RedaksiIndonesia-Menurut Danang, seorang office boy yang pernah bekerja di KPK, pekerjaan yang paling melelahkan di kantornya adalah menangkap koruptor satu persatu. Sampai Presiden ganti 10 kali koruptor tidak akan ada habisnya.
Pernyataan satire tersebut mengingatkan kita pada kinerja KPK yang selama ini dinilai paling jago menangkap koruptor melalui penyadapan telepon. Untuk menangkap seorang pejabat yang diduga melakukan tindak korupsi, dibutuhkan tim khusus untuk melalukan analisa, penyadapan telepon, pengintaian selanjutnya OTT. Entah berapa bulan waktu dihabiskan untuk melakukan pembuktian hanya untuk seorang target. Sementara daftar target tiap hari tidak lantas berkurang, justru makin menanjak antriannya.
Seperti kita ketahui tehnik koruptor bermacam cara mengelabuhi telinga dan mata aparat. Dari penggunaan kode-kode rahasia dalam berkomunikasi sampai menyembunyikan barang bukti. KPK yang selalu disibukkan mengurus hal hal terkait penindakan dibanding pencegahan. Inilah salah satu faktor utama tingginya anggaran operasional KPK.
Data menunjukkan Pada tahun 2021, anggaran KPK mencapai Rp 1.043.222.899.000 dan di tahun 2022 ini butuh Rp 1.343.222.899.000 atau naik 300 milyar. Nilai Rp 1,34 Triliun per tahun itu serapan anggaran tertinggi ada pada Pos Sekjen sebesar 96% selanjutnya serapan tertinggi di bawahnya ada pada Deputi Penindakan dan Eksekusi sebesar 95,1%. Berbanding jauh dengan serapan anggaran Deputi Pencegahan dan Monitoring sebesar 90,2%.
Anggaran pencegahan dan monitoring sudah pasti lebih kecil dibanding penindakan dan eksekusi. Anggaran yang kecil serapannya rendah pula menunjukkan kinerja pasif KPK untuk urusan upaya mencegah korupsi.
Hitung matematikanya akan semakin ironis lagi saat uang negara yang diselamatkan tidak sebanding dengan pengeluaran negara dalam memberantas korupsi. OTT Bupati Bogor berhasil mengamankan uang suap sebesar Rp 1,024 Milyar. Uang 1 milyar lebih 24 juta tersebut barangkali hampir sama atau bahkan tidak sebanding dengan biaya operasional KPK menyelidiki, hingga OTT Ade Yasin?
Upaya pemberantasan korupsi memang bukan hitungan dagang matematika untung dan rugi. Sama-sama memburu koruptor, efisiensi kinerja KPK dibanding Kejaksaan patut dipertanyakan. Kejaksaan lebih masif melakukan penyelidikan, tanpa harus OTT yang sudah pasti butuh anggaran besar.
Jika kemudian lembaga survey Indikator Politik merilis tingkat kepercayaan publik terhadap institusi hukum menempatkan KPK berada di bawah Kejaksaan, bukan berarti KPK yang turun kinerjanya. Tetapi Kejaksaan yang lebih giat dan berhasil meyakinkan publik. Kejaksaan kini sedang gencar memburu mafia yang bisa lebih dari satu orang, sementara KPK sibuk mengintai satu orang pejabat hanya untuk melakukan OTT. Itupun belum tentu sebulan sekali.
Wacana pembubaran KPK akan semakin meluas jika terjadi pemborosan anggaran secara sistemik untuk hasil yang tidak sebanding. KPK sebagai Institusi penegak hukum produk era pasca reformasi, sudah waktunya direformasi. KPK yang kini sedang marak dikritik, tunggu saja tiba-tiba akan menjawabnya dengan OTT. Ibarat kerbau, setelah dicambuk baru mau jalan? Jadi selama tidak dicambuk ngapain aja?
KPK bukan kerbau, kan?
Sumber : Suluhnusantaranews.com
Comment