Oleh: Karto Bugel
Kali ini Paijo benar-benar marah. Santun sebagai kebiasaan dia bertutur tak lagi tampak dalam cuitannya.
“Mbahmu gundul!! Loe pikir bikin rakyat jadi sejahtera juga jadi tanggung jawab gw?? Itu urusan negara, tau..??”
Dia berungkap marah karena sebab seorang influencer kakap mengatakan bahwa pembangunan jangan hanya dihitung dari unsur untung rugi semata. Ada multiple effect sebagai nilai lebih yang akan diterima rakyat meskipun proyek itu rugi secara bisnis.
Sang influencer itu membuat narasi terkait komentar seorang ahli ekonomi yang membuat prediksi bahwa proyek yang sedang dikerjakan Paijo itu, sampai kiamat juga ga bakal mendapatkan untung.
Paijo memang sedang mendapat proyek dari Pemda untuk membangun hunian bagi warga kota itu. Apartemen dengan 1.200 unit yang ditawarkan Pemda pada Paijo itu dalam hitung-hitungan bisnis, di atas kertas memang rugi.
Di atas tanah milik Pemda, Paijo harus membangun hunian tersebut. Atas investasi itu, konsorsium Paijo mendapat konsesi selama 50 tahun.
Modal yang harus dia keluarkan adalah 800 miliar. Dan itu 75% nya adalah hutang dari Bank dengan jaminan atas nama Paijo. Dua puluh lima persen sisanya 40% harus dipenuhi Paijo pribadi dan gabungan BUMD kota itu sebesar 60%..
Ketika secara bisnis proyek tersebut tak menguntungkan, naluri bisnis Paijo tak memberi ruang pada kata menyerah. Tak ada kata itu dalam kamusnya. Konsesi 50 tahun yang dia dapat dan ternyata tak memberinya untung karena harga sewa yang telah ditetapkan oleh Pemda terlalu kecil tak membuatnya menyerah. Dia menawarkan ide dan ide itu diterima oleh Pemda.
Dia menawarkan gagasan agar area sekitar hunian itu boleh dia bangun sarana umum berupa pasar, sekolah, parkir eksklusif hingga taman hiburan yang boleh dikelolanya. Selisih lebih atas proyek pembangunan sarana umum itu akan menutup kerugian pada bisnis utamanya. Dan Pemda sepakat.
Ketika pembangunan telah berjalan, para pihak tak konsisten. BUMD tak menyetor modal sesuai seperti tenggat waktu dalam awal perjanjian. Pun pada salah satu proyek yakni pasar, karena satu dan lain hal pembangunan pasar tersebut harus ditunda tanpa batas waktu. Padahal, pasar itulah obyek paling menguntungkan.
Paijo marah. Dia semakin marah ketika seolah harus dilibatkan pada apa yang seharusnya menjadi wewenang Pemda yakni membuat warga sejahtera atas konsep multiple effect harus dihubung hubungkan dengan proyek yang sedang dia kerjakan. Sebagai pengusaha, Paijo tak ada kewajiban atas perkara itu.
Itulah kira-kira apa yang kini terjadi pada riuh proyek Kereta Cepat Bandung Jakarta yang memancing polemik. Kenaikan harga proyek yang membumbung hingga 27 triliun mewarnai debat kusir.
Sang ahli ekonomi yang berbicara dalam kapasitas seorang ekonom sebagai basis nalar berinvestasi dengan istilah-istilah ekonomi yang membingungkan dan hitungan “njelimet” yang memang ditujukan pada segment sempit dijawab dengan politis demi masuk akal para pembaca yang awam. Masalah tepat dan tidak tepat, itu soal lain.
“Kalau memang rugi kenapa China mau?”
Ketika Indonesia berungkap ingin membuat jalur kereta cepat Jakarta Bandung, banyak negara ingin terlibat di dalamnya. Negara-negara itu adalah Perancis, Jerman, Jepang, China dan Korea. Mereka menawarkan teknologi sekaligus sumber pendanaannya. Jepang dan China berlanjut pada penawaran berikutnya.
Jepang sanggup memberi pinjaman dengan bunga hanya 0.1% dengan tenggang waktu 40 tahun dan China 2% namun dengan waktu yang lebih lama yakni 50 tahun
Namun kedua negara itupun mundur manakala Perpres Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung diterbitkan pemerintah. Pada Perpres itu negara tak terlibat langsung dan maka jaminan pun tak diberikan melalui APBN.
“Kenapa mundur?”
Mereka tak mau dilibatkan dalam ranah untung rugi pengelolaan. Mereka ingin jaminan dari negara bahwa setelah tenggang waktu habis, pinjaman berikut bunga sudah harus lunas. Pada Jepang 40 tahun dan kepada China 50 tahun.
Di sisi lain, proyek itu memang dinilai tak menguntungkan. Modal dan pendapatan tak ada kata seimbang. Modalnya 86 triliun namun pendapapatan jauh dari angka tersebut.
Bila pengembalian modal hanya dihitung dari penjualan tiket, bahkan hingga 50 tahun kemudian, mereka akan tetap rugi. Dan atas kerugian itu investor tak harus diajak dan diarahkan untuk berpikir multiple effect bagi rakyat dong?
Anda bisa hitung sendiri kenapa itu tak menguntungkan. Data berbicara bahwa nantinya tiket akan dijual Rp 300 ribu. Ada 600 kursi di kereta itu dan dalam sehari anggap saja bisa 20 kali bolak balik Jakarta Bandung.
Bukankah bila kursi itu selalu terisi 100% maka ada uang dihasilkan berjumlah 3,6 miliar setiap hari? Kalikan dengan 18.259 hari atau 50 tahun, bukankah hanya akan ketemu angka 65 triliun saja?
Itupun bila kursi selalu terisi 100%. Itupun bila sehari dapat berjalan 20 kali bolak balik. Itu belum bicara cost operasional dan bunga bank. Bukankah itu mustahil?
Dan maka, jaminan pemerintah mereka minta. Dan maka, itu harus masuk dalam APBN.
“Iya kenapa China mau?”
Manakala konsep TOD (transit oriented development) dibuat dan kemudian muncul nama tempat meliputi Halim Perdanakusuma seluas 2,60 ha, Karawang 250 ha, Walini 1.270 ha, dan Tegalluar seluas 340 ha, bukankah itu adalah kunci jawaban?
Anggap saja mereka memang rugi di proyek kereta, namun ada sisi lebih pada konsep TOD yang dicanangkan. Kalikan saja jumlah luas tanah pada area antah berantah yang tiba-tiba menjadi daerah premium. Sepuluh kali lipatnya saja masih terlalu kecil bukan?
Kog bisa?
Gimana hitung-hitungannya?
Konon, di atas lahan 4 TOD itu akan dibangun super block dengan biaya hingga 140 triliun. Itu hampir 2 kali lebih mahal dibanding rencana awal proyek kereta apinya bukan?
“Tapi kenapa China kini justru menaikkan harga gila-gilaan?”
Ada gula ada semut. Rencana mega proyek itu menarik semua semut lapar dan permainan kotor melibatkan mafia tanah, birokrast korup, pemain properti kakap hingga pasukan calo di seantero negeri serta merta menyeruak. Ada semacam konspirasi banyak pihak ingin menjadikan proyek ini menjadi bancaan dan maka dorongan halus agar negara hadir melalui APBN diisyaratkan.
Dan itu sangat mudah ditebak. Dari setoran modal yang terlambat, hingga berkali-kali salah menentukan TOD bukan cara professional milik BUMN seharusnya bertindak.
Melibatkan APBN adalah cara paling enak bagi bancaan itu mendapatkan moment nya. Untuk itulah kenapa Luhut Panjaitan dihadirkan.
Sebelumnya, pada awalnya, TOD ditetapkan adalah Halim, Kerawang, Cimindi, dan Gedebage.
TOD Gedebage diganti Tegalluar, Cimindi dan Cuburuy dipindah ke Walini dan terkahir Walini pun konon rencananya sekali lagi akan kembali dipindah ke Padalarang.
Banyak alasan lain telah diungkap yang menyebabkan kenaikan harga, dan itu semakin menunjukkan ketidak-profesioanalan perusahaan negara berkelas dunia yang seharusnya professional.
Ketika pembangunan sudah dan sedang dilaksanakan, perubahan terjadi di tengah pembangunan, adakah waktu dan biaya tak pula bertambah? Itulah apa yang dialami investor.
“Kenapa harus Luhut?”
Menjadi komandan pada PPKM Darurat Jawa dan Bali sukses dia laksanakan. Melibatkan TNI dan Polri dalam vaksinasi Nasional adalah salah satu ide jenius manakala birokrat sipil di daerah terlalu solid dalam pongah. Dia mampu menerabas banyak celah sempit dalam jalinan jebak menjebak milik para birokrat baik pusat maupun daerah.
Luhut sekali lagi sengaja dihadirkan Presiden untuk mengurai kusut banyak jalinan tali temali penyebab berlarutnya situasi kacau proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung yang kini makin membengkak dalam biaya.
Menemukan benang merah dan kemudian mengurainya adalah tantangan Luhut yang harus segera diselesaikan.
“Bukankah Perpres Nomor 93 Tahun 2021 telah memberi opsi bagi APBN dilibatkan?”
Ada 3 opsi pembiayaan yang diberikan Perpres 93/2021. Penerbitan obligasi melalui pasar uang, melalui pinjaman sindikasi bank di dalam maupun luar negeri dan dari APBN.
Artinya, APBN adalah opsi terakhir dan orang waras ga mungkin memakai opsi terakhir manakala opsi satu dan dua masih tersedia. Itu juga harus melalui proses panjang dan biasanya akan dimulai dari investigasi dan audit dari BPKP beserta audit independen. Menkeu dan DPR juga akan terlibat di sana.
Ya, untuk sesaat para pihak yang tak senang kerja keras dan seringkali hanya senang dengan jalan pintas namun selalu berharap untung besar memang terkesan menang atas terbitnya Perpres 93/21.
Pembangunan 4 TOD sebagai mega proyek yang konon akan menelan lebih dari 140 triliun itu seharusnya mampu memberi nilai lebih sekaligus jalan keluar bagi proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung, bukan justru untuk bancaan para pihak.
Dalam hitungan Jokowi, itu seharusnya mampu menutup. Bahwa saat ini justru seolah berlaku hukum yang sebaliknya, tentu ada peran banyak pihak dalam memanfaatkan kesempatan pada ruang sempit.
Mafia tanah berikut birokrat yang memberi ruang dalam rupa kebijakan baik pusat dan daerah dan saling berselingkuh dengan BUMN yang terlibat dalam proyek ini patut dijadikan terduga. Itulah kenapa Jokowi marah pada para direktur BUMN sekaligus menterinya. Mereka dianggap tak becus bekerja.
Harapan terakhir ada pada tangan dingin Luhut. Menjadikan Indonesia berjaya di dalam rumahnya sendiri dengan menendang banyak tikus busuk pada proyek kereta cepat dinanti oleh banyak pihak. Sukses Luhut menjadi Komandan di PPKM Darurat adalah alasan logis Luhut akan sukses pada proyek ini.
Ya, Luhut memang terlihat pantas menjadi wakil Presiden dalam banyak perkara. Dia pantas disebut Menteri Semua Urusan dalam arti positif.
Luhut datang, seharusnya mafia minggir…
Jangan biarkan kereta cepat itu terlambat tiba hanya karena segelintir bohir tajir tak pernah tahu apa itu kenyang. Selamatkan APBN dari tamak para perongrong uang negara.
.
.
RAHAYU
Comment