by

Kita Masih di Lantai Bawah

Oleh: Kend Subiakto

Di tengah lelahnya kita menghadapi pandemi yg nyaris genap dua tahun, disana pula kita merasakan hiruk pikuk perdebatan orang cerdik pandai dan jelmaan ilmu dadakan. Ada dukun jadi dokter, ada dokter jadi dukun, ada ustadz murtad, ada ekonom dadakan, ada banyak pesosmed yg jadi penasihat presiden, dst.

Kadarnya jadi 11-12 dgn hoaks, karena bagaimana mungkin ikan bisa dadakan manjat pohon.Ada beberapa pesosmed kenamaan yg menasihati Pak Jokowi ttg PPKM, kesannya membela rakyat kecil yg susah dimana-mana kalau PPKM di perpanjang.

Kita semua tau bahwa semua keputusan pemerintah saat ini tidak ada yg mulus bagus, pastilah keputusan yg satu membentur yg lainnya, seperti ulasan Karto Bugel, kita sedang makan buah simalakama, dimakan mati emak gak dimakan mati bapak.Jadi, marilah kita berpikir proposional, tidak usah melebar, semua ada bagiannya masing-masing.

Jangan membuat statement yg kontra produktif, seolah pendukung Jokowi sudah mulai masuk angin. Mungkin saran dan nasihat dalam tulisan itu satire, tapi ketendensiusannya terasa juga, atau ada kalimat bercabang ditengah nafas pemerintah yg sedang terengah.

Pemerintah itu bukan tukang dawet kang, belanja gula aren, tepung dan santan langsung jadi. Ibarat naik bangunan tinggi kita baru dilantai bawah, tetangga saja yg mau diliat terbatas, karena diliat kebawah lgsg tanah. Dibutuhkan tingkat pertingkat utk melihat yg lebih luas.Pemerintah juga demikian, mungkin mereka sekarang sudah kelantai 20 melihat kesekelilingmya, dikejauhan ada asap, didekat ada jalan ramai, disebelah kanan ada orang sakit, disebelah kiri ada yg sedang menari, dst.

Apa yg akan dilakukan pastilah dipertimbangkan, bahkan sampai menempatkan LBP rangkap jabatan adalah bukan putusan mudah.PPKM di pelesetkan macam-macam, dari mulai Paling Penak Kelonan Mas, sampai Pelan Pelan Kita Mati, kesannya jadi pesimis, kenapa tidak PELAN PELAN KITA MEMBAIK.

Kan sudah dikasi tau kalau pesimis, imunnya turun.Kita itu punya presiden Jokowi, bukan SBY mas, kita punya Menkeu Sri Mulyani, bukan Rizal Ramli, semua rencana sudah di buat skenario baik sampai buruk. Jadi kalau Sri Mulyani bicara kemampuan bayar cicilan hutang, itu memang planing yg bukan datang sekarang.

Masaklah mentang-mentang pandemi terus kita ngemplang, itu namanya curang. Katanya gak boleh nyontoh Hambalang, sekarang ada niat baik bayar cicilan malah disalahkan, ini masalah kredibelitas mas, ini negara yg diurus bukan account FB yg hanya WHAT YOUR MIND, TAPI WHO THE MASTER MIND.

Ada dua kutub yg sama-sama urgen untuk di jaga, putaran ekonomi sekaligus income dan daya beli masyarakat, di kutub yg lain bagaimana mengendalikan, menahan laju keterjangkitan virus yg makin menggila, Kita sekarang sedang balapan,, antara kecepatan vaksin, penularan, kesembuhan dan kematian.

Sementara nafas dari semua itu adalah ekonomi, oksigen yg tidak boleh habis adalah turn over pada transaksi dan interaksi masyarakat. Saturasi kita sekarang diambang batas ketersengalan, kadang harus dibuka supply oksigennya, kadang di perkecil, yg penting jangan kehabisan oksigen, bisa mati.

PPKM lanjutan adalah pilihan dan pasti ada korban mata pencaharian, tapi kalau tidak dilakukan apakah ada jaminan keterjangkitan covid bisa dihentikan, sementara korbannya pasti berjatuhan. Pilihan kita memang sulit antara lapar atau mati. Kalau lapar masih ada waktu menunggu bantuan, kalau mati yg menunggu pasti kuburan.

Jadi marilah saling mendoroang rasa empati, pemerintah sudah pasti berpikir yg terbaik, jangan kita pula yg licik, Seolah baik nggak taunya mencekik. MARI BANGUN OPTIMISME BERSAMA UTK SEHAT DAN BAHAGIA BERSAMA. JANGAN BELUM APA-APA JADI GULMA.

(Sumber: Facebook Kend Subiakto)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed