by

Mengapa Ahok Begitu Menarik Perhatian

Oleh : Tsamara Amany

Sekitar satu minggu lalu, saya menulis mengenai pengalaman awal saya mengenal sosok Ahok. Dalam tulisan bagian pertama, saya mengatakan akan menceritakan temuan-temuan menarik tentang Ahok selama magang di tim PTSP. Tulisan ini akan menceritakan temuan-temuan tersebut. 

PTSP adalah Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang bertugas mengurus perizinan warga Jakarta. Instansi ini masih sangat muda umurnya. Baru satu tahun 10 bulan. Hal ini karena PTSP baru berdiri di era Ahok.

Jika dulu warga Jakarta harus pergi ke dinas berbeda-beda untuk mengurus izin, kini warga tinggal menyerahkan berkas tersebut kepada PTSP. Apalagi, aksesnya sangat mudah karena PTSP ada di setiap kantor kelurahan, kecamatan, dan walikota. 

Ketika saya ditempatkan di tim PTSP, saya sempat cerita ke teman-teman kuliah saya. “Kayaknya gue bakal ketemu sama banyak PNS nggak bener nih,” duga saya. 

Namun dugaan saya ini dengan cepat terbantahkan. Ahok memang selalu mampu membuat kejutan.

Begitu bertemu dengan Kepala Badan PTSP, ternyata umurnya masih 39 tahun. Ia adalah kepala badan/dinas termuda di Jakarta. Saya dan teman-teman satu tim pertama kali bertemu dengannya di depan salah satu ruang rapat Balai Kota. 

“Edy,” katanya mengenalkan diri. Kepala Badan PTSP sekaligus eselon II termuda ini bernama Edy Junaedi. Ia mendapatkan salah satu jabatan bergengsi di Jakarta melalui lelang jabatan. Nilainya tertinggi dibanding pejabat-pejabat lain. 

Edy Junaedi merupakan salah satu representasi keberhasilan reformasi birokrasi yang dilakukan Ahok. Jika dulu untuk menjadi pejabat tinggi di Jakarta harus memiliki kedekatan dengan gubernur, kini budaya itu sudah tidak ada lagi.

“Jika dulu untuk menjadi pejabat tinggi di Jakarta harus memiliki kedekatan dengan gubernur, kini budaya itu sudah tidak ada lagi”

Ahok telah mengganti budaya tersebut dengan budaya lelang jabatan. Tidak peduli tua atau muda, setiap PNS yang mumpuni layak memimpin. 

Dua minggu berada di tim PTSP, saya dan tim masih memetakan masalah yang ada. Kami diberi tugas untuk melakukan sosialisasi publik agar bisa meningkatkan tingkat kemudahan berbisnis Indonesia dalam survei World Bank. Jakarta menyumbang 85% dalam survei tersebut. 

Pelayanan perizinan di Jakarta sangat maju. Estimasi waktu dan biaya perizinan jelas dan dapat dilihat dalam website pelayanan.jakarta.go.id. Tulisan ‘Gratis’ dipasang sangat besar di kelurahan.

Ini untuk menegaskan bahwa petugas perizinan di kelurahan tidak boleh menerima uang tambahan sama sekali, berapapun itu. 

Di era Ahok ini juga, Jakarta memiliki inovasi perizinan yang pertama di dunia: antarjemput izin. Sejak Januari 2016, Ahok meluncurkan layanan Antar Jemput Izin Bermotor (AJIB).

AJIB dapat menerima berkas perizinan warga dan mengantar kembali izin yang sudah jadi ke kantor atau rumah warga. 

Sebagai warga Jakarta, jujur saya sangat bangga. Pelayanan perizinan di Jakarta tidak kalah keren dengan pelayanan perizinan di kota-kota maju lainnya. 

Dalam dua minggu pertama, saya dan teman-teman fokus menyusun action plan untuk melakukan sosialisasi publik agar masyarakat sadar bahwa di Jakarta, pelayanan perizinan sudah mudah. 

Di sela-sela penyusunan action plan tersebut, ada kabar bahwa Presiden Jokowi akan datang ke Balaikota pada hari Jumat 29 Januari. Kedatangan Presiden Jokowi ini atas permintaan Ahok. 

“Pak Jokowi mau meresmikan Masjid Fatahillah yang dibangun Pak Gubernur itu loh. Pak Gubernur mau Pak Jokowi yang meresmikan,” kata salah seorang staf di Balaikota.

Ketika Jokowi datang, penjagaan di sekitar Balaikota sangat ketat. Ini wajar karena baru satu minggu sebelumnya terjadi aksi teror di Thamrin. 

Sebelum meresmikan Masjid Fatahillah dan salat Jumat, Ahok mengajak Jokowi pergi ke command center Jakarta Smart City. Di sana Jokowi terlihat sangat bangga.

Ia kerap tersenyum. Ahok juga menunjuk ke arah anak-anak magangnya sembari mengenalkan kepada Jokowi. 

Baru setelah itu, Jokowi menuju Masjid Fatahillah Balaikota. Dalam peresmian Masjid, Ahok memberi sambutan terlebih dahulu. Sambutannya penuh dengan pujian kepada Jokowi yang menurutnya memiliki ide pembangunan masjid di Jakarta.

“Apa yang kami lakukan ini tidak lepas dari arahan Bapak Presiden selama menjadi gubernur. Dulu Bapak bilang Jakarta kok tidak punya Masjid Raya. Istiqlal bukan punya kita, Sunda Kelapa bukan, Taman Mini juga bukan. Sekarang sudah ada lokasinya, mungkin tahun ini selesai. Kami minta Bapak yang resmikan, dulu Bapak juga yang meletakkan batu pertama,” kata Ahok kepada Jokowi. 

Ahok kemudian melanjutkan sambutannya dengan bercerita bahwa masjid di Balaikota juga merupakan ide dari Jokowi. “Balaikota juga sama. Dulu Bapak bicara ini Balaikota kok nggak punya Masjid juga sebenarnya. Tapi dulu kita bingung lokasi di mana. Ternyata waktu Bapak jadi Presiden, kita bongkar-bongkar, oh ini ada tempat ini. Kita hari ini mewujudkan apa yang Bapak harapkan,” katanya.

Namun Jokowi langsung membantah pujian-pujian Ahok tersebut. “Tadi yang disampaikan Bapak Gubernur itu keliru. Salah. Memang saya kira bukan saya saja, gubernur-gubernur sebelumnya juga sama, pengen Balaikota ini punya masjid. Saya juga sama. Tetapi nyatanya sampai waktu saya habis jadi gubernur, tidak ketemu tempatnya di mana. Alhamdulilah akhirnya di bawah Bapak Gubernur Basuki Tjahaja Purnama, masjid ini bisa diwujudkan dan jadi,” kata Jokowi yang kemudian disambut tepuk tangan.

Jokowi menegaskan bahwa semua orang bisa punya rencana, termasuk dirinya. Namun menurutnya, yang penting itu bukan memiliki rencana, tetapi siapa yang mengeksekusi rencana tersebut.

“Jadi Pak Gubernur keliru tadi, Bapak bukan meneruskan. Memang pembangunan Masjid ini dilakukan sepenuhnya oleh Bapak Basuki Tjahaja Purnama,” kata Jokowi sambil tersenyum dan menunjuk ke arah Ahok. 

Meski Ahok bermaksud menghormati orang nomor satu di Indonesia, apa yang dikatakan Jokowi memang benar. Untuk apa memiliki rencana jika tidak dieksekusi menjadi kebijakan nyata?

Dalam hal ini, Jokowi pun mengakui bahwa yang harus mendapat credit pembangunan Masjid Fatahillah adalah Ahok, bukan dirinya.

Itu pula yang harus dilakukan oleh anak-anak magang di Jakarta. Meskipun masih muda, kami harus mampu menuangkan ide dan mengawal hingga ide tersebut menjadi sebuah kebijakan yang bermanfaat bagi masyarakat.

Ahok memberikan kepercayaan besar kepada saya dan teman-teman di tim PTSP. Selama empat bulan, kami dan jajaran PTSP mampu melakukan simplifikasi izin bangunan usaha dua lantai dari 165 hari menjadi 43 hari dan 6 jam.

Ahok langsung menyetujui simplifikasi tersebut. Ia tidak banyak bertanya. Baginya, jika ini menguntungkan masyarakat Jakarta dan tidak melanggar hukum, ia pasti  menyetujui. 

Dalam kurun waktu Januari-April tersebut, Kementerian Koordinator Perekonomian dan World Bank kerap mengirim undangan pada gubernur untuk melakukan rapat koordinasi.

Kemenko Perekonomian dan World Bank kerap menanyakan kesiapan Jakarta dalam menghadapi survei peringkat kemudahan berbisnis di Indonesia. 

Dari sekian banyak rapat, Ahok hanya hadir satu kali ketika rapat terbatas bersama Presiden. Sisanya, ia selalu meminta Kepala Badan PTSP dan tim magangnya untuk mewakili. 

Dimulai dari rapat dengan World Bank hingga menteri, Ahok mempercayakan kepada bawahannya. Biasanya setelah rapat tersebut, ia diberi report. Ahok selalu menanyakan apa yang bisa dibantu agar perizinan di Jakarta makin mudah. 

Jika ada kesulitan yang membutuhkan bantuan gubernur, Ahok selalu all out untuk membantu. Namun jika tidak ada, Ahok selalu menyilakan bawahannya untuk berinovasi bagi kepentingan warga Jakarta. 

Saya selalu bingung dengan Ahok. Secara politik, bukankah bagus jika ia menghadiri rapat tersebut dan memaparkan kemajuan Jakarta dalam bidang perizinan? Apalagi rapat ini dihadiri oleh lembaga sekelas World Bank, bukankah ini bagus untuk mem-branding dirinya?

Namun lama kelamaan saya pun sadar bahwa Ahok memang ingin mengubah kebiasaan politik di negeri ini. Ia berbeda dengan politisi pada umumnya. Ahok tidak gila citra dan tidak gila pujian. Ahok gila kerja untuk warga Jakarta. 

“Ahok tidak gila citra dan tidak gila pujian. Ahok gila kerja untuk warga Jakarta”

Ahok suka berkelakar di banyak kesempatan bahwa setiap hari ia meminum satu tablet PPG. “Minum satu tablet PPG tiap hari, Pura-Pura Gila,” katanya. Tablet Pura-Pura Gila yang diminum Ahok ini sepertinya mampu membuat banyak orang gila betulan. 

Saya melihat sendiri dalam Rapat Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) pada tanggal 8 April 2016, Mall of Indonesia milik Agung Sedayu Group di Kelapa Gading dikenakan denda sebesar Rp3 trilliun karena lahan parkirnya melanggar aturan.

Menurut salah satu pejabat yang juga anggota BKPRD, Mall tersebut meminta agar pembayarannya dicicil. 

Dalam rapat BKPRD ini pula, saya sering melihat Ahok memerintahkan kepada jajarannya agar perusahaan-perusahaan properti besar memberi kontribusi tambahan berupa lahan parkir, taman, RPTRA, dan hal-hal lain yang dibutuhkan masyarakat sekitar. 

Rapat BKPRD merupakan rapat yang memutuskan izin-izin penting. Hanya pembangunan dengan luas lahan di atas 5.000 m2 dan pembangunan yang membutuhkan arahan gubernur saja yang dibawa ke dalam rapat BKPRD.

Dulu kabarnya, rapat BKPRD selalu menjadi rapat yang paling tertutup. Sebab, dalam rapat inilah, banyak uang yang masuk ke kantong para oknum. Namun di era Ahok, rapat-rapat BKPRD selalu terbuka dan bahkan di-upload ke Youtube agar masyarakat dapat mengikuti prosesnya. 

Kegilaan lain Ahok juga pernah ia ceritakan kepada saya ketika makan siang. Waktu itu saya menanyakan tentang keberanian Ahok menutup tempat hiburan malam, Stadium. 

Ahok yang waktu itu masih menjabat wakil gubernur mengaku menantang jika terjadi penangkapan narkoba hingga dua kali di suatu tempat hiburan malam, ia berjanji akan menutup tempat hiburan malam tersebut. Ketika tantangan tersebut ia utarakan, sudah terjadi satu kali penangkapan narkoba di Stadium. 

Akhirnya terjadi dua kali penangkapan di Stadium. Ahok memanggil Kasatpol PP ketika itu dan memerintahkannya untuk menutup Stadium. Lucunya, Kasatpol PP itu bolak-balik hingga tiga kali kepada Ahok dan menanyakan keseriusannya. “Bapak serius Pak?” kata Ahok menirukan Kasatpol PP tersebut. 

Stadium memang dikenal sebagai tempat hiburan malam yang memiliki banyak backing-an. Namun Ahok tetap bersikeras menutup tempat hiburan ini karena dianggap sudah menjadi sarang peredaran narkoba.

“Orang melihat, wah Ahok hebat, nutup Stadium. Padahal gua mana tau Stadium ada backingan segala macam. Perintahin tutup aja pokoknya,” kata Ahok sambil tertawa. 

Melihat cara bekerja Ahok membuat saya sadar bahwa politik bukan soal kekuasaan. Politik adalah kerja tulus untuk rakyat. 

Ahok hanya memiliki satu tekad: mewujudkan keadilan sosial sesuai sila kelima Pancasila. Apapun akan ia lakukan agar keadilan sosial terwujudkan di Jakarta.

Terkadang wajah Ahok terlihat lelah. Namun tekad dan keyakinannya terlalu kuat. Kelelahan itu seperti larut dalam semangat untuk mengubah wajah Jakarta. 

“Terkadang wajah Ahok terlihat lelah. Namun tekad dan keyakinannya terlalu kuat. Kelelahan itu seperti larut dalam semangat untuk mengubah wajah Jakarta”

 

Sumber : selasar.com

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed