by

Larangan Dakwah Radikal di Saudi

Oleh : Anwar Rachman

Dikutib dari Saudi Gazette 31/8/2021, Menteri Urusan Agama Islam Saudi Arabia, Sheikh Abdullatif Al-Sheikh, membuat aturan baru untuk melarang kegiatan dakwah tanpa izin, dan bagi yang melanggar siap2 kena hukuman. Para petugas masjid, para imam, muadzin, penceramah resmi, dan paruh waktu di seantero kerajaan. Selain melarang dakwah tanpa izin, Pemerintah Saudi juga melarang peredaran konten ekstremisme baik digital dan buku dalam perpustakaan masjid dan juga meminta daftar buku dan memastikan tak ada buku di perpustakaan yang isinya berbau ekstrimisme dan radikalisme.

Hal serupa juga dilakukan Pemerintah Mesir yang melarang buku konten ekstremis dan Ikhwanul Muslimin di perpustakaan masjid. Membaca aturan baru Pemerintah Arab tersebut, saya jadi teringat zaman Orde Baru tahun 1970 an, untuk mengadakan pengajian umum harus ijin dulu ke Koramil bahkan khotbah sholat Jum’at saja khotib tidak bisa seenaknya, harus membaca teks khutbah yang telah disiapkan oleh pemerintah. Kita bisa memahami cara2 Orde Baru yang bertindak keras seperti itu karena memang saat itu kelompok sisa2 DI/TII/NII masih gencar melakukan perlawanan terhadap pemerintahan yang sah bahkan sampai melakukan pengeboman dan pembajakan pesawat terbang.

Setelah reformasi dan masuk pada era kebebasan dan keterbukaan, cara2 represif ala Orba tersebut mulai ditinggalkan, dakwah dapat digelar dimanapun dan kapanpun tanpa izin. Di Jakarta ada pengajian ba’da subuh, pengajian dhuha, ba’da dzuhur, ba’da ashar, ba’da maghrib, ba’da isyak bahkan sampai tengah malam ada. Begitu juga tempatnya, mulai di rumah2 penduduk pada gang-gang sempit, rumah makan, rumah gedongan, restoran bahkan hotel bintang lima ada. Begitu juga penceramahnya, masyarakat diberikan kebebasan untuk memilih, silahkan pilih penceramah kyai asli atau kyai-kyaian, akademisi, birokrat, politisi, seniman bahkan pelawakpun silahkan naik mimbar. Laris manisnya profesi dai/penceramah agama ini, banyak orang yang banting setir/alih profesi, yang tadinya seniman, pejabat, artis /pelawak, pengangguran beralih profesi menjadi penceramah agama/dai.

Sebagai contoh yang masih hangat saat ini adalah kasus Muhamad Kece, coba kita telusuri jejak digital latar belakang pendidikan, pekerjaan, pengalaman serta prestasi akademiknya, tidak jelas. Padahal penceramah agama itu membawa tugas berat yakni membawa misi suci agama, menegakkan kebenaran, menjaga moral bangsa, membangun manusia seutuhnya sehingg harus mempunyai bekal ilmu yang cukup untuk itu. Tugas berat tersebut diatas, tidak bisa kita serahkan kepada sembarang orang yakni hanya orang2 yang kompeten dibidangnya yang bisa memegang profesi mulia tersebut.

Kalau dalam agama Islam, profesi dai harus menguasai dengan baik dan benar Ilmu Al Qur’an dan Tafsirnya, Hadist, Sejarah Islam, Bahasa Arab dan ilmu pendukungnya Nahwu, shorof, balaghoh, mantiq dll, ditambah penguasaan materi Pancasila, UUD 45 serta ilmu ketata negaraan lainnya. Penguasaan ilmu2 tersebut harus melalui uji kompetensi oleh lembaga yang profesional dan independen sebelum dai tersebut tampil diruang publik. Mungkin saat ini diperlukan keterlibatan psikolog /psikiater dalam uji kompetensi penceramah yang tampil di ruang publik, hal ini dimaksudkan agar penceramah yang temperamental, suka bicara kasar dan jorok, provokasi masyarakat untuk berbuat onar, penyebar kebencian tidak menjadikan mimbar agama sebagai panggung politik untuk merebut kekuasaan.

Sumber : Status Facebook Anwar Rahman

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed