Oleh : Said Muslim
Dalam perjalanan pulang dari Banda Aceh, saya menonton final piala dunia hanya bisa lewat HP.
Mendebarkan sekali final Piala Dunia di Qatar, malam tadi. Argentina unggul 2-0 di babak pertama. Fantastis! Berat bagi Prancis untuk mencetak tiga gol di babak kedua supaya bisa menang.
Melihat kehebatan Argentina di babak pertama, rasanya tak mungkin Prancis bisa membobol gawang lawan di babak kedua. Tapi, begitulah rupanya kalau final kelas dunia. Kedua tim yang bertemu untuk memperebutkan gelar juara, bukanlah tim yang diloloskan ke final lewat intervensi –entah oleh siapa.
Argentina dan Prancis berjumpa di final karena mereka memang hebat. Mereka bukan boneka yang permainannya diatur oleh dalang-dalang.
Kedua tim naik ke pucak pertarungan di final melalui seleksi pertadingan penyisihan yang berat tetapi fair. Bukan seperti seleksi kita kita yang penuh dengan rekayasa. Jauh dari itu.
Piala Dunia jauh dari itu. Dan itulah sebabnya ratusan juta penonton sangat menikmati setiap operan umpan dan tendangan maupun sundulah penghasil gol. Tidak ada satu pun pertandingan yang tercemar kenaturalannya.
Tidak ada tim boneka atau pemain boneka. Tidak ada wasit boneka maupun hakim garis boneka.
Suasana tanpa boneka maupun dalang di final malam tadi, membuat semua kita yang menonton bisa mengambil kesimpulan bahwa skor 2-0 yang sangat kuat bagi Argentina di babak pertama, tidak dijamin akan bertahan sampai pluit penutup. Itulah yang terjadi.
Manajer Prancis, Didier Deschamps, tampak tegang. Namun, kompetensinya sebagai pimpinan tim mampu membalikkan situasi. Prancis menyamai kedudukan 2-2 di babak kedua. Deschamps membangkitkan semangat juang dan mengeluarkan instruksi yang tepat dan berbasis analisis. Ini diikuti oleh kemampuan timnya untuk menerjemahkan instruksi-instruksi menjadi cara bertahan dan cara menyerang yang efektif.
Deschamps adalah manajer yang tahu mengatasi krisis. Ini semua logis. Sebab dia adalah pemimpin yang memiliki literasi komprehensif tentang sepakbola. Dia adalah sepakbola itu sendiri. Deschamps menjadi kapten tim nasional Prancis sebelum pensiun dan menjadi pelatih.
Keduanya bermain serius. Karena mentalitas mereka memang ditempa untuk selalu serius. Mereka tidak santai dengan harapan adu penalti akan menghasilkan kemenangan. Pada menit ke-108, Argentina membukukan satu gol dari kaki Lionel Messi. Mengubah skor menjadi 3-2.
Dari sini terlihat bahwa seorang manajer tim bola wajib pernah sebagai pemain dan sebagai pelatih di berbagai klub. Deschamps dan Scaloni membuktikan itu. Tidak bisa disodor-sodorkan begitu saja oleh para dalang.
Biografi kesepakbolaan kedua pemimpin tim raksasa ini, tentunya juga para manajer tim-tim lain yang ikut di Qatar, menunjukkan bahwa kompetensi selalu linear dengan kesuksesan mereka di kompetisi mana pun. Argentina dan Prancis dipimpin oleh dua orang yang kompetensinya tinggi. Mereka membangun tim tidak didasarkan pada kompetensi palsu yang dipoles oleh para oportunis dan kemudian dijual dengan iklan yang menyesatkan.
Pastilah banyak tokoh politik yang menikmati permainan hebat Argentina dan Prancis malam tadi. Sayangnya, hanya segelintir saja, atau bahkan tidak ada, yang memahami bahwa kedua tim nasional super hebat itu lahir dari kompetensi yang di dalamnya ada kejujuran atau integritas, kapabilitas, kapasitas, kecakapan dan kemahiran.
Mereka tidak lahir dari kebohongan, kekosongan isi kepala dan kebebalan atau kedablegan dalam sifat (attitude). Dari Piala Dunia 2022 di Qatar, seharusnya kita bisa belajar tentang Politik Kompetensi. Siapa tahu, kompetisi pemilu 2024 nanti bisa menyenankan dan melahirkan pemimpin dan wakil rakyat yang kompeten.
Sumber : Status Facebook Said Muslim
Comment