by

Menghabisi Jokowi

Oleh: Iyyas Subiakto

Percaturan rebutan kursi 2024 adalah puncak usaha barisan orba, mimpi mereka adalah bisa berkuasa lagi atau selesai.

Tak bisa di pungkiri, tidak gampang melenyapkan para kroni, kolega, antek, penjilat Cendana yg masih menyebar dimana-mana, yg dulu bapaknya berkiblat kesana, sekarang anaknya.

Lihat saja masih banyak yg nyedot bau kemenyan saat haul Soeharto 100 tahun. Inilah satu-satunya raja koruptor di hauli. Puja puji membanjiri telinga kita yg sudah lama geli kalau mendengar kembali nama Soeharto.

Membangun pola selama 32+10 tahun mengkristal menjadi budaya, kerusakan moral kita adalah melihat korupsi sebagai kerjaan biasa. Ada bupati yg rumah dan mobilnya lebih dari 5, biasa. Ada bekas panglima yg punya rumah dengan luas 6,5 ha biasa, semuanya itu berkaca dari bagaimana Soeharto menyedot sumsum kekayaan Indonesia, kita telah dibentuk oleh budaya korup, bahkan Tuhan sudah lelah melihatnya.

Kehadiran Jokowi adalah malapetaka buat mereka dan anugerah buat kita, sayang usaha penghancuran kebenaran sedang dan terus dilakukan. Kita liat mulut bejat para penjilat Cendana lah yg terus menebar narasi buruk.

Mereka rata-rata ada fotonya dgn Cendana, jadi kita bukan sekedar melihat mereka sebagai orang cacat moral, tapi merekalah musuh kita didepan mata, mereka front liner nya Cendana.Seolah tanpa hari yg tak menyerang Jokowi. Dari buzzer, media, ustadz, bahkan sekelas ulama bisa menjelma jadi manusia berkepala serigala.

Mereka bersarang dimana saja, ada yg di DPR, di partai politik, MUI, ormas keagamaan, dll. Mereka menyerang bak beruang, taringnya menyeringai membenci kebenaran.

Dana haji di goreng, skrg PPN pangan. Media pun dirasuki rasa benci, kenetralannya berubah jadi lawan pemerintah. Dua hari ini Jawa Pos meng headline soal PPN pangan dan pendidikan.

Padahal KUP nya, Buku UU Ketentuan Umum Tata Catatan Perpajakan masih ditangan komisi XI, entah siapa pembocornya bisa sampai berkeliaran menjadi liar diluaran, apesnya yg beredar dijalanan adalah penggalan fuzzle yg tercerai, tidak utuh.

Kita menjadi bangsa reaktif tetapi jadi tak produktif. Berpolitik tapi kelihatan mainnya kasar, keutuhan berpikirnya buyar saat kepentingan dikulum menjadi tujuan. Hidup dinegeri sendiri tapi melihat pemerintah seperti ibu tiri, gak ada senangnya sama sekali.

Manusia rendah moral sekarang makin menyebar kesemua lini, bahkan sekelas DPR gedung sakral yg dihuni manusia mulia di Senayan itu jadi rumah setan. Lembaga negara jadi seperti mati suri, mandul. Hukum dimain-mainkan, sampai presiden ngurusi preman kelas jalanan.

Ini karena dia tak sabaran melihat rakyatnya jadi perahan. Gaduh selama 10 tahun dipimpin Jokowi, kita bisa tenang kalau bisa ramai-ramai korupsi bagi-bagi, bak samudra tanpa gelombang, tapi dasarnya penuh buaya bermulut menganga.

Coba liat, apa ada partai yg berinisiasi melanjutkan Jokowi, bahkan PDIP santuy saja melihat kegaduhan yg ada, andai saja terbersit keinginan agar negara aman ditangan orang yg sudah teruji harusnya PDIP lah yg bersuara kepada rakyat yg kepercayaannya kepada Jokowi mencapai 82%, angka ini bukan kaleng-kaleng dari lembaga kepala celeng.

Ganjar diributi seolah menjadi rival Puan, bukan ngurusi yg sudah pasti dgn mengamandemen UU, kalau kawan dalam pertikaian di DPR tidak mendukung apa gak bisa rakyat mendesak DPR.

Rakyat adalah pemegang Kedaulatan tertinggi utk negeri, kok jadinya malah dikebiri hanya karena kepentingan golongan yg bisa menghancurkan masa depan.

(Sumber: Facebook Iyyas Subiakto)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed