by

Menanti Giliran Pengusaha

Oleh : Bondan Satria Nusantara

Hikmah peristiwa belakangan ini, orang-orang tak lagi gumun dengan kemewahan. Tak lagi silau dengan pejabat yang tajir melintir. Banyak orang tak lagi bercita-cita kaya raya kalau itu hasil korupsi.

Tiba-tiba, banyak yang tak simpati pada kemewahan.

Dulu, sering saya dapati tukang becak, atau bapak-bapak di angkringan berkomentar kagum tiap ada mobil mewah lewat. Yang kelas menengah pun begitu. Mereka rela bekerja keras pagi siang malam untuk mewujudkan mimpi menjadi setajir si anu dan si itu.

Sekarang, wong-wong cilik itu tak lagi gumun. Tak lagi merasa kecil dan minder. Bahkan, Pak Dayat (bukan nama sebenarnya), seorang tukang becak yang sesekali beli togel, kini bisa tegas berkomentar,”Halah, buat apa punya mobil mewah kalo ga halal.”

Rumah mewah, mobil mahal, tak lagi jadi simbol kesuksesan yang harus dikejar mati-matian. Tak lagi punya daya magis. Tak lagi membuat iri. Mereka berpikir. Untuk mendapat segala pernak-pernik dunia itu, mereka tak cukup hanya bekerja keras. Tapi berkolusi dengan jalur-jalur ilegal.

Pada titik tertentu, peristiwa belakangan, membuat banyak orang membenci korupsi dan kemewahan. Menjadi peduli halal-haram. Dalam bahasa lain, mereka sekolah tak lagi tersihir kemewahan dunia.

Ini tentu kabar menarik. Setelah sekian tahun orang awam dibuat terpesona, terbuai, dan terkelabui oleh pameran kemewahan. Apalagi, ada masanya Youtube diisi flexing rumah, mobil, tas mewah dari berbagai kalangan.

Kalau pejabat yang mewah, saya tak ingin banyak komentar. Karena saya kurang tahu. Yang saya tahu, dari kalangan “pengusaha”.

Saya beri tanda kutip karena bagi saya, mereka bukan ‘the real entrepreneur’. Paling mentok, mereka adalah pegawai laundry. Bedanya, yang di laundry itu uang haram. Kalaupun mau disebut pebisnis, ya pebisnis laundry. Tepatnya: money laundry.

Mereka adalah “proxy” alias “pion” bagi gurita yang lebih besar.

Kalau dulu, orang yang ingin kaya akan ambil pesugihan yang bersekutu dengan jin. Di era ini, “pesugihan” seperti itu masih ada. Cuma, tak lagi perlu dengan jin. Cukup dengan naga, cacing, belut, atau apalah namanya itu. Baik cacing lokal maupun impor.

Merekalah yang menyita perhatian publik lewat beragam media. Karena kesuksesannya yang begitu masif dan muncul tiba-tiba. Yang membuat banyak ibu-ibu rumah tangga, bahkan sebagian kawan pengusaha, ingin meniru jejaknya.

“Aku akan bekerja sekeras mungkin. Biar sukses seperti dia.”

Saya mengomentarinya. Percayalah, saudaraku. Kerja keras memang bisa membuatmu kaya. Tapi, kalau kamu ingin kaya raya. Jadi kalangan top 1%…

Kamu harus berserikat dengan kegelapan.

Mereka melejit bukan karena kerja kerasnya saja. Bukan brandingnya. Bukan marketingnya. Bukan produknya. Bukan customer servicenya.

Tapi, karena ada “investor” di belakangnya.

Saya hanya penasaran. Sejauh apa efek berantai kasus oknum pajak ini? Kalau kemaren sudah dari kalangan “penguasa”, akankah merembet ke kalangan “pengusaha”?

Sumber : Status Facebook Bondan Satria Nusantara

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed