by

Makan Nasi Goreng, Setelah Letih Turun Gunung

Oleh : Muhammad Ilham Fadli

Dalam beberapa minggu terakhir, terjadi sindir menyindir antara PDI-P dengan Demokrat. Dan sebaliknya. Dua “orang besarya” terbawa serta. Tidak “berkawan”nya Megawati dengan SBY sejak dulu sudah mulai terasa. Memuncak, ketika dekat-dekat kontestasi politik. Jokowi ?

Ia kena sindir pula.

Oleh siapa ? Oleh Demokrat yang tidak bisa melepaskan diri dari “nama besar” SBY, sehingga AHY tidak pernah lupa untuk selalu mengatakan, “zaman SBY dahulu …. bla bla dan seterusnya”.

Itu biasa. Dalam politik praktis, sebuah keniscayaan.

Namun yang jadi tak biasa itu adalah, “mengapa tak pernah duduk berdua kemudian datang jumpa Jokowi, minum teh bertiga dan makan nasi goreng bersama, misalnya. Lalu, pak SBY mulai menyanyikan lagu Tip-X. Jadi asik Indonesia ini. Tapi “ibarat pungguk rindukan bulan”. Etah mungki bisa, nampaknya justru tidak. Sindir menyindir pun terus berlangsung.

Saya jadi ingat Obama dan Trump.

Obama tak jadi Presiden lagi. Trump juga. Sebagaimana halnya Clinton, Bush (Senior – Junior), Carter dan seterusnya. Tak terdengar pula keinginan untuk “menggerogoti” masing-masing penerus mereka. Tak ada catatan untuk saling membuka ruang konflik. Saling mencaci. Saling menghujat-menyindir. Bisa saja saya salah, tapi setahu saya, demikianlah yang terjadi. Setelah pensiun jadi Presiden, masing-masing mereka yang disebut di atas, bermetamorfosis jadi “rakyat biasa” – ibarat resi yang mengasingkan diri, tak ingin merecoki sang raja. Bisa jadi sistem atau budaya politik yang menciptakan ini. Atau masing-masing tokoh tersebut sudah mapan dan matang sebagai politisi. Wallahu a’lam. Dalam konteks ini, Indonesia mungkin hanya terdapat pada figur Habibie. Selebihnya, entahlah.

Saya kadang ingat dengan Walesa. Nama lengkapnya Lech Walesa, seorang tukang listrik di Pelabuhan Gdanks Polandia. Walesa yang memimpin Partai Kaum Buruh (Partai Solidaritas) menggulung Partai Komunis Polandia, menjatuhkan Jenderal “the untouchable” Jaruzelski, sekitar tahun 1990. Walesa kemudian didaulat jadi Presiden Polandia. Buruh jadi Presiden, dalam demokrasi itu biasa dan bisa. Ketika tahu 1995, Walesa turun dari jabatan Presiden. Partainya kalah dalam Pemilu. Walesa kemudian kembali ke habitatnya, jadi buruh listrik di Gdanks. Tanpa malu dan tanpa beban apa-apa. Ketika ditanya tentang hal ini, Walesa menjawab, “saya masih muda untuk pensiun dan tidak punya cukup uang untuk hidup”. Alangkah wajar dan bersahajanya jabatan dan kekuasaan kepresidenan dipandang dan diperlakukan di di Polandia.

Presiden yang tadinya “di atas”, ketika selesai, bisa (dan mau) alih profesi menjadi buruh yang “dianggap di bawah” (bila dibandingkan dengan Presiden). Walesa melenggang ketika turun dari kursi kekuasaan tanpa “isi dompet” bengkak-memelar, melainkan kembali ke “khittahnya” sebagai buruh listrik, tanpa post power syndrom. Kekuasaan pada prinsipnya adalah sesuatu yang manusiawi.

Semoga semua tokoh politik di negeri ini, suatu ketika bisa naik gunung dan turun gung bersama-sama. Gunung rendah (bahasa lainya : bukit pun, tak apa). Lalu wartawan datang bertanya, “bagaimana rasanya turun gunung pak ?”.

Nanti saya jawab. Kita makan nasi goreng buatan bu Mega dulu … ya !.

Tidur siang, saya rupanya. Tertidur siap zuhur.

Sumber : Status Facebook Muhammad Ilham Fadli

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 comment

  1. pak SBY gengsi nya sangat tinggi,
    mintanya di puja puji, GR.
    jangan harap bisa akur sama mantan Presiden apalagi cuma tinggal Megawati.
    entah kalo Pak Jokowi sdh mantan, mau ga sekedar makan bareng.

News Feed