by

Mereka Kecewa Ternyata Muhammadiyah Moderat

Laporan WSJ berjudul “How China Persuaded On Muslim Nation to Keep Silent on Xinjiang Camps” sebenarnya sama sekali tak berdasar dan hanya berangkat dari sentimen perang dagang Amerika Serikat melawan Tiongkok. Jelas sekali sikap MUI, NU dan Muhammadiyah selama ini menentang keras pelanggaran HAM kepada suku Uighur. Hal itu sejalan dengan sikap RI yang vokal dan tegas melawan kejahatan kemanusiaan di manapun, termasuk di Pakistan dan Suriah.

Konflik Xinjiang sendiri sudah terjadi selama 65 tahun di Tiongkok. Bukan baru terjadi kemarin sore. Dalam kurun waktu itu, Republik Indonesia dibantu berbagai ormas Islam termasuk NU dan Muhammadiyah sudah ikut membantu dengan berbagai misi kemanusiaan. Sebagai contoh kecil, pada tahun 2000an Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) sudah membuka pintu bagi para mahasiswa beretnis Uighur untuk belajar dan mendapatkan beasiswa di sana.

Mengatakan bahwa Muhammadiyah tak peduli pada konflik Uighur, bahkan menyebut bahwa organisasi ini dibayar untuk bungkam, adalah penghilangan fakta sejarah sekaligus menunjukkan ketidakpahaman kelompok ini pada kerja-kerja konkret yang sudah dilakukan Muhammadiyah selama bertahun-tahun. Apalagi jika itu hanya berpijak pada pemberitaan WSJ yang tidak objektif dan tendensius.

Barangkali Muhammadiyah memang tak membuat gerakan atau kampanye di media sosial, tak membuat tweet, juga tak cerewet mengatakan paling peduli pada kejahatan kemanusiaan di belahan manapun di dunia–termasuk di Palestina, Suriah, juga Xinjiang. Tetapi Muhammadiyah secara konsisten dan nyata melakukan misi kemanusiaan dan memberikan berbagai bantuan, mulai dari mendirikan sekolah sampai ikut membangun rumah sakit.

Tentu saja Muhammadiyah juga tak bisa dibayar. Organisasi Islam modern terbesar di dunia ini juga barangkali merupakan salah satu organisasi keagamaan terkaya di dunia. Menguasai lebih dari 20 juta meter persegi tanah di seluruh dunia, memiliki aset ribuan masjid dan sekolah, ratusan rumah sakit dan perguruan tinggi, serta berbagai amal usaha di seluruh dunia, organisasi ini tak perlu mengemis pada siapapun untuk menjalankan perannya sebagai gerakan Islam, gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar, dan gerakan tajdid (pembaharuan).

Sebelum kasus ini mencuat, sebagaimana banyak diberitakan, rombongan duta besar Amerika Serikat pernah mendatangi kantor PP Muhammadiyah dan meminta agar Muhammadiyah bersuara tentang konflik di Xinjiang dengan versi yang lebih menguntungkan pemerintah Amerika Serikat. Tetapi, Muhammadiyah menolak. Muhammadiyah memiliki pandangan dan sikap objektifnya sendiri tentang kejahatan kemanusiaan kepada etnis Uighur, tanpa bias kepentingan perang dagang AS-Tiongkok.

Bila hari ini muncul pemberitaan dengan narasi yang menguntungkan AS seraya memojokkan ormas-ormas Islam, termasuk Muhammadiyah, kita tak tahu bagian dari ‘agenda setting’ macam apakah semua ini? Tetapi, bila ada kelompok yang selama ini mendaku paling anti-Amerika tetapi dalam hal ini justru menjadi bagian dari alat mereka mengokohkan narasi AS dan memojokkan ormas-ormas Islam, sebenarnya siapa dan apa maunya mereka ini?

Yang jelas, dua peristiwa ini memberi tahu kita satu hal: Bahwa ada pihak yang tidak suka jika Muhammadiyah menjadi moderat, sebagaimana karakter aslinya yang ‘wasathiyah’, yang ingin mempertahankan Muslim sebagai ‘ummatan wasatha’. Yang berjuang menjadikan Indonesia ‘baldatun thoyibatun wa rabbun ghafur’ dalam bingkai Pancasila dan UUD 1945.

Pertanyaannya, siapakah mereka yang kecewa itu?

Sumber : Status Facebook FAHD PAHDEPIE – Kader Muda Muhammadiyah

 

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed