by

Melacak Jejak Sindikat AS di Pilkada DKI

Indonesia tak luput dari intervensi

Indonesia juga tidak luput dari intervensi Amerika. Ingat, Amerikalah yang dulu turut “menciptakan” rezim Orde Baru di bawah Soeharto dan menumbangkan Bung Karno karena dinilai “terlalu merah” (condong ke Soviet dan Tiongkok). Indonesia saat ini, di bawah Presiden Joko Widodo, juga tidak luput dari “intaian” Amerika, khususnya sejak RI menjalin hubungan erat dengan Rusia (misalnya dalam hal pengembangan alutsista TNI dari kapal selam, rudal, pesawat tempur, hingga tank perang) dan Cina (dalam berbagai investasi dan kerja sama perdagangan). Amerika juga tidak senang dengan Jokowi karena Freeport Indonesia (yang bermarkas di Phoenix, Arizona) diganggu, diturunkan statusnya dari Kontrak Karya ke Izin Usaha Pertambangan Khusus.

Oleh Amerika, Pilkada Jakarta mungkin dinilai sebagai “pintu masuk” yang cukup baik untuk tangga politik berikutnya yang lebih besar atau sebagai “ajang tawar-menawar” dengan Pemerintah RI. Bukan sebuah kebetulan saya kira jika Wapres Amerika Mike Pence berkunjung ke Jakarta pada saat detik-detik Pilkada.

Kebetulan, paslon Anies Baswedan dan Sandiaga Uno adalah “kader” atau “anak didik” Amerika. Anies adalah alumnus University of Maryland dan Northern Illinois University. Sedangkan Sandiaga alumnus Wickita State University dan George Washington University. Sementara itu, sejumlah elit politik dan bisnis seperti Fadli Zon dan Hary Tanoesoedibjo adalah “auliya” dan patron bisnis Presiden Donald Trump. Bukan hanya itu saja, konsultan dan penasehat politik Anies-Sandi, Eep Saefuloh Fatah, juga pernah belajar di Ohio meskipun tidak sampai lulus alias Drop Out. Buni Yani yang menjadi tersangka kasus “video Al-Madiah” juga pernah kuliah di Ohio. Denny JA yang menjadi “buzzer” anti-Ahok, juga alumnus Ohio. Munarman, elite FPI, sudah lama disinyalir sebagai pengacara Freeport. Para elite politik, agama, dan bisnis lain ikut bergabung dengan “grup Amerika” karena memiliki dendam kesumat, baik dengan Jokowi (Presiden Joko Widodo) maupun Ahok (Gubernur Basuki Tjahaja Purnama).

Karena memiliki kesamaan kepentingan dan tujuan (menggulingkan Ahok dan menggerogoti pemerintahan Jokowi), maka bergabunglah berbagai elemen dan elit tadi. Tentu saja isu yang dihembuskan ke publik masyarakat adalah Cina dan komunisme, bukan Amerika dan kapitalisme. Komunis Cina, bukan kapitalis Amerika. Ini persis seperti “drama sosial” saat penggulingan Bung Karno pada 1965/6. Padahal, PRC (People’s Republic of Cina) sekarang adalah negara gado-gado: setengah komunis dan kapitalis. Tidak valid lagi menyebut Cina kontemporer sebagai “rezim komunis”. Agak ironi juga mereka menyerukan bahaya “Cina komunis”. Padahal pada saat yang sama, banyak elit dan pebisnis Cina di belakang Anies-Sandi.

“Teror teologis”

Dalam rumus politik, kepentingan dan tujuan yang samalah yang bisa menyatukan berbagai elemen dan kelompok yang berbeda. Begitu pula dengan Pilkada Jakarta. Berbagai tokoh, kelompok, dan ormas Islam konservatif-esktremis yang sudah sejak lama bernafsu ingin menurunkan Ahok, merasa mendapat momentum. Mereka pun berusaha sekuat tenaga, mengerahkan massa, dan memakai segala cara, termasuk cara-cara kotor dan biadab.

Termasuk cara-cara kotor dan biadab ini misalnya “teror teologis” dengan mengancam tidak menyolatkan jenazah yang semasa hidupnya (maupun keluarganya) mendukung Ahok, kemudian ancaman neraka bagi yang mendukung dan memilih Ahok seraya “mengiming-imingi” surga bagi yang memilih “paslon” Muslim: Anies-Sandi. Demi menurunkan Ahok, mereka rela menyebar hoax dan fitnah keji. Mereka menggelar berbagai kegiatan “ibadah politik” seperti salat di jalan raya misalnya. Mereka juga menggunakan masjid-masjid untuk menyebarluaskan kampanye dan propaganda busuk.

Jadi, bukan sebuah kebetulan kalau sejumlah kelompok, parpol, dan ormas Islam konservatif-radikal untuk sementara “puasa” tidak mengungkit-ungkit Amerika seperti yang biasa mereka lakukan sebelumnya. Memusuhi Amerika tentu saja sama dengan “melempar kotoran” ke Anies-Sandi dan sangat tidak produktif.

Sebaliknya, bagi Amerika, siapapun “rezim” yang berkuasa di Indonesia tidak masalah, asal bisa diajak untuk kerja sama simbiosis mutualisme dan menguntungkan bagi kepentingan domestik Amerika. Bagi Amerika pula, bekerja sama dengan siapa saja dan kelompok mana saja (radikal atau liberal) di jagat raya ini juga tidak masalah, seperti yang selama ini mereka lakukan, asalkan mereka bisa diajak sama-sama untuk “berkapitalis” ria.

Saya berharap Presiden Jokowi dan elite politik lain bisa jeli membaca situasi dan bijak dalam mengambil keputusan demi kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang lebih luas.       

Sumber : dw.com

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed