by

Muallaf dan Pengamen

Oleh : Ahmad Sarwat

Dihitung-hitung saya banyak juga ketemu muallaf. Tentu bahagia kalau melihat ada orang dapat hidayah. Saya sering juga diminta kasih arahan dan petunjuk kalau di suatu masjid ada muallaf yang baru menyatakan keislaman. Namun saya lama-lama kok merasa kasihan kepada para muallaf ini ya. Sebab yang saya temui rata-rata mereka jarang sekali yang sampai ditangani dengan benar. Rata-rata cuma jadi muallaf abadi. Setelah sepuluh tahun pun masih jadi muallaf terus. Nggak nambah-nambah ilmu dan pemahaman agamanya.

Beda banget dengan para muallaf di masa kenabian. Sebutlah misalnya keempat shahabat nabi SAW yang mulia, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhum. Mereka itu dulunya kan bukan orang Islam. Lahir dengan ayah ibu kafir dan berada di lingkungan musyrikin Mekkah.Lalu satu per satu mereka dapat hidayah dan masuk Islam. Di zaman kita sekarang mereka pasti disebut sebagai muallaf. Tapi mereka muallaf bukan sembarang muallaf. Muallaf plus plus plus. Mereka tidak berhenti sekedar baca syahadat. Namun mereka belajar banyak sekali semua hal dalam Islam. Mendalami Quran dan mendampingi Rasulullah SAW dalam kesehariannya.

Mereka muallaf tapi cerdas, pintar dan berilmu. Sampai jadi rujukan dalam segala hal terkait ilmu keislaman. Mereka jadi sosok paling mengerti Al-Quran, As-Sunnah serta jadi rujukan primer dalam hukum syariah sepanjang zaman.

oOo

Seharusnya semua muallaf kayak mereka. Belajar mendalami agama Islam sampai jadi pakar dan rujukan agama. Saya cuma penasaran saja, kok para muallaf kita hari ini tidak ada yang kayak para shahabat itu ya? Mungkin saya yang kuper atau kudet. Tapi setahu saya belum pernah ketemu muallaf yang mendalami ilmu agama sehingga sampai menjadi pakar di berbagai cabang ilmu keislaman. Apakah jadi pakar ilmu tafsir, atau pakar ilmu hadits, atau pakar ilmu fiqih, atau pakar ilmu Ushul fiqih, pakar nahwu sharaf, pakar qawaid fihiyah, pakar maqashid syariah, dan lainnya.

Seingat saya belum pernah ketemu muallaf yang bisa baca kitab gundul atau kitab turats para ulama. Pak Syafi’i Antonio mungkin bisa dijadikan salah satu pengecualian. Sering-seringnya cuma ketemu yang jadi penceramah di atas panggung. Ya sudah lumayan sih pinter ceramah. Tapi . . .

Jadi penceramah itu kan ada kelas-kelasnya juga. Ibarat musisi, kan ada kelas-kelasnya. Ibaratnya kayak Bethoven vs pemusik amatiran di jalanan. Dua sisi yang beda kelas jauh. Penjaja musik jalanan sih kelihatannya sekilas sudah mirip musisi. Kan kemana-mana nenteng gitar. Pokoknya penampilan cukup meyakinkan. Tapi begitu nyanyi, tergantung yang dengar. Kalau sama-sama bukan musisi betulan, atau orang awam musik kayak saya, pasti tidak tahu bedanya. Tapi kalau yang mendengarkan seorang pakar di bidang musik, pasti langsung ketahuan kelasnya.

Bukan bermaksud menghina profesi pengamen jalanan. Tapi asal tahu saja bahwa biar bagaimana pun para musisi tetap ada kelas-kelasnya. Ibaratnya kalau cuma ngamen di lampu merah sih tidak perlu sekolah musik. Modal tutup botol pun jadilah. Dalam membawakan lagu pun tidak perlu tahu judulnya, siapa pengarangnya, bahkan tidak perlu hafal syairnya juga. Yang penting ngamen dan dapat duit, lalu selesai. Apakah orang kasih duit karena terhibur atau biar cepat pergi, pengamennya juga nggak peduli. Masa bodo amat.

oOo

Tapi tentu ada juga musisi besar yang mengawali debutnya mulai dari pengamen jalanan. Bedanya tentu mereka selain punya talenta, juga banyak belajar musik, siap digembleng dan punya mental baja. Tidak asal ngamen sekedar untuk dapat uang receh. Dan yang paling penting, harus ada guru musik yang siap membina pengamen jalanan, biar paham musik dan mahir bermusik. Sayangnya, para muallaf itu kok banyak yang bernasib seperti pengamen jalanan. Tidak ada yang membina sampai jadi musisi betulan. Disitu saya merasa kasihan . . .

Sumber : Status Facebook Ahmad Sarwat

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed