by

Jenderal 4 Angkatan yang di Paksa Tiarap , Tito Karnavian dan Wibawa Presiden

Oleh : Yon Bayu

Presiden Joko Widodo membuat keputusan “nyeleneh” ketika mengajukan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Drs HM Tito Karnavian MA PhD menjadi calon tunggal Kepala Kepolisian RI ke Dewan Perwakilan Rakyat. Para jenderal dari empat angkatan yang masih aktif yakni Angkatan 83-86 langsung tiarap karena peluang mereka untuk menduduki Tri Brata I langsung lenyap. Jika mulus, jenderal Angkatan 87 ini akan menjadi Kapolri sampai tahun 2022 sehingga jenderal baru Angkatan 88-89 juga harus mengubur mimpinya menjadi orang nomor satu di Polri.

Penunjukan Tito oleh Presiden Jokowi jelas menjadi tsunami bagi jenderal-jenderal aktif di tubuh Polri. Dari angkatan 83-86, setidaknya ada seratusan jenderal aktif yang saat ini menduduki berbagai jabatan strategis seperti Kapolda dan juga badan-badan negara seperti BNN dan BNPT yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Jenderal bintang satu dan dua masih bisa dirotasi sambil menunggu pensiun karena banyak jabatan di tubuh Polri untuk tingkat Brigjen dan Irjen. Namun bagaimana dengan jenderal bintang tiga dari Angkatan 84-85 yang masih memiliki masa bakti 2-3 tahun seperti Kepala BNN Komjen Pol Budi Waseso dan Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan Komjen Putut Eko Bayuseno (Angkatan 84) serta Sekretaris Utama Lembaga Pertahanan Nasional Komjen Suhardi Alius dan Kepala Lembaga Pendidikan Polri Komjen Syafruddin (Angkatan 85)?

 Jabatan di tubuh Polri yang tersedia untuk jenderal bintang tiga hanya Wakil Kapolri, Kepala Bareskrim, Kepala Badan Pembinaan dan Keamanan (Kababinkam), Kepala Harian BNN, Kepala BNPT, Irwasum, Kalemdikpol, Kabaintelkam serta Sekretaris Utama Lemhannas. Dengan naiknya Tito Karnavian, maka sampai tahun depan hanya ada tiga jabatan untuk jenderal bintang tiga yang baru yakni kepala BNPT, Waka Polri yang akan ditinggalkan Komjen Pol Budi Gunawan, dan Kabaintelkam karena Komjen Pol Noer Ali akan pensiun dalam beberapa bulan mendatang.

Dengan peta seperti itu, tidak mudah bagi Tito untuk membentuk the dream team. Rotasi yang akan dilakukan untuk mendukung kinerja dan reformasi Polri seperti yang diamanatkan Presiden Jokowi, tidak bisa mengesampingkan keberadaan jenderal bintang tiga yang saat ini masih aktif. Tito akan kesulitan untuk “mengatrol” perwira angkatan 87 ke level bintang dua dan tiga karena akan menimbulkan gesekan yang lebih keras. Jika Tito memaksakan satu-dua teman angkatannya naik ke bintang tiga, dipastikan satu-dua jenderal bintang tiga yang ada saat ini jadi pengangguran!

Kuatnya gesekan di internal Polri, memaksa Tito untuk tidak buru-buru “membersihkan” orang-orang-nya Budi Gunawan. Sambil menunggu momen yang tepat, Tito akan memperkuat posisinya dengan mengganti sejumlah Kapolda. Kapolda Metro Jaya menjadi target utama Tito – yang dikenal dekat dan sukses mengamankan sejumlah kebijakan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama seperti gusuran Kampung Pulo dan Kalijodo, untuk diganti. Tito tentu akan mendengarkan keluhan terkait kinerja Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Moechgiyarto yang kurang selaras dengan keinginan Ahok seperti dalam kasus pencabutan status three in one dan juga gusuran Luar Batang.

Petugas Partai

Mengapa Jokowi tetap memaksakan Tito sebagai Kapolri? Benarkah sebatas untuk “menghapus” sebutan petugas partai seperti dikatakan pakar hukum tata negara Refly Harun?

Pengangkatan Kapolri sepenuhnya menjadi wewenang dan hak prerogatif Presiden sesuai UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI. Meski demikian, pengangkatan Kapolri harus mendapat persetujuan DPR. Akibatnya, unsur politis tetap mengemuka terhadap penunjukan Kapolri, juga Panglima TNI, karena Presiden harus mendengarkan suara-suara yang berkembang di masyarakat. Terlepas dari intrik yang menyertai, kasus gagalnya Budi Gunawan menjadi Kapolri padahal sudah diajukan Presiden dan mendapat persetujuan DPR, menjadi catatan dan koreksi tersendiri atas hak istimewa tersebut. Isu pengganti Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti sebelumnya juga menimbulkan spekulasi liar di tengah masyarakat. Presiden sempat dituding gamang karena sampai awal bulan Juni Presiden belum juga menunjuk pengganti Badrodin Haiti yang akan pensiun pada 24 Juli 2016 mendatang. Nama Budi Gunawan yang dijagokan PDI Perjuangan, dianggap sebagai perintang Presiden. Terlebih Budi Gunawan juga merupakan jenderal paling senior di tubuh Polri.

Banyak kalangan berpendapat, dengan dua alasan itu sulit bagi Jokowi untuk tidak mengajukan Budi Gunawan. Bukan saja tekanan politik dari PDIP, namun juga ancaman gejolak internal kepolisian yang saat ini dikuasai “loyalis” Budi Gunawan. Rumor tidak ada pergerakan (mutasi) di tubuh Polri yang tidak atas persetujuan Budi Gunawan, telah berkembang cukup lama. Beberapa sprint mutasi perwira yang ditandatangani Budi Gunawan merupakan contoh kecil untuk pembenar isu tersebut.

 Padahal mengangkat Budi Gunawan menjadi Kapolri bisa menjadi bumerang bagi Jokowi. Meski status tersangka yang pernah disematkan Komisi Pemberantasan Korupsi dapat dipatahkan sehingga isu rekening gendut tidak pernah terbukti, namun publik yang saat itu lebih yang sreg dengan kinerja KPK dibanding Polri, tetap mencatatnya sebagai “dosa” yang tak terampuni. Dengan mengangkat Budi Gunawan sebagai Kapolri, tentu Jokowi akan terkena imbas negatifnya.

Presiden memiliki opsi kompromi untuk menenangkan PDIP dan internal Polri serta publik, jika mengangkat Komjen Budi Waseso yang dikenal sebagai “orangnya” Budi Gunawan. Meski saat menjabat Kabareskrim sempat dimusuhi publik karena gampang sekali menetapkan puluhan aktivis anti korupsi, termasuk komisioner KPK, namun publik akhirnya berbalik setelah Budi Waseso berani “melawan” Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri BUMN Rini Soemarno dalam kasus Pelindo II yang menjerat RJ Lino.

Ketika akhirnya menunjuk Tito Karnavian, Presiden tengah mengirim pesan dirinya tidak takut kehilangan dukungan politik PDIP dan geger di internal kepolisian. Presiden Jokowi siap mengambil resiko itu karena ingin memperbaiki kualitas penegakan hukum, terutama terhadap kejahatan luar biasa, seperti terorisme, narkoba, ataupun korupsi seperti dikutip di sini. Jadi sangat kecil kemungkinan Presiden memanfaatkan pergantian Kapolri sebagai penghapus kesan petugas partai seperti diungkap Refly Harun.

Refly Harun juga terkesan merendahkan wibawa Presiden Jokowi ketika mengatakan, “nominasi Tito sudah menunjukkan bahwa “Jokowi is the real president”, presiden yang sesungguhnya. Jokowi sudah bisa secara independen menentukan siapa yang dimauinya sebagai Kapolri” seperti dikutip di sini. Apakah itu berarti sebelum penunjukan Tito, Jokowi bukan presiden sungguhan, Bung? Salam @yb** (ak)

Sumber : kompasiana.com

 

 

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed