by

Konsultasi Dokter Diganti dengan Mesin

Oleh : Hendy Wijaya

Dua tahun lalu sebelum melamar beasiswa untuk studi singkat di Jepang, pihak pemberi beasiswa mensyaratkan keterangan sehat yang di dalamnya termasuk pemeriksaan rontgen Thorax (dada). Untuk memenuhi persyaratan itu, aku pergi ke salah satu RS swasta di Surabaya.

Dadaku dirontgen lalu hasil rontgen itu kubawa ke ruang praktik dokter spesialis penyakit dalam untuk kumintai surat keterangan sehat. Eh, tak kusangka dari hasil rontgen itu aku dinyatakan terkena pneumonia atau peradangan paru oleh karena infeksi.

Lah, bagaimana ceritanya aku terkena pneumonia? Demam pun tidak, apalagi sesak napas. Dokter spesialis penyakit dalam yang memeriksaku menelpon dokter spesialis radiologi yang memberikan keterangan “pneumonia” di hasil rontgenku,

“Halo dokter X? Orang ini hanya minta surat keterangan sehat. Dia tidak punya keluhan apapun, hasil pemeriksaan saya juga baik-baik saja, kok kamu tulis pneumonia? Tolong diganti normal ya!”

Dan, Jreng! Jadilah bacaan rontgenku seketika itu normal. Hanya dengan satu kali telepon, pneumonia di paruku raib. Apakah hal semacam ini baru pertama kali aku alami? Tidak. Di sepanjang tahun 2009, aku harus keluar masuk RS tujuh kali karena masalah batu ginjal. Beberapa kali rontgen di dokter yang berbeda memberikan hasil yang berbeda tentang posisi batu. Ada yang mengatakan batunya masih di bagian pangkal saluran kemih, ada pula yang mengatakan batunya sudah turun, ada lagi yang mengatakan batunya tidak kelihatan. Aku sempat berpikir jangan-jangan itu batu siluman sampai akhirnya batu itu keluar spontan melalui urin di awal tahun 2010.

Di lain kesempatan, saudara istriku pernah dirawat di sebuah RSUD di sebuah kota kecil di Jawa Timur. Tapi selama dirawat di RSUD itu, yang repot meresepkan obat dan memantau kondisi saudaranya adalah istriku sendiri, bukan dokter yang merawatnya? Lha kok gitu? Dokter di RSUD yang bersangkutan sering sekali alpa, mendiagnosis asal-asalan, dan merawat pasien ala kadarnya.

Di kesempatan yang lain lagi, saudaraku pernah didiagnosis penyakit autoimun selama bertahun-tahun, menghabiskan biaya perawatan ratusan juta rupiah. Pada akhirnya, setelah masuk tahun ke lima, baru ketahuan kalau dirinya tidak menderita penyakit autoimun, tapi penyakit kelainan hormon yang langka. Ada beberapa dokter spesialis penyakit dalam yang keliru mendiagnosisnya sejak awal.

Dengan melihat kejadian di atas, sudah bisa diduga kira-kira apa jawabanku ketika ditanya apa pendapatku kalau seandainya praktik konsultasi dokter digantikan oleh mesin? Aku setuju. Tahukah Anda kalau dampak dari misdiagnosis bagi pasien secara jasmani, emosional dan finansial itu sangat besar? Beberapa jurnal ilmiah yang mengkaji kejadian misdiagnosis di negara-negara maju seperti Amerika utara dan Eropa sampai menyematkan istiah “Epidemi” bagi kejadian misdiagnosis yang seharusnya bisa dicegah atau tak perlu terjadi.

Data penelitian Fernholm dari Swedia pada tahun 2019 menyebutkan bahwa kejadian misdiagnosis mencapai sebesar 46% dari 4830 kasus “preventable harm”. Empat puluh enam persen! Hampir separuhnya. Bayangkan tingkat akurasi diagnosis dokter hampir setara probabilitas lempar koin. Angka ini bisa meningkat lagi seandainya melibatkan kasus-kasus penyakit yang langka atau jarang dijumpai. Misal, masih dari hasil studi yang sama, Fernholm mendapati bahwa misdiagnosis yang sering dijumpai adalah penyakit kanker. Pasien gagal didiagnosis tepat waktu sehingga tidak mendapatkan pengobatan yang adekuat terhadap kanker yang dideritanya.

Kejadian misdiagnosis ini tidak hanya merugikan pasien sebagai individu tapi juga negara terutama kalau negara berkewajiban menanggung asuransi kesehatan warganya sekaligus kerugian dalam hal produktivitas kerja si pasien yang menurun akibat sakitnya yang tak kunjung sembuh. Ada jutaan dolar harus melayang setiap tahun karena hal itu.

Misdiagnosis dari pihak dokter umumnya terjadi oleh sebab beberapa faktor, yaitu kurangnya pengetahuan, kurangnya kemampuan berpikir kritis, kurangnya kompetensi, kurangnya sarana dan prasaran untuk mengumpulkan data, kegagalan untuk melakukan sintesis informasi. Dari semua faktor itu yang terpenting adalah kurangnya pengetahuan atau wawasan dan kemampuan berpikir kritis. Dua hal yang seharusnya bisa dipelajari dan dilatih.

Algoritma komputer bisa mengatasi semua kekurangan yang ada di pihak dokter di atas. Kita bisa menumpuk informasi ke dalam algoritma komputer, mengekstraksinya dengan cepat sementaa tetap mempertahankan akurasi dan presisinya tetap tinggi.

Untuk sekadar membaca EKG, penelitian yang dilakukan oleh Kwon dkk tahun 2020 menyebutkan bahwa Algoritma komputer bisa mendiagnosis kelainan pada jantung pasien sampai 177% lebih akurat dibandingkan dokter spesialis jantung. Hal seperti ini bukan pertama kalinya dalam sejarah. Beberapa tahun sebelumnya, hasil penelitian serupa menyebutkan hasil yang sama. Singkat kata, AI lebih unggul dan konsisten daripada manusia dalam hal mengumpulkaa data dan mensintesis kesimpulan daripadanya.

Bagaimana kalau seandainya di masa depan bukan hanya kemampuan baca EKG yang diserahkan ke AI dengan “deep learning”-nya? Tapi juga kemampuan membaca hasil rontgen aatu USG? Dan memang hal itu yang sekarang sedang digarap oleh para pakar IT. Kalau proyek ini rampung, maka kejadian sepetti yang aku alami di atas itu niscaya tidak akan pernah ada.

Algoritma komputer juga bisa meniadakan bias personal sebab komputer tidak pernah lelah setelah praktik belasan jam sehari, jengkel terhadap pasien yang cerewet, kesal karena honor kurang, atau karena tidak dijatah pasangan semalam. Selain itu algoritma komputer itu efisien. Untuk mengupdate informasi di dalamnya agar bisa mendiagnosis dengan tepat AI tidak perlu ikut seminar yang berbayar mahal serta memakan waktu. Cukup lakukan update data baru hasil penelitian selama beberapa jam. Dengan demikian memangkas semua biaya yang diperlukan untuk menyelenggarakan seminar para dokter. Biaya pelayanan medis makin mudah terjangkau dan murah.

Mungkin ada yang bertanya kepadaku, “Loh kamu sendiri kan dokter, apa tidak khawatir kehilangan pekerjaan kalau profesimu digeser AI?” Mau aku unngkapkan atau tidak, kemajuan teknologi tidak akan bisa dibendung. Apakah keluhan sopir itu ada artinya ketika pekerjaannya sedikit demi sedikit “dirampas” oleh google map dan driverless car? Tidak.

Sumber : Status Facebook Hendy Wijaya

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed