by

Komando Jihad : Opsi Lintas Lintas

Ormas Khilafatul Muslimin masih berdiri hingga detik ini, berkantor pusat di Lampung; bahkan sudah mempunyai cabang di beberapa provinsi; dengan klaim mempunyai 3.000 anggota. Khilmin mengaku mengusung “Khilafah Ramah”, dan merangkul semua agama. Benderanya berwarna hijau, bertuliskan “Laa ilaaha illallah” (Tiada Tuhan Selain Allah) dalam huruf Arab.

Pada akhir 2019, “Abdul Qadir Hasan Baraja” diwawancarai oleh Gatra; setelah namanya mencuat karena menyerahkan salah satu anggota Khilmin ke polisi 3 hari setelah insiden penikaman Menkopolhukam Wiranto. Kepada Gatra, Baraja sesumbar bahwa berkat kerjasamanya dengan kepolisian itulah maka ormasnya tidak ikut dibubarkan bersama hizb ut-tahrir, padahal nama ormasnya terang-terangan memuat kata Khilafah.

Saat di Lampung, Baraja membina seorang kombatan bernama Asep Warman, asal Garut. Warman disebut telah melakukan 16 aksi serangan merebut senjata polisi di sekujur Sumsel. Setelah penangkapan Gaos Taufik di Medan, Warman kabur ke Jakarta pada 1978. Di Jakarta, bersama pelarian DI/Komji Lampung lainnya, ia ditampung di Pesantren Missi Islam di Tanjung Priok.

Januari 1979, Warman bergabung dengan Abdullah Umar. Ia memimpin laskar DI/Komji Jabar dalam serangkaian aksi perampokan dan pembunuhan; yang dikenal dengan “Teror Warman”.
Sasaran aksinya kebanyakan Perguruan Tinggi, menjarah uang kas dan membunuh civitas akademika yang dianggap sebagai pembocor informasi ke polisi yang berujung penangkapan Abubakar Ba’asyir, Abdullah Sungkar, dan Abdul Qadir Baraja. Korban Warman diantaranya IAIN Jogja dan IKIP Malang.

Warman dan Abdullah Umar ditangkap pada April 1979, tapi Warman kabur. Ia melanjutkan aksinya hingga dua tahun berikutnya. Pada 1981 ia dikepung aparat ABRI dan tertembak mati di Soreang Kolot, Bandung.

Di tahun yang sama, ada insiden pembajakan pesawat GI DC-9 Woyla di bandara Don Muang, Bangkok, Thailand. Pelakunya “Jamaah Imran”, kelompok pimpinan Imran bin Muhammad Zein, yang sejak 1980 melancarkan serangkaian aksi pembunuhan anggota polisi dan perampasan senjata di Cimahi dan Bandung.
Kelompok ini sebenarnya tidak punya catatan afiliasi dengan DI/Komji. Setelah aksi terakhirnya, penyerangan pos polisi di Cisendo, Bandung, beberapa anak buah Imran diringkus.

Pembajakan Woyla terjadi 2 minggu kemudian. Para pelaku menuntut 1,5 juta dollar dan pembebasan “80 orang teman”. Dari tuntutan ini barulah bisa ditarik hubungan dengan DI/Komji, sebab diantara yang dituntut pembebasannya ada nama Hispran, Abdullah Sungkar, Timsar Zubil, dan anggota kelompok Warman.
Imran bin Muhammad Zein diringkus bersama beberapa anggotanya, dan semuanya dihukum mati pada 1983.

Pasca reformasi, dua mantan punggawa Orba beda lini, Adnan Buyung Nasution dan Kivlan Zein, sama-sama menuding pembajakan Woyla rekayasa intelijen Orba. Tudingan itu ditulis keduanya di buku masing-masing, yang dirilis di tahun yang sama, 2004. Adnan dkk. menulis “Pergulatan Tanpa Henti Volume 3”, Kivlan menulis “Konflik dan Integrasi AD”. Kivlan lebih spesifik menuduh L.B. Moerdani sengaja menggalang ekstrimis Islam untuk membajak Woyla. Tudingan ini dibantah Jenderal M. Jusuf, mantan Pangab yang digantikan Moerdani; menurut Julius Pour penulis biografi Moerdani “Tragedi Seorang Loyalis” (2007). Sayangnya Julius tidak mengurai dengan jelas latar waktu, tempat, dan konteks bantahan M. Jusuf itu.

Kembali ke DI/Komji. Sepemampus Warman pada 1981, aksinya diteruskan oleh Abdullah Sungkar, menggunakan tenaga preman yang direkrut dari Condet, Jakarta.
Dari sini DI/Komji mendekati akhir riwayatnya. Setahun sebelumnya Daud Beureuh diciduk ABRI di Aceh, dan ditahan di Jakarta; sehingga berimbas krisis kepemimpinan DI.
Laskar preman rekrutan Sungkar pun kelak terbantai dalam Ops Petrus, Penembak Misterius; bersama-sama dengan ribuan preman lain yang habis manis sepah dibuang Opsus.

Menjelang Pemilu 1982, preman menjadi opsi yang tersisa untuk dipakai menggembosi lawan Golkar, setelah Suharto kehabisan stok jihadis. Prestasi terbesar “komando preman” ini pada saat memprovokasi kerusuhan pada kampanye PPP di Lapangan Banteng, Jakarta. Mereka direkrut melalui yayasan-yayasan pembina residivis yang cukup banyak bertebaran; salah satunya Yayasan Fajar Menyingsing pimpinan Bathi Mulyono, yang dilindungi oleh Gubernur Jateng Supardjo Rustam. Selepas Pemilu 1982, mereka dikejar dan dibasmi. Bathi sendiri hampir ikut terbunuh selama ops Petrus. Sejak 1983 ia sembunyi di Gunung Lawu, dan baru kembali pada 1985.

Peristiwa Tanjung Priok 1984, jelas terkait dengan designasi wilayah Tanjung Priok sebagai sentra budidaya ternak DI/Komji.
Dalam peristiwa ini sekitar 400 orang demonstran (versi LSM Sontak) tewas oleh peluru tajam dan digilas truk. Demonstrasi dipicu oleh penangkapan warga Tanjung Priok yang membakar sepeda motor milik seorang Babinsa, gara-gara bintara tersebut menyiramkan air comberan ke papan pengumuman Musholla dengan alasan di situ ada tulisan “Suharto germo Kramattunggak”.

Pangdam Jaya waktu itu, Try Sutrisno, terselamatkan karirnya dari stigma pembantai umat Islam, berkat kedatangan mendadak Pangab L.B. Moerdani di lokasi – atas perintah langsung Suharto, sehingga Moerdani lah yang harus menyandang gelar “musuh Islam”, bahkan hingga kini.
Di mata korban-korban Ali Moertopo, Moerdani toh sosok yang paling sesuai untuk stempel itu; sebagai binaan dan penerus Ali.

Pun peristiwa Talangsari 1989, pemberantasan Jamaah Mujahidin Fisabilillah di desa Talangsari III, Lampung; tidak bisa dipisahkan dengan posisi Lampung sebagai basis terkuat DI/Komji di pulau Sumatera. Operasi jaring itu menghasilkan 130 mayat, menurut rilis Komnas HAM pada 2008.

Cacat permanen citra Islam di Indonesia sudah menghasilkan kemenangan beruntun Golkar di Pemilu 1971, 1977, 1982, dan 1987. Lalu dituntaskan dengan apik oleh aksi kepahlawanan Orba yang sukses memberantas para jihadis, beserta benih-benih latennya; persis nasib simpatisan PKI.

Saat muslim yang tersisa tinggal golongan moderat, maka sudah saatnya bagi Suharto menghentikan perangnya terhadap Islam. Pada 1991 ia naik haji, mendapat tambahan nama dari Kerajaan Saudi menjadi Muhammad Suharto. Pemilu 1992 pun kembali dimenangkan Golkar.

Kelak oleh sebagian kalangan, H.M. Suharto dikenang sebagai Pahlawan Nasional Pembela Islam; khususnya oleh anak-anak kelahiran 1997 yang sekarang sudah tumbuh jenggot syar’i dengan washilah ulekan kemiri.

Pada fase gerakan Reformasi 1998, ada bukti konkret bahwa Komji tidak diberantas habis. Kivlan Zein, tangan kanan Pangkostrad Prabowo Subianto saat itu, mengaku membentuk milisia bersajam yang dinamai Pam Swakarsa (Pengamanan Masyarakat Swakarsa) atas perintah Pangab/Menhankam Wiranto. Tugasnya menghadang aksi mahasiswa. Komposisinya dari kumpulan ormas pemuda Islam pro-Orba, diantaranya FPI, Brigade Hizbullah dan Furkon.
Pada Oktober 1998, saat menghadang massa mahasiswa di Cawang, laskar pemakai jimat ilmu kebal ini hampir dibasmi ratusan warga Jakarta yang melindungi mahasiswa. Mereka tunggang langgang, kehilangan 5 orang personil yang mati dimutilasi warga.

Akhir 2019, 11 tahun kemudian, Kivlan menuntut Wiranto ke pengadilan, minta ganti rugi 1 Trilyun atas jerih payahnya beternak Pam swakarsa. Menurutnya Wiranto saat itu cuma memberi 400 juta, sementara biaya pakan ternak membengkak hingga 8 Milyar, yang harus ditombokinya dengan menjual harta pribadi. Untuk penghadangan mahasiswa yang berbuah peristiwa Tragedi Semanggi itu, ia mengaku mendatangkan 30.000 ekor laskar takut mati dari Banten, Tangerang, Depok, Cianjur, Bekasi, Kerawang, Purwakarta, Bandung, Tasikmalaya, Lampung, dan Makassar.

Sepelengser suharto pada 1998, model budidaya ternak jihadis ini tetap santer dari rezim ke rezim; walaupun tidak dijalankan oleh rezim. Selepas reformasi, ternak jihadis menjadi kumpulan freelancer yang menclok dari satu majikan ke majikan lain; dan terkesan sayang diberantas tuntas karena terlalu bermanfaat bagi elit tertentu.

Abubakar Ba’asyir pendiri Jama’ah Islamiyah, sebagai mata rantai terakhir DI/Komji yang masih hidup di era reformasi, juga menjadi bukti bertahannya kumpulan ini. Aksi-aksi teror dalam 20 tahun terakhir, apapun merek knockoff yang diusung pelakunya, entah JAT, JAD, dan lain-lain, sejatinya tidak bisa dipisahkan dari JI. Sedangkan JI tidak bisa dipisahkan dari DI/Komji.

Sosok Rizieq Shihab yang pernah satu sel dengan Abubakar Ba’asyir pun tidak bisa dipisahkan dari fenomena budidaya ternak jihadis. Ormas FPI yang didirikannya pada Agustus 1998, terlalu dekat jaraknya dengan pembentukan Pam Swakarsa untuk dianggap kebetulan.
Rizieq saat ini sedang melakukan Pengasingan Mandiri di Saudi. Konon masih hidup.

Pola-pola Komji bentukan Opsus yang dibiarkan berulang setelah tumbangnya Orba ini menyuburkan dugaan masih lestarinya Komji hingga kini, walaupun di tangan peternak yang berbeda. Terduga peternak pun tidak mesti dari sisi pemerintah; bisa juga dari sisi musuh-musuh rezim tertentu – baik luar maupun dalam selimut.

Dalam rezim terkini misalnya, pemerintahan Joko Widodo, hanya di periode pertama saja (2014-2019), ada lonjakan yang Extraordinary pada angka kejadian aksi teror : total 341 kejadian.
Angka ini hampir 10 kali lipat dari total jenderal di 2 periode rezim sebelumnya (SBY 2004-2014), yang hanya mengalami 36 aksi.

Dari gamblangnya eksistensi oknum elit yang terkait langsung budidaya ternak Komji, misalnya Kivlan Zein, mestinya tidak sulit mengurai siapa saja dan kalangan mana saja yang terlibat. Sayangnya negara kita tidak sekuat itu.

Hanya tertinggal satu kata : Jasmerah.

Man laisa lahu tarikh, laisa lahu dzakiroh.

Wallahul muwafiq ilaa aqwamith thoriq,
Wassalamu’alaikum wr. wb.
F. Haryadi, S.Pd
Sekretaris Lajnah Ta’lif wan-Nasyr PWNU Papua
.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed