by

Konsinyasi

Oleh : Hengki

Kemarin siang saya mampir ke sebuah minimarket. Tujuan saya cuma mencari camilan buat teman lembur menulis nanti malam. Saya ingat di minimarket itu ada rak khusus buat produk kuliner UMKM setempat.

Sayangnya produk UMKM di rak itu sekarang tinggal separo. Yang separo lagi ditempati produk susu merk ternama. Seingat saya bulan lalu rak ini penuh dengan produk UMKM dengan kemasan-kemasan menarik. Dulu saya tertarik mau beli keripik singkong aneka rasa. Saya lupa apa merk-nya.

Keripik singkong itu sudah tidak ada. Semua produk UMKM yang di display di rak itu sudah berganti dengan merk-merk baru, beda dengan yang bulan lalu. Apa memang gantian display-nya, batin saya. Tapi kenapa cuma ada separo rak?

Saya bertanya pada salah satu pegawai mengapa produk kuliner UMKM singkong aneka rasa itu sudah tidak ada lagi. Dia menjawab sudah ditarik dan tidak diisi lagi lantaran tidak laku. Diganti yang lain, Pak, jawab dia seraya menunjuk produk-produk di rak itu. Saya bertanya lagi mengapa tidak laku. Dia menjawab, mungkin kemahalan.

Sepertinya dia benar. Dulu saya tidak jadi membeli setelah melihat harganya. Akhirnya saya pilih keripik singkong biasa produk home brand yang jauh lebih murah. Bisa jadi produk-produk yang tampil bulan lalu kurang laku semua sehingga diganti merk-merk baru. Mungkin yang berkunjung ke sini kebanyakan konsumen seperti saya ini.

Saat berjalan keluar dari minimarket itu, saya teringat ada beberapa orang yang dulu pernah menawari saya untuk memasukkan produk sambal saya ke jaringan minimarket semacam ini. Saya selalu menolak. Selain karena memang belum mampu ikut kerja sama model konsinyasi begini, saya juga ragu apakah produk saya bisa laku.

Produk UMKM rata-rata berharga lebih mahal daripada produk pabrikan karena UMKM memang belum mampu efisien. Tidak ada mesin-mesin, tidak mampu beli bahan baku dalam jumlah besar, tidak mampu berproduksi massal. Kalau UMKM nekat mengambil posisi yang sama dan pasar yang sama dengan produk pabrikan dan home brand, mereka akan sulit bersaing. Seperti yang terjadi pada produk-produk UMKM yang didisplay di rak-rak minimarket tersebut.

Memang selalu ada orang yang lebih menggemari produk UMKM. Mereka tidak mempermasalahkan harga yang agak mahal karena cocok dengan value yang ditawarkan. Tapi berapakah jumlah orang semacam ini yang mau belanja di minimarket? Tentu tergantung lokasi minimarket tersebut. Mungkin jika di tengah kota atau di area perkantoran cukup banyak jumlahnya. Kalau di lokasi yang saya kunjungi ini sepertinya tidak banyak.

Menurut saya ikut sistem konsinyasi memang harus cermat mempertimbangkan segmen pasar, termasuk soal lokasi tadi. Buat UMKM yang mengandalkan value produk, saya rasa toko oleh-oleh yang ‘berkelas’ akan lebih prospektif daripada jaringan minimarket. Mungkin lho.

Sebagai sesama pelaku UMKM di bidang kuliner, saya lebih memilih jalur pemasaran sendiri lewat online. Ada banyak keuntungan dan kemudahan yang bisa saya peroleh dengan kanal pemasaran online ini. Tapi tentu saja setiap orang punya pemikiran masing-masing.

Sumber : Status Facebook Hengki

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed