiliyah. Siapa yang tidak ngeri,” kata Abdurrahman.

Perangi NKRI

Abdurrahman berbaiat kepada Negara Islam Indonesia Aceh Merdeka yang terdiri atas pengikut Daud Beureuh. Ia kemudian pindah menjadi pengikut duet petinggi NII, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir, di Ngruki, Solo.

Tekanan Orde Baru membuat kelompok NII hijrah ke Malaysia dan Afganistan. Abdurrahman memilih menyeberang Afganistan dan mempelajari militer dari medan tempur sesungguhnya. Saat itu sejumlah faksi di Afganistan berhadapan dengan Uni Soviet.

Perang Afganistan juga menjadi ajang konsolidasi kekuatan NII. “Kami menyusun kekuatan untuk memerangi NKRI. NKRI adalah negara kafir yang patut diperangi,” kata Abdurrahman. Ayat dan hadits dipelintir menjadi pembenar.

Tahun 1991, Abdurrahman kembali ke Indonesia setelah lima tahun di Afganistan. Namun ia segera menemukan medan perang baru, yakni Moro, Filipina Selatan. Ia di sana selama lima tahun.

“Saya mudah saja keluar-masuk perbatasan tanpa paspor dan bawa senjata. Teroris tak akan berkembang tanpa ada celah-celah yang bisa ditembus dengan duit. Saya menyeberangi perbatasan mudah,” kata Abdurrahman, mengungkap bagaimana praktik suap terhadap petugas terjadi di perbatasan antarnegara.

Abdurrahman pun sempat berada di Ambon selama lima tahun, terlibat pertempuran di sana. Sementara itu keluarganya sudah merelakan dirinya. “Bapak saya NU, ibu saya Muhammadiyah. Bapak berpikir saya sudah mati. Tidak tahunya saya muncul lagi setelah sekian lama tidak tahu di mana saya. Begitu kerasnya doktrin (radikal) hingga orang tua tidak dianggap,” katanya.

Radikalisme Rusak Harmonisasi Keluarga

Itulah yang kemudian membuat Abdurrahman sedih. Radikalisme dan terorisme menghancurkan harmonisme keluarga. Ia menyebut dua gembong teroris, Umar Patek dan Imam Samudra, sebagai muridnya. “Saya sedih. Jangan sampai anak keturunan saya seperti saya, tidak kenal dengan keluarga,” katanya.

“Banyak ribuan orang seperti saya, dan salah kalau ada yang menyebut teroris itu dasarnya adalah kebodohan. Umar Patek itu menguasai berbagai jenis racun. Ia bisa membuat racun dari bahan alam. Ia menguasai berbagai jenis peledakan, dan bisa membuat bahan peledak dari bahan legak,” kata Abdurrahman.

“Jangan sangka teroris itu ada karena kemiskinan atau karena perut. Tidak. Saya pernah ngobrol dengan Osama bin Laden. Dia dari keluarga. Keluarganya memecatnya karena dia keras, dan akhirnya dapat harta 500 juta dollar. Dia investasikan untuk membiayai akademi militer Mujahidin,” kata Abdurrahman.

Doktor Azahari, jago pembuat bom yang tewas di Malang, jelas bukan orang miskin dan bodoh. “Rata-rata pelaku bom bunuh diri kurang smart (cerdas). Tapi perancangnya orang-orang pintar. Azahari itu kopral (dalam Jamaah Islamiyah). Bisa dibayangkan, kopral saja kaya begitu. Yang bintang tiga bagaimana,” kata Abdurrahman.

Abdurrahman bertobat dan menampik menjadi bagian JI, setelah terjadi perpecahan. Sebagian orang JI seperti dirinya menginginkan gerakan tetap berpedoman pada petunjuk jihad, yakni berperang dengan mengikuti etika zaman Nabi. Namun sebagian anggota JI lainnya memilih mengabaikan aturan dan etika itu. Mereka mengikuti petunjuk Osama bin Laden untuk mengebom target-target yang bersinggungan dengan Amerika Serikat, terlepas apakah itu sipil atau militer.

ISIS Paling Berbahaya

Salah satu pecahan Jamaah Islamiyah yang paling berbahaya adalah pendukung Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). “Mereka tidak disiplin, sangat berlebihan, dan tidak tahu aturan,” kata Abdurrahman.

Pola rekrutmen mereka juga lebih masif dan berbahaya, karena memanfaatkan jaringan internet. “Dulu, jika mau berbaiat, saya harus datang ke tempat itu langsung. Sekarang ISIS bisa berbaiat melalui internet atau online,” kata Abdurrahman.

Abdurrahman menyebut keluarga sebagai pintu menangkal terorisme. “Informasi dan globalisasi begitu cepat, kita tak bisa aman, karena mereka punya daya tarik besar. Perhatikan anak-anak kita, apa yang mereka baca dan akses dari situs-situs,” katanya.**

Sumber : manhajsalafi.com

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed