by

Ketika Kata Sodetan dan Bendungan Menjadi Naturalisasi

Perlu bukti fisik? Itu malah lebih mudah ditemukan. Kita mulai dari struktur bangunan tua di daerah Pasar Ikan. Beberapa bangunan didesign khusus agar tetap befungsi normal ketika air pasang. Lanjut ke berapa kali/sungai yg ada di Jakarta, yg ternyata sebagian dari kali itu adalah saluran air buatan manusia yg berguna untuk menghindari terjadinya genangan air. Jelas tidak natural.

Sampai sekarang belum diketahui naturalisasi seperti apa yg dimaksudkan “pak camat”, tapi yg pasti beliau sendiri kebingungan. Lah kok bisa? Terlihat dgn jelas dalam penyampaian konsep oleh kaki tangannya yg menyebutkan sodetan dan bendungan sebagai bagian dari naturalisasi. Perlu bukti apalagi untuk menegaskan bahwa sodetan dan bendungan itu justru bagian utama dari proses normalisasi. Keduanya merupakan upaya pengendalian debit air pada daerah aliran sungai. Keduanya juga merupakan tindakan yg sangat dihindari oleh para naturalis.

Sodetan sudah dibuat sejak Belanda masih bercokol. Ir Van Breen pada tahun 1913 mengkonsepkan sodetan pada bagian paling selatan Batavia yaitu sekitar Manggarai melintas ke Karet hingga Muara Angke, yg kemudian disebut Kanal Banjir Barat. Hampir 70 thn kemudian baru dimulai pembangunan lanjutan kanal banjir Jakarta, Kanal Banjir Timur, tepatnya pada thn 1973 melalui Master Plan Pengendalian Banjir Jakarta yg bekerja sama dgn — lagi-lagi — pemerintah Belanda. Bahkan pembuatan sodetan dari Kali Ciliwung ke Kanal Banjir Timur yg penuh keriuhan itu baru berlangsung pada era Basuki Tjahaja Purnama.

Bendungan sebagai bagian utama dalam pengendalian banjir konon sudah digagas sejak Bang Ali Sadikin menjadi gubernur DKI Jakarta. Berbagai konsep pewilayahan yg terkait ikut lahir setelahnya. Kita mengenal Jabodeatabek dan juga Bopunjur sebagai penegasan bahwa penataan wilayah di Jakarta tidak dapat jalan sendiri.

Bendungan yg direncanakan berada di selatan Jakarta sebagai bagian dari DAS Ciliwung. Setelah puluhan tahun sebatas konsep, pembangunan fisiknya baru dimulai beberapa tahun belakangan, tepatnya ketika Ir H Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta menjabat Presiden Republik Indonesia. Tepat seperti perkataannya bahwa penanggulangan masalah banjir di Jakarta baru bisa terealisasi jika ada campur tangan pemerintah pusat. Tidak ada yg ajaib dari tindakannya, karena sejak awal konsep pewilayahan yg mengikutkan DKI Jakarta memang wewenang pemerintah pusat. Jadi tidak perlu ada yg lebay dan bermuka masam kemudian sibuk menata kata saat bendungan dekat Ciawi tersebut kelak diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada periode kedua jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia.

Terakhir. Menata KOTA itu sulit. Namun, kadangkala menata KATA itu jauh lebih sulit saat kata yg tersusun indah itu ditagih pembuktiannya. Si pengucap kata hanya bisa berharap keajaiban bahwa seluruh penduduk di DKI Jakarta itu benar-benar dungu seperti sebagian lainnya yg selalu membenarkan perkataannya tanpa pernah sempat berpikir. Ya namanya dungu memang kaga pake mikir, tong!

Sumber : Status Facebook Yamin El Rust

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed