by

Mengakhiri Ramadhan Dengan Ma Lima

Katakanlah Anda terjebak macet. Lalu, ada yang menyenggol kendaraan Anda. Anda marah. Izinkan saya bertanya; Benarkah Anda marah? Seberapa marah? Siapa yang marah? 
 
Anda mulai sadar bahwa yang sebenarnya terjadi adalah; Anda SEDANG merasakan marah. Anda bukan “amarah” itu sendiri. Anda berjarak dengan emosi itu. 
 
Anda juga sadar bahwa yang marah pun bukan keseluruhan identitas Anda. Yang marah adalah “Anda sebagai pemotor”. Sedangkan “Anda seorang guru”, tidak demonstrasi meski gaji ke 13 tak kunjung datang. 
 
Coba cek dompet Anda. Di dalamnya mungkin ada berbagai kartu identitas. (Lihat? Identitas pun ada kartunya!!) Dan kartu itu hanya mewakili sebagian diri Anda. 
 
Di jalan raya, yang bermasalah adalah SIM Anda. Tapi di imigrasi, mereka tidak mempermasalahkan apakah Anda habis kena tilang karena ngebut ke bandara atau tidak. Mereka hanya melihat paspor. 
 
Di kartu nama, mungkin tertulis jabatan Anda: Direktur. Apakah itu berguna untuk order Go-Car? Driver bisa saja meng-cancel order Anda apabila akun Anda ditandai sebagai pelanggan yang menyebalkan. Ia tidak melihat jabatan di kantor Anda. 
 
Lalu, sambil menunggu driver lain menerima order, mungkin Anda bermain PUBG. Dan kalah. Siapakah yang gagal? Anda yang direktur atau Anda yang sekarang bernama Anonym0us99 di akun PUBG Anda?
 
Menyadari bahwa kita punya jarak tertentu terhadap emosi, bahkan pada apa yang kita anggap identitas, akan membantu Anda mengendalikan kuda-kuda emosi Anda. 
 
Peristiwa demonstrasi berujung pemblokiran sosmed 22 Mei lalu, menjadi kasus yang menarik.
 
Awalnya, kita ditarik kuda amarah. Provokasi yang kawin dengan hoax melahirkan kepanikan dan amarah nasional. Juga bumbu peristiwa haru biru aparat yang tetap sabar meski “dizalimi” pendemo. 
 
Akhirnya, meski puasa, dengan ringan kita saling bunuh, saling fitnah, saling benci. Semua hanya karena sosial media. Sampai tiba-tiba pemerintah memblokir sosmed. 
 
Pemerintah seolah memberi kita “kaca mata kuda” agar tunggangan kita bisa berlari kencang ke arah yang kita inginkan. Benar kita tidak lagi terprovokasi. 
 
Sayangnya, di depan kuda ada VPN. Benar ia semakin kencang berlari. Tapi menuju pornografi. Kita diseret dari nafsu amarah, haru biru, menuju taman-taman syahwat. 
 
Dengan entang pula kita memakan “buah khuldi” di taman surga internet. Ada banyak kebaikan di dunia maya. Asal jangan dekati buah khuldi berwujud pornografi, judi, dan transaksi ilegal. Tapi karena sudah terlatih ditunggangi kuda nafsu, tanpa bisikan setan pun, kita berbuka puasa dengan buah khuldi itu.
 
Sehingga tanpa sadar, di bulan puasa ini, kita malah semakin lancar melakukan ma-lima. Cukup dengan akses internet. Peluang Ma-Lima Virtual terbuka lebar. 
 
Mabuk agama sudah. Madon (bermain wanita-pornografi), sudah. Maling (transaksi ilegal, software bajakan, akun palsu, mencuri identitas untuk mencuri pulsa) sudah.  Main judi bola-poker online, sudah. Madat (candu) internet apalagi. 
 
Ramadhan tinggal 2 hari lagi. Kalau tidak segera berubah, kita akan menyesal. Menyesal berarti kita terperangkap nafsu lawwamah. Kabar baiknya, Allah terus menerus memberi kesempatan untuk mengambil alih kuda kita. Lewat berbagai “workshop mahal” bernama puasa.Setelah Idul Fitri, masih ada puasa Syawal. Dan puasa-puasa lainnya. 
 
Yang perlu diingat adalah, puasa bukan bertujuan mematikan nafsu. Makan dan seks tetap dibolehkan. Hanya dibatasi. 
 
Sebagaimana metafora kuda, kuda nafsu kita bukan untuk dibunuh. Tapi dikendalikan. Dirawat. Diberi makan secukupnya. Disayang. Maka, dengan izin Allah, kuda kita akan berlari kencang. Meninggalkan zona nafsu amarah bissu dan lawwamah, menuju nafsul muthmainah. 
 
Langkah awal mengendalikan kuda nafsu ini ialah mengamati. Ya, mengamati. Tanpa penilaian. No judgement.
 
Saat marah, amati saja. Oh, ada aku yang sedang marah. Amati terus. Ajak dialog. Tiba-tiba muncul film di depan Anda. Mungkin muncul adegan Anda yang sedang marah di situ. Lihatlah. Ekspresi Anda yang sedang marah itu. Enakkah dilihat mukanya? 
 
Sekarang, pertajam film itu. Fokus ke muka Anda. Coba berikan wig dan hidung badut pada wajah “Anda” yang sedang kesal itu. Anda terasa geli membayangkan diri pake wig seperti Tessy 
 
Lanjutkan. Beri aksesoris lucu pada bayangan tersebut. Kalau perlu, ubah suaranya. Apa jadinya kalau “Anda” marah-marah tapi suaranya seperti mickey mouse atau donal bebek?
 
Saat Anda melakukan langkah di atas, rasa marah Anda mungkin berkurang drastis. Dan ingin tertawa. 
 
Ini latihan kecil agar kita bisa mengendalikan kuda. Bermain-mainan. Awali dengan mengamati. 
 
Jadi, untuk menutup tulisan ini saya ingin bertanya,”Kuda emosi apa yang sedang kau naiki?”
 
Sumber : Status Facebook Bondan Satria Nusantara

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed