by

Jokowi Selami Filosofi Ikan, SBY Tenggelam dalam Filosofi Citra

Oleh : Assaro Lahagu

Presiden Joko Widodo tampak memberikan makan ikan di Istana Bogor di kala senggang. Foto ini diunggah di akun pribadi Presiden Joko Widodo pada Rabu (24/2/2016 oleh Kompas.com).

Saya tertarik melihat Jokowi saat memberi makan ikan di kolam. Perhatikanlah gesture tubuhnya. Ia duduk, santai, dan sangat menikmati saat-saat emas untuk memberi makan ikan di kolam. Tentu saja publik maklum. Memelihara, memperhatikan dan memberi makan ikan adalah hobby yang wajar. Jokowi juga manusia. Tetapi, saya bertanya, mengapa seorang presiden yang sangat sibuk, masih meluangkan waktu untuk memberi makan ikan? Ternyata jawabannya menarik.

Jika orang kebanyakan memelihara ikan sebagai hobby belaka dan berhenti sampai di situ, Jokowi tidaklah demikian. Jokowi suka memelihara ikan dan memberinya makan karena di situ ada iluminasi, ada pencerahan, ada inspirasi dan ada filosofi hidup yang luar biasa. Ketika Jokowi sedang memberi makan ikan, maka pada saat itu juga filosofi hidup ikan mencerahkannya dan menguatkannya. Jokowi pun menyelami filosofi itu untuk kemudian dipakainya sebagai jurus andalannya dalam memimpin negeri ini. Apa-apa saja filosofi ikan yang diselami Jokowi itu?

Pertama, ikan kalau berenang terus maju dan tidak pernah mundur. Benar, ikan berbelok, berputar haluan tetapi tetap saja ia berenang maju. Ikan tidak pernah berenang mundur, ia berenang maju. Filosofi inilah yang diselami Jokowi. Jokowi terus maju merevolusi bangsanya, ia tidak akan mundur melaksanakan apa yang diyakininya. Program Jokowi tentang pembangunan infrastruktur terkait pembangunan jalan, rel kereta api di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian, jalan tol trans Sumatera, tol laut dan kapal ternak, kereta api cepat Jakarta-Bandung, terus digebernya. Ia pantang mundur. Benar, ia kadang berbelok, berputar haluan, namun tetap maju.

Kedua, ikan terus melawan arus. Perhatikanlah ikan-ikan yang hidup di sungai atau jika ada arus air di kolam, ikan-ikan itu terlihat terus melawan arus. Filosofinya ialah ikan akan semakin kuat dan besar bukan karena ikut arus sungai tetapi karena melawan arus sungai. Semakin rajin ikan melawan arus, maka ikan itu pun semakin kuat.

Sudah lama diketahui bahwa ikan yang paling hebat melawan arus adalah ikan salmon. Ikan ini terkenal karena daya juangnya yang terus melawan arus sungai. Ia berenang dan terus berusaha naik ke permukaan sungai, rela luka-luka dan mengambil resiko di makan beruang. Ikan-ikan salmon kalau mau bertelur, akan melakukan perjalanan panjang dan berjuang mengarungi lautan selama bertahun-tahun hanya untuk bertelur di hulu sungai tempat ia dilahirkan sebelumnya. Sungguh luar biasa.

Perhatikanlah sepak terjang Jokowi selama ia menjadi Presiden. Ia cenderung melawan arus. Ia memberantas illegal fishing dengan menenggelamkan kapal-kapal asing pencuri ikan, ia membekukan PSSI yang telah digerogoti mafia sepak bola, ia membubarkan Petral karena tidak efisien, lalu ia melawan tekanan asing soal perpanjangan kontrak karya PT Freeport. Jokowi juga tidak mau disebut petugas partai. Ia melawan arus keinginan PDIP yang kebelet mencopot Rini Soemarni dan mereshufle kabinetnya.

Ketiga, ikan meloncat ke kolam yang lain. Ikan tidak pernah tenang dan nyaman berada di kolam yang sama. Jika ada kolam yang lain yang berdampingan, ikan-ikan itu akan meloncat. Ketika Jokowi sudah menjadi pengusaha, ia meloncat menjadi wali kota Solo. Dari sana ia meloncat lagi menjadi Gubernur DKI Jakarta dan terakhir ia meloncat menjadi Presiden. Setelah Presiden, kita tidak tahu kemana Jokowi akan meloncat. Jokowi ibarat seekor ikan. Ia ingin menjadi ikan yang besar di kolam yang besar dan tidak mau menjadi ikan yang kecil di kolam yang besar atau ikan yang besar di kolam yang kecil. Maka tak heran Jokowi meloncat-loncat.

Keempat, ikan berpendirian yang teguh. Ikan tidak mudah merubah dirinya menjadi asin atau berlumur lumpur dan kotoran. Walaupun ikan hidup di tempat asin seperti air laut yang asin, ikan tidak pernah terasa asin. Ikan selalu membentengi dirinya dari rasa asin. Jokowi terus menyelami filosofi ikan ini. Walaupun ia hidup dalam budaya korup, dikelilingi oleh orang-orang yang bermental korup, Jokowi tetap bisa menjaga dirinya agar tidak ikut kotor. Ia dengan tegas mengingatkan masyarakat bahwa jangan sekali-kali percaya kepada orang-orang yang mencatut namanya atau keluarganya. Jokowi sadar filosofi pembusukan ikan yang dimulai dari kepalanya. Selama ini pembusukan negara ini dimulai dari kepala negara, dan para pejabat. Karena itu sebagai kepala negara, Jokowi menjaga agar janganlah dia yang pertama-tama busuk.

Kelima, ikan tidak mempunyai wajah yang iri. Ikan tidak pernah mau hidup di darat. Betapa pun darat penuh dengan pesona dan gemerlapan, tetap saja ikan tidak tergoda dan iri. Ikan tetap nyaman di air, di tempat kodratnya. Ikan tahu dirinya beda karena mempunyai insang sedangkan yang lain tidak. Jokowi mencuri filosofi ikan ini. Jokowi tidak pernah iri akan kesuksesan orang lain. Jokowi sudah memahami dirinya dan kodratnya. Kendatipun ia dihina, diejek dan dilecehkan, tetap saja Jokowi senyum-senyum. Ia tidak marah dan membalas hinaan itu dengan kata-kata kasar yang penuh kedengkian dan keirihatian. Ia tahu bahwa dirinya adalah orang yang berbudaya.

Lalu apa hubungannya dengan mantan Presiden SBY yang akhir-akhir ini merasa disalahkan oleh pemerintah sekarang?

Sejak 12 belas tahun yang lalu, saya selalu mengikuti berita tentang SBY. Saya ingat saat ia menjadi Menko Polhukam era Megawati, lalu menjadi presiden selama sepuluh tahun (2004-2014). Kesan saya adalah SBY merupakan presiden Indonesia yang sangat care tentang citra. SBY sangat menjunjung tinggi citranya. Kalau ia mengarang lagu dan menelurkan beberapa album, itu karena ia sangat mementingkan citranya. Dalam benaknya, jika ia berhasil mengembangkan bakatnya menyanyi, maka rakyat akan memuji dirinya. Itu berarti citranya semakin tinggi.

Hebat, hanya Presiden SBY satu-satunya presiden di dunia ini yang bisa mengarang lagu dan menelurkan album. Luar biasa bukan? Karena sangat care dengan filosofi citranya, SBY tetap berusaha membuat harga BBM dan Tarif Dasar Listrik (TDL) murah meriah selama sepuluh tahun. Ia pun tidak berani menghilangkan subsidi yang begitu mencekik APBN. Ia tidak mau kalau rakyatnya menderita dan miskin hanya karena gara-gara BBM dan TDL yang mahal. Sudah jelas hal itu akan mencoreng citranya. Akibatnya selama sepuluh tahun SBY memerintah, subsidi BBM dan TDL mencapai lebih 1.000 triliun. Rakyat pun membayar mahal. Pembangunan infrastruktur jalan di tempat dan utang pun menggunung.

Hebatnya, setiap pidato-pidato yang SBY ucapkan, selalu mencengangkan publik. ia cerdas benar menyusun rangkain kata dan kalimat pidatonya. Ialah satu-satunya Presiden yang berpidato dengan gaya bahasa luar biasa, beralur sitematis, teratur dan sangat enak didengar. Anda tahu kenapa? Karena bahasa menurut SBY identik dengan citra. Itulah sebabnya SBY sangat memperhatikan aspek kebahasaan setiap ia berpidato. Sesulit apapun masalah yang dihadapi rakyat, SBY selalu menanggapinya dengan penjelasan bahasa yang lugas plus wajah ganteng yang serius dan bermimik pekerja keras. Karena pencitraan hebat, ia pun terpilih sebagai pejabat terbaik yang mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Namun setelah mendengar pidatonya, masyarakat yang kembali ke alam realita, tetap saja tidak ada perubahan. Jalan yang ditempuh setiap hari tidak ada perbaikan. Pembangunan infrastruktur sangat tersendat dan tidak selancar gaya bahasa SBY.

Jika melihat masa lalu dan juga msa sekarang, terlihat jelas bagaimana SBY memanfaatkan situasi dan membuat dirinya sebagai korban dari kezaliman pihak lain. Saat dia menjadi menteri dan tidak lagi digubris Megawati, dia langsung mengundurkan diri. Ia pun membuat dirinya sebagai korban kesemena-menaan Megawati di hadapan rakyat. Hasilnya, rakyat bersimpati dan ia pun melenggang menjadi presiden pertama pilihan langsung dari rakyat. Hal yang sama ketika ia sekarang sudah lengser dari kursi presiden, ia pun berkicau lewat twitter bahwa segala dosa di zaman pemerintahannya ia rela tanggung sendiri. Ia rela disalahkan asal jangan disalahkan para menterinya. Hebat bukan? Nah di tataran inilah SBY kembali melakoni perannya seolah-olah ia dizalimi untuk menarik kembali simpati rakyat agar ia come back. We want SBY come back hehe.

Nah seandainya, SBY mampu menyelami filosofi ikan selama sepuluh tahun kekuasaannya, mungkin dia tidak pernah disalahkan oleh pemerintah sekarang. Bisa saja namanya begitu menyolok dan menjadi buah bibir banyak orang. Ia mungkin seperti Lee Kuan Yew-nya Singapura. Prestasi gemilangnya luar biasa dan tak ada pemimpin yang mampu mengalahkannya termasuk Jokowi sekalipun. Namun itu ternyata hanya dalam mimpi. SBY tidak pernah menyelami filosofi ikan. Ia malah terus menyelami filosif citra dan tenggelam bersamanya. Sementara Jokowi, selain belajar filosofi kodok, Jokowi juga belajar filosofi ikan. Dan ternyata, filosofi ikan itu mencerahkan Jokowi setiap kali ia memberi makan ikan-ikan di kolam. Maka tak heran, Jokowi rajin memberi makan ikan dan meluangkan waktunya di sana, karena di sana ia dicerahkan oleh filosofi ikan yang luar biasa.

Sumber : Kompasiana

 

Foto : @jokowi

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed