Oleh : Sunardian Wirodono
Lha tapi bagaimana. Dengan medsos masyarakat Indonesia jadi pemberani. Berani nyolot. Ngawur sekali pun. Nggak mbaca tapi bisa komen. Dan komennya nggak nyambung.
Beberapa kali eksperimen di medsos, saya bisa membuktikan itu. Membuat judul bernada A, tetapi isinya bukan soal A. Muncul komen yang tak setuju soal A, anti terhadap A. Padal sama sekali tak ada dalam teks pernyataan soal A itu. Dan komentar itu, ditulis dengan permintaan maaf bahwa si pengomen tidak membaca teks keseluruhan. Itu masih mending, karena ada yang sama sekali tak membaca langsung nyolot, menawarkan obat penumbuh jenggot.
Tapi asal nyolot ini tak hanya di medsos. Hal paling lucu bagi saya, yang terbaru, komentar ICW (Indonesia Coruption Watch), ini semacam watchdog untuk para calon koruptor agar jangan korupsi. Tapi korupsi jalan terus, gimana njagainnya? Ups, sori, jangan ngritik LSM, nanti dikira buzzerRp. Padal buzzer-Riyal.
Komentar ICW menanggapi pernyataan Luhut Binsar Panjaitan soal OTT KPK, menurut saya misleading. Keburu benci jadi kelihatan atau ternyata kurang cerdas. ICW lebih menafsir bahwa LBP memberi sinyal KPK agar tidak melakukan OTT. Ini sebagai penanda pemerintah ikut campur dalam penegakan hukum. Padal KPK konon lembaga hukum independen. KPK tidak boleh diintervensi pihak mana pun. Makanya ketika Lukas Enembe tak juga bisa dibawa ke Jakarta, ICW juga tidak intervensi agar tertib hukum? ICW pun kemudian mengadu pada Presiden, agar menegur Luhut untuk tidak mencampuri penegakan hukum.
Bukan hanya ICW sih sebenarnya. Banyak pihak yang menafsir hanya berdasar persepsinya, tetapi tidak seiring dengan perpektifnya. Di Indonesia, dua hal itu sering tidak nyambung. Persepsinya digedein, perspektifnya tidak ngembang. Termasuk KPK juga.
Saudara pembaca dan pembaci yang dimuliakan medsos. Kepolitikan Indonesia sampai hari ini, sejak 1945, belum beranjak juga dari tradisi lisan dengan karakter kelisanan. Di jaman medsos, di jaman digital yang membutuhkan code-code presisi, masih saja wacana dan komunikasi lisan mendominasi. Kalau Indonesia dibilang tingkat literasinya rendah, nomer dua dari bawah se dunia (2016), itu juga bukan berarti Cuma rakyat jelantah. Termasuk menteri pembantu presiden, termasuk SJW-nya, yang bukan Social Justice Warrior tapi lebih ke Social Joker Warrior. Termasuk pada pejuang fesbukiyah, saya, sampeyan.
Itulah kalau tradisi kelisanan dicemplungkan bareng-bareng ke dunia digital. Dimana tafsir dan analogi masih menguasai. Pernyataan Luhut, jika dibaca lebih jauh dari sisi konteks, konstruksi logika yang hendak dibangun bagaimana KPK meningkatkan peran, dalam pendampingan para pejabat negara menggunakan anggaran. Peringatan itu penting dalam kaitan sistem dan mekanisme keuangan yang akan masuk ke teknologi digital.
Jika para pejabat negara masih terus goblog, tak sadar dengan dunia informatika, sungguh sangat buruk dalam konteks Indonesia yang harus bersiasat dalam ekonomi dunia yang memburuk saat ini. Padal iklim investasi yang sehat hendak dibangun. Bayangkan, dengan alat sadap canggih, KPK bisa mengawasi pergerakan pejabat negara dalam gerak-geriknya, para maling duit negara itu masih makai cara analog.
Sekarang jarang yang goblog banget transfer duit curian via bank. Tapi masih banyak para maling berkomunikasi ria dengan ponsel mereka. Dengan peter gonta-ganti nomer ponsel dikiranya sudah bisa menghilangkan jejak. Jika dari kegoblogan itu banyak pejabat negara terkena OTT, negara lain calon investor bisa jadi nggak percaya tanem investasi. Padal kita butuh untuk menggulirkan perputaran duit dari jebakan ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja. Penangkapan OTT itu sungguh kampanye buruk bagi Indonesia ke depan. Bagaimana investor bakal percaya, kalau korupsi marak, bahkan dengan cara begitu bodoh itu?
Saya tidak membaca dalam konteks pre maupun post-truth, tetapi harus pada truth itu sendiri. Artinya, harus membacai semua teks-teks berkait soal korupsi. Hingga harus tahu sejarahnya, sosiologisnya, keekonomiannya. Kalau kelas menengah literasinya baru ditingkat literasi kelisanan, dan tak mampu meningkatkan ke penguasaan teks secara komprehensif, yang muncul hanya wacana-wacana kelisanan.
Dan ketika berangkatnya dari kebencian atau ketidaktahuan, pihak sana dan sini sama saja brengseknya. Luhut bisa brengsek karena memberikan pernyataan yang bias atas teks, ICW juga sama dan sebangun karena bias teks. Media, cetak atau online, yang menampung teks seperti itu, juga lebih bias teks lagi.
Terus atas hal itu kalian bilang rakyat jelantah yang salah? Termasuk rakyat jelantah bernama Jokowi yang jadi Presiden? Sementara maukah kita mengakui pemahaman filosofis Jokowi soal ‘connectivity’ dan ‘collaboration’ sebagai dasar kerja-kerja-kerjanya itu? Jangankan pada lawan-lawannya, pembenci-pembencinya. Yang hanya bersemangat nyari-nyari kesalahan Jokowi, akan terlihat memprihatinkan seperti AHY. Anak kemarin sore itu mengajari katak (induknya kecebong) berenang soal infrastruktur. Yang benar-benar tak tahu diuntung akan buntung. Itu hukum fisika dan kimia sekaligus.
Bagi para pembantu Jokowi pun, pemahaman soal dua hal itu, konektivitas dan kolaborasi, belum dipahami benar, di samping karena Jokowi juga kurang artikulatif. Kritik saya pada Jokowi, adalah terlalu moderatnya dalam memposisikan para pembantu yang dianggap sudah tahu, atau semestinya sudah harus tahu.
Ciri-ciri pemimpin dunia, selalu mempercayai orang-orang didekatnya mengerti dan seperahu. Berdasar kesepahaman. Di Indonesia, kenyataannya, ada orang yang sebenarnya tidak tahu tapi merasa tahu. Padal absolutely tempe. Itu bukan hanya para pejabat negara, tetapi juga yang mengaku aktivis pembela rakyat dalam segala bentuknya.
Sementara Jokowi hanya mengandalkan connectivity dan collaborations mengacu pada satu kata ‘truth’. Sedangkan para pembantu dan pengritik Jokowi, sama-sama masih berada di sektor ‘pre’ dan ‘post’ truth.
Gitulah, kebencian akan membuatmu tidak adil. Tetapi bagaimana kalau cinta juga melahirkan ketidakadilan? Maaf ya, nggak usah ngeyel, IQ rata-rata orang Indonesia ada di peringkat 130 Dunia. Dan anda, bagian dari itu. Saya bukan bagian dari itu, karena mungkin IQ saya 129 pun nggak nyampe. Mbok bijaksana dikit aja. Dalam Zarathustra, sang nabi bersabda: “Tidakkah yang paling berat itu adalah ini: Merendahkan diri untuk membunuh keangkuhan? Mempertontonkan ketololan untuk mencemooh kebijaksanaan kita sendiri?”
Eh, Socrates malah nyolot, “Satu-satunya kebijaksanaan sejati adalah mengetahui bahwa Anda tidak mengetahui apa-apa.” Sementara “memahami orang lain adalah kebijaksanaan, memahami diri sendiri adalah pencerahan,” berkata Lao Zu. Karena menurut Homerus, “Kebijaksanaan tidak pernah berbohong.” Tapi memang kata Immanuel Kant, “Sains dibentuk oleh pengetahuan, kebijaksanaan dibentuk oleh kehidupan.” Jadi?
Ya, terimalah ini proses bangsa dan negaramu. Siapa capresmu, capres yang kayak apa, akan menentukan Indonesia ke depan. “Hanyalah kebijaksanaan yang tidak pernah menempatkan kepercayaan diri yang tinggi pada tempat yang sebelumnya kita pernah ditipu,” ujar Rene Descartes.
Dan agar jika benci jangan nyolot, ingin saya tutup kutbah pada hari ini mengutip igauan Mbah Kyai Emeritus Albert Einstein yang keturunan Yahudi, “Everybody is a genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid. Semua orang itu jenius. Tetapi jika Anda menilai ikan dengan kemampuannya untuk memanjat pohon, percayalah itu adalah bodoh. Kalau saya mah, don’t follow the elite! Shodaqallahul Adzim! |
Sumber : Status Facebook Sunardian Wirodono III
Comment