by

Kesan tentang Gibran, Rendah Hati dan Sederhana

Belakangan saat pulang, si Mas kembali menyapa saya, mengucapkan selamat jalan. Saya masih belum ngeh siapa dia, tetapi merasa familiar dengan wajahnya. Setelah sampai di rumah, baru saya sadar, oh ternyata dia Gibran, dan pertemuan itu menjadi mengesankan sekali. Seorang putra orang kuat, Walikota Solo saat itu, begitu rendah hati dan sederhana. 

Tahun berlalu, dan saya menjadi cukup intens mengamati Si Mas. Ia terlihat pendiam, kadang terlihat jengah saat berada di acara formal. Garis mulut yang tetiba auto cemberut, tepatnya kehilangan senyumnya. Entah kenapa, saya merasa si Mas orang seperti saya, yang juga sering auto jengah, di luar kendali, saat berhadapan dengan orang-orang yang bagi saya menyebalkan atau bahkan munafik. Mendadak jutek, atau yang paling sering, menarik diri dari kerumunan penuh basa basi itu.

Di sisi lain, saya sangat terhibur dengan cuitan-cuitan Si Mas dan adiknya. Humor segar dan terkesan cerdas. Sebagaimana yang saya percaya, humor adalah bentuk kecerdasan serta wawasan. Perlahan saya mulai melihat si Mas seperti kebanyakan generasi muda saat ini, generasi yang kerap disebut milenial. Generasi yang sangat up date informasi, sangat terlibat juga dengan isu-isu terbaru, terbiasa dengan perbedaan, namun sulit menghadapi tradisi generasi lama yang sering terasa terlalu basa-basi, sopan santun klise, pragmatis, dan tidak pernah bersikap jelas.

Dalam berhumor, Si Mas dan Kaesang adiknya, terbiasa merendahkan dirinya, berpura-pura tolol, bodoh dan bukan siapa-siapa. Sekali lagi ini bagi saya luar biasa, hanya dimiliki orang yang punya kesombongan, rendah hati. Orang yang tak lagi mengumbar ego-nya. Mengingatkan saya pada almarhum Dono Warkop, seorang sosiolog, Dosen UI, yng terbiasa merendah dan jadi bulan-bulanan teman-temannya dalam film-film Warkop. Ini membedakan Dono dengan Rhoma Irama, yang selalu jadi jawara dari awal film hingga film selesai. Tak pernah kalah ataupun salah barang semenit pun. Kerendah hatian ini membuat saya tidak heran saat Si Mas menamai putrinya La Lembah Manah. Rendah hati, low profile, memang sesuatu yang menjadi concern Si Mas.

Lalu kemudian, saya bertemu Si Mas dalam suatu acara diskusi pengembangan kota Solo bersama penggiat-penggiat social dan budaya Solo. Saat itu Si Mas mulai didengung-dengungkan akan mencalonkan diri sebagai Walikota Surakarta. Sebelum acara dimulai, tak ada yang menyolok luar biasa dari kedatangan Si mas di acara itu. Ia berbaur dengan banyak pengunjung lain. Menyapa ramah para tokoh senior Solo. Dan yang sedikit membuat salut, saya sempat berada di dekat Si Mas saat ia menyapa Mbah Prapto, seniman sepuh yang sangat disegani, pemilik Padepokan lemah Putih. Si Mas terlihat mencium tangan Mbah Prapto sembari membungkuk. Mereka pun terlibat pembicaraan yang cukup intens, tepatnya Mbah Prapto banyak berbicara, sedang Si Mas mendengarkan dengan takzim, sesekali berkata ‘Njih’ dan sepanjang pembicaraan, Si Mas berdiri dengan sedikit menunduk dan sikap tangan ngapu rancang. Kesopanan khas jawa yang tak canggung sama sekali. Apa yang terlihat di depan mata saya ini membuat gambaran Gibran Rakabuming Raka yang sering dikira jutek dan mendongak, menjadi buyar. Di mata saya, Si Mas tak seburuk itu.

Saat diskusi dimulai, panitia mempersilahkan Si Mas duduk di depan, menghadap peserta diskusi lain. Si Mas tertawa, sembari berkata, “Saya ke sini ini tujuannya untuk ngangsu kawruh (menimba ilmu), jadi saya seharusnya saya berada di antara peserta-peserta lain dan bukan di depan. Saya masih dalam taraf belajar untuk memahami permasalahan-permasalahan di masyarakat, dan bagaimana solusinya” Segera saja semua peserta bertepuk tangan riuh. Tidak menyangka akan mendengar Si Mas berkata demikian. Berani taruhan, kebanyakan calon kepala daerah sekelas Bupati atau Walikota akan datang ke suatu acara dengan cara megah gegap gempita, diiringi banyak bodyguard, dan langsung mengambil tempat di depan. Atau bahkan mereka enggan hadir ke acara diskusi yang gampang sekali terjebak untuk mempertunjukkan kebodohan. Gibran memang beda.

Sepanjang diskusi itu, Si Mas terlihat tenang dan banyak menyimak. Sampai kemudian Moderator mempersilahkan ia bicara. Tak banyak yang saya ingat tentang kata-katanya, tetapi ada satu hal yang sangat mengesan bagi saya. “Saya terkesan dengan negara Bhutan,” demikian kata Gibran. “Negara itu bukan negara dengan indikator kemakmuran yang baik, namun tingkat kebahagiaannya termasuk yang paling tinggi di dunia. Kita perlu mencari tahu dan mengadaptasi resepnya. Agar bisa diterapkan di kota kita ini. Sebab, jika pembangunan harus mengejar indikator kemakmuran yang biasa digunakan akan terlalu lama dicapai. Mungkin Bhutan punya budaya yang membuat orang tidak rentan stress, dan saya kira Solo dan budaya Jawa-nya punya potensi untuk menciptakan masyarakat yang bahagia…..”

Diskusi pun kemudian beralih ke diskusi Budaya Jawa, dan kajian tentang hal-hal yang mengembalikan Solo kembali ayem tentrem. Saat itulah saya percaya Si Mas adalah seorang yang serius berpikir tentang kotanya, bukan sekadar orang yang bercita-cita tanpa pernah benar-benar berkeinginan menjadikan kotanya menjadi lebih baik. Sejak itu, pandangan saya tentang Gibran sebagai Walikota menjadi optimis. Apalagi kemudian saat saya melihat bahwa segala kejutekan dan ke’ndangak’annya selalu hilang, saat ia bersama mereka yang kesulitan dan lemah. Warga-warga masyarakat biasa dan termarjinalkan. Gibran, bukanlah tipe kepala daerah yang flamboyant dengan busana dan dandanan indah, pidato-pidato ala selebrita, sebagaimana kebanyakan politikus masa kini. Ia adalah seorang yang hening.

#vkd

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed