by

Jokowi dan Megawati Tak Berjudi Demi Masa Depan Bangsa


Oleh: Karto Bugel

Dalam ajang balap MotoGP 500, PDIP adalah Honda. Motor itu sengaja diciptakan untuk target memenangkan lomba balap itu. Bukan yang lain-lain. Siapa yang akan didapuk menjadi pembalapnya, pasti ada aturan main di dalamnya.  

Dan itu tercantum dalam AD ART partai yang mana AD ART itu seperti KUHP atau undang undang yang mengikat semua pihak tanpa terkecuali. 

Salah satu aturan main yang ditetapkan dalam AD ART itu adalah memberi mandat pada Ketua Umum untuk menentukan siapa sosok pembalap yang akan ditugaskan untuk mengendarai motor itu pada sebuah ajang balapan.

Dengan mesin balap berperforma tinggi itu, PDIP telah pernah menjuarai kontestasi politik dalam rupa Pemilu berkali-kali. Tiga kali sudah pembalapnya berhasil berdiri pada podium bergengsi. Dan pencapaian itu, sekaligus adalah tentang gelar terbanyak yang dapat direbut di negeri ini sejak Reformasi.

“Bagaimana dengan partai lain?”

Demokrat dibuat dengan DNA balap, pun Gerindra diciptakan. Tak sama dengan Demokrat yang dua kali pernah juara, Gerindra adalah Ducati, motor keren tapi bukan motor juara. Pembalap nya pun, tahu sendiri,…đŸ¤”mungkin sudah terlalu berumur.

Berbeda dengan Golkar, sejak reformasi, dia tak lagi terlihat berminat membuat motor balap. Dia terlihat lebih senang memproduksi spare part nya saja. Dan maka Golkar tak pernah ikut balapan namun selalu tampil bareng dengan siapapun juaranya sebagai partner. 

Golkar selalu satu koalisi dengan pemerintah entah ketika Demokrat menang ataupun PDIP. Bagi Golkar itu adalah kemenangan.

Ribut rebutan untuk dipilih menjadi pembalap kini kita dengar terjadi pada PDIP. 

Ganjar versus Puan diiringi tabuhan gendang tangan terampil milik Bambang Pacul tiba-tiba meminta perhatian kita.

Dengan sorak meriah kader PKS dan banyak haters Jokowi PDIP berbondong menyaksikan keributan itu. Bagi mereka, itu panggung menarik untuk disaksikan dan kemudian di share pada banyak pihak dengan bumbu.

Pendukung militan Ganjar yang terlihat lebih mendominasi pertandingan sering terlihat tampil meriah. Dan semakin meriah manakala itu di booster pada laman media sosial. Dukungan hebat dari mereka yang sering disebut dengan influencer hebat negeri ini yang dulu katanya adalah juga pengusung Jokowi itu telah membuat suara tersebut bergema semakin jauh. 

Dalam sibuknya, para pendukung kedua nama itu secara tak sadar ternyata juga telah membawa masuk musuh yang akan menghancurkan PDIP sebagai partai nasionalis yang sekaligus selalu menjadi gudang bagi lahirnya calon-calon pemimpin bangsa dari dalam partai itu sendiri. 

PKS tiba-tiba bersuara…

“PKS tetap membuka kemungkinan calon dari eksternal. Beberapa nama figur eksternal memang muncul. Selain Anies Baswedan, juga Ganjar dan AHY,” kata Nabil Ahmad Fauzi Ketua Departemen Politik DPP PKS pada Senin 14 Juni 2021 yang lalu.

Senada dengan PKS, Nasdem pun tak mau tertinggal. Ketua Teritorial Pemenangan Jawa 3 Partai NasDem, Sugeng Suparwoto tidak membantah jika Ganjar bisa saja dicalonkan melalui Nasdem. Peluang Ganjar Pranowo terbuka lebar, bahkan jika PDI Perjuangan tak mau mencalonkan, Partai Nasdem disebut-sebut siap menerimanya.

Seperti tak mau ketinggalan, Ketua DPD Partai Golkar Surabaya Arif Fathoni, Minggu (26/9/2021) berungkap bahwa wacana duet Airlangga Hartarto-Ganjar Pranowo di Pemilihan Presiden 2024 disambut antusias kader Golkar di akar rumput. 

Sementara banyak pihak terkesan sengaja nimbrung demi makin kusut perselisihan pada internal PDIP, Fadli Zon dengan pintarnya mengambil celah sempit yang tiba-tiba terlihat dengan cara mencetuskan gagasan pembubaran Densus 88.  

Dia terlalu pintar untuk dikatakan dalam bersungguh-sungguh ingin Densus 88 bubar. Dia tahu bahwa itu mustahil namun tetap dia ungkap hanya demi ingin menarik kembali simpati para pendukung partainya yang beraliran kanan yang konon telah menjauh karena sebab Prabowo menjadi Menhannya Jokowi. Fadli mengambil celah yang ditinggal banyak lawan politiknya yang kini sibuk provokasi keributan di internal PDIP.

Culas, licik atau pintar hanyalah persepsi belaka. Fakta bahwa Fadli justru sudah bergerilya dengan isu kampungannya demi merebut kembali simpati kaum norak itu, itulah makna fakta Fadli sebagai tangan kanan Prabowo.

“Bukankah elektabilitas Ganjar saat ini memang paling tinggi dibanding kader PDIP yang lain dan maka harus dicalonkan?”

Dua tahun sebelum pilpres 2014, nama Jokowi tak disebut dalam survey CSIS. Dia baru masuk radar pada tahun 2013.

Survey CSIS pada 6-19 Juli 2012 untuk pilpres 2014 tak pernah mencantumkan nama Jokowi. Prabowo mendapat suara 14,5% dan menempati urutan pertama disusul oleh Megawati dengan 14,4% dengan selisih sangat tipis.

JK 11,1%, Aburizal Bakrie 8,9% Wiranto 4,1% dan Sri Sultan 2,4%. Tak ada nama Jokowi hingga pada urutan terakhir yang ditempati oleh Anas Urbaningrum dengan perolehan 0,8%. 

Faktanya, dia yang tak masuk dan tak disebut dalam survey itu justru yang pada akhirnya ditetapkan oleh Ketua Umum menjadi calon dari PDIP pada pilpres 2014.

“Bukankah wajar bila Ganjar dan para pendukungnya memang harus ngegas karena lawannya adalah Puan yang sekaligus adalah anak kandung sang Ketua Umum?”

Kenapa harus berprasangka buruk pada Megawati? 

Bukankah pada survei itu Megawati menempati urutan 2 dan hanya selisih 0,1% dibanding perolehan Prabowo dan namun pada akhirnya Megawati tetap memberikan tiket itu pada Jokowi?

Kenapa tak justru melihat sisi besar hati dan sikap negarawan bu Mega? Bila pada dirinya sendiri dia tak terlihat egois, kenapa untuk anaknya kita tiba-tiba meletakkan prasangka itu?

AD ART PDIP memberinya hak prerogatif sekaligus bermakna perintah Partai yang harus dilakukan. Ketua Umum memiliki kewajiban untuk memilih siapa yang akan menjadi pengendara dalam balapan ini, pada even 2024 nanti. Sekali lagi, Itu adalah aturan yang harus dia taati sebagai perintah undang undang dari partainya.

Siapa pun yang kelak akan dipilih, pasti berdasar pertimbangan matang bu Mega yang sudah kenyang asam garam. 

Sejak kecil, dia sudah terbiasa melakukan banyak diskusi politik dengan sang proklamator bangsa ini. Sedikit dewasa, dia telah sibuk mencari cara-cara politis manakala diasingkan oleh penguasa Orde Baru. Saat dewasa pun, dia harus mendapatkan fakta dirinya ditendang dari posisi ketua PDI.

Beliau adalah Presiden ke 5 Republik Indonesia dan itu jelas bukan pencapaian kaleng-kaleng. Nasionalismenya tak pantas kita pertanyakan lagi. Asam garam yang pernah dia rasakan jauh lebih hebat dari siapapun tokoh politik yang saat ini masih aktif. Dia sudah sangat matang.

Pilihannya pada Jokowi untuk menjadi sosok pembalap pada 2014 yang lalu pasti bukan karena tekanan pihak luar tapi atas pertimbangan matang dari kacamata jernih seorang yang bijak. 

Dia melepas egonya. Dia yang pada survey berada pada posisi ke 2 sekaligus memiliki prerogatif menentukan siapa yang berhak maju, dia lepaskan. Dia buang jauh rasa bahwa dirinya adalah yang terbaik. Dia pilih Jokowi dan keputusannya ternyata benar. Jokowi menang dan kita mendapat Presiden luar biasa bagus bukan?

“Pokoknya kalau bukan Ganjar jangan pilih PDIP. Bukankah rakyat adalah pemilik sah suara? Bukankah rakyat boleh memaksa bu Mega ketika dia tak sesuara dengan kehendak mayoritas?”

Ketika paksaan itu ternyata melanggar AD ART yang juga adalah aturan hukum yang harus dipatuhi semua kader dan kemudian dibenarkan karena alasan bahwa itu adalah kehendak rakyat, kenapa tidak memaksa MPR sekalian untuk merubah UUD agar pak Jokowi bisa menjabat 3 atau 4 periode? 

Bukankah dengan begitu kita dipastikan akan kembali mendapat presiden luar biasa tersebut? 

Bukankah itu juga tentang kehendak rakyat dan maka sah meski harus dengan paksaan?

Aturan adalah aturan. Atas nama apa pun, tak pantas kiranya bila sebuah aturan harus tunduk dengan tekanan meski itu terlihat benar. Itu tentang hukum yang harus tetap berwibawa dan memiliki kepastian yang juga harus kita jaga.

“Trus kalau bukan Ganjar siapa dong? Hanya dia yang mampu menterjemahkan dan melanjutkan kerja Jokowi. Kami akan tetap memilih Ganjar meski bila harus dicalonkan melalui partai lain..!!”

“Celeng apa? Apa di Grobogan ada celeng,” kata Ganjar saat ditanya wartawan terkait polemik banteng vs celeng di internal PDIP setelah meresmikan Trans Jateng koridor 3 Grobogan-Semarang di Pendopo Kabupaten Grobogan, Rabu (13/10/2021).

“Sori ya, kita banteng, Bro. Sekali banteng tetap banteng!” tegas Ganjar.

Adakah pernyataan Ganjar masih kurang jelas? 

Masih harus diraba dan diterjemahkan dengan bahasa politik?

Jadi clear ya..,Ganjar sebagai kader PDIP secara implisit telah menyatakan bahwa dirinya tak ingin melanggar AD ART milik partainya sendiri. Ganjar tahu batasan itu.

“Jadi?”

Politik tidak hitam putih. Dia selalu muncul dalam banyak simbol. Dia bermain dengan tanda. 

Membuat terjemahan atas siapa kira-kira dari PDIP yang akan maju pada 2024 nanti, sepertinya peran Jokowi juga akan sangat besar. Artinya, meski itu adalah prerogatif Ketua Umum, diskusi matang dan maraton akan dilakukan beliau berdua.

Kita tahu bahwa mulai tahun 2022 akan ada 24 pejabat Gubernur dan lebih dari 200 Kabupaten dan Kotamadya akan dipilih oleh Presiden dan Mendagri. Itu adalah kekuatan birokrasi yang tidak main-main dan akan sangat menguntungkan siapapun calon yang direstui Presiden. 

Ditambah dengan jangkauan PDIP yang tak lagi harus dipertanyakan berikut loyalis keras Jokowi, siapa pun calon yang akan diusulkan oleh PDIP dan Presiden adalah calon terkuat meneruskan kiprah Jokowi.

“Iya siapa?”

Pada 13 Oktober 2021, masih sangat gres dan hangat, Presiden Jokowi melantik Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Riset Dan Inovasi Nasional. 

Pada HUT PDIP KE-47, Megawati dengan sangat jelas berbicara tentang materi yang sama dengan jabatan yang baru saja dipercayakan oleh Presiden yakni Ketua Dewan Pengarah BRIN.

“Riset adalah kunci pembangunan, termasuk riset pertahanan dan keamanan. Riset adalah langkah awal bagi suatu bangsa untuk tidak hanya menjadi bangsa yang merdeka, tapi benar-benar berdaulat,” ujar Megawati.

Tak berselisih jarak panjang, pada Pidato Pengukuhan gelar Profesor yang disematkan padanya pada 11 Juni 2021, beliau berbicara tentang Kepemimpinan Strategik. Di sana dia berungkap secara eksplisit tentang sosok pantas yang nanti akan memimpin negara ini. Dia harus sosok Pancasilais sejati dan paham trend kemana dunia akan menuju. 

Adakah pernyataan Megawati itu tak sedang berbicara tentang sinyal ingin beliau sampaikan?

“Bagaimana dengan Presiden?”

Ingat pidato Presiden Serangan Thanos, Pidato Jokowi & Mimpi Revolusi Industri 4.0 World Economic Forum on ASEAN di National Convention Center, Hanoi?

Thanos meyakini bahwa sumber daya alam di bumi terbatas. Jokowi membantah keyakinan ini. Sumber daya alam menurutnya tidak terbatas.

Perkembangan teknologi bisa membuat sumber daya alam lebih banyak. Teknologi terus berkembang dan membuat barang-barang di dunia seperti televisi, kamera, buku, surat kabar, dan pemutar musik tergantikan oleh smartphone dan tablet yang ringan.

Jokowi berhasrat bahwa generasi Indonesia yang akan datang harus akrab dengan teknologi.

Pada pidato yang lain, saat memberikan sambutan pada agenda pameran dagang tingkat dunia, Hannover Messe, secara virtual pada Senin 12 April 2021, Presiden berkata : “Indonesia sendiri telah menyiapkan roadmap implementasi Making Indonesia 4.0. Terdapat tiga hal utama dalam road map itu,” ungkapnya.

“Tantangannya adalah menyiapkan SDM yang mampu menghadapi tantangan masa depan, yakni tantangan big data, tantangan kecerdasan artifisial, tantangan internet of things,” ujarnya.

Sementara, pada pidato kenegaraan 16 agustus 2021, Presiden juga menggaris bawahi makna penting teknologi. 

“Teknologi sebagai ujung tombak kemajuan bangsa dalam bidang ekonomi justru seharusnya dapat hidup dalam harmonis dengan kesehatan. Green Economy dan Blue Economy meminta dan mensyaratkan teknologi ramah lingkungan mengambil peran itu” ungkap Presiden.

Dan terbaru, dalam acara pengarahan Presiden Joko Widodo pada Peserta PPSA XXIII dan PPRA LXII Tahun 2021 LKNRI, 13 Oktober 2021, dia berucap bahwa Revolusi Industri 4.0, disrupsi teknologi dan pandemi Covid-19 telah mempercepat gelombang perubahan di dunia.

“Sekali lagi ketidakpastian dunia sangat tinggi sekali. Oleh sebab itu kita membutuhkan betul ilmu pengetahuan dan teknologi dan kita harus semakin arif mengakuisisi teknologi-teknologi baru terutama teknologi digital,” ujar Jokowi.

Adakah berulang pernyataan Presiden dalam waktu yang relatif saling berdekatan itu juga bukan tentang sinyal?

Bila bahasa politik adalah bahasa sinyal, adakah keduanya memiliki satu irama sama dalam concern ingin ditegaskan?

Bila Megawati dan Jokowi kita anggap sebagai pihak paling pas dalam membuat putusan siapa kelak yang akan menjadi pengendara pada balapan 2024 sering terlihat kompak berbicara hal serupa, adakah itu juga bukan tentang sinyal bahwa sebenarnya keduanya telah sevisi?

Ketika pertanyaannya adalah siapa sosok itu dan kapan akan diumumkan, kita harus bersabar sama dengan rakyat harus menerima fakta bahwa baru pada tanggal 14 Maret 2014, Jokowi menerima mandat dari Megawati untuk maju sebagai calon presiden, tiga minggu sebelum pemilihan umum legislatif dan dua hari sebelum kampanye.

“Jadi Ganjar apa Puan?”

Kenapa kita berpikir itu pasti Puan hanya karena balihonya sudah terpasang secara masif dan terkesan didukung oleh elit partai?

Kenapa kita berpikir itu juga pasti tentang Ganjar hanya karena sudah ada dukungan dalam wadah relawan yang tersebar?

Apakah tak pantas kita herbicara tentang sosok Risma, Budiman Sudjatmiko, Adian, Ahok hingga kader hebat yang lain?

Pengulangan materi pembicaraan yang intens dilakukan oleh Megawati dan Jokowi akhir-akhir ini yang berputar pada masalah teknologi dan Pancasila adalah satu hal. Dalam politik, itu adalah sinyal.

Karena masih sinyal, itu juga masih sangat terbuka bagi siapa saja. Dan nama Puan, Ganjar, Risma, Budiman Sudjatmiko dan hingga Adian Napitupulu dan Ahok adalah nama nama yang pastinya telah masuk radar partai.

Pak Jokowi dan Bu Mega tahu dengan pasti siapa sosok yang paling pantas untuk duduk di atas motor balap bermesin gahar itu. 

Dia yang terpilih, pasti akan menjadi RI 1 yang ke 8, sekaligus sosok pantas yang akan menerima tongkat estafet dari Presiden Joko Widodo.

Ya, Jokowi dan Megawati tak akan berjudi atas masa depan bangsa ini, mereka bukanlah penjudi.

(Sumber: Facebook Karto Bugel)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed