by

Jangan Anggap Remeh Cak Imin

Oleh: Pepih Nugraha

Muhaimin Iskandar yang saya kenal adalah politikus sejati, seolah-olah ia dilahirkan sebagai orang yang mengurusi jalannya negara dan pemerintahan ini, khususnya setelah bergulirnya reformasi di tahun 1998. Pada Mei 1999, saya berkesempatan mengikuti jalannya pemilu legislatif di Finlandia untuk memilih anggota parlemen setempat yang disebut “Eduskunta” di mana Cak Imin juga ikut serta.

Kata “Eduskunta” ini dikenal dengan baik oleh Cak Imin -demikian saya memanggilnya- sehingga menjadi “password” berdua saat saling bertemu muka. Pernah saat bertemu di lift Harian Kompas sekitar tahun 2014, saya menyapanya “Eduskunta”, lalu dia mengenal saya serat menyebut nama saya.

Tahun 1999 itu Muhaimin mewakil PKB yang masih di bawah Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ikut bersama-sama ke negeri “Atap Eropa” antara lain Anas Urbaningrum dan Andi Mallarangeng (KPU), Eep Saefullah Fatah, Wijanarko Puspoyo (PDIP), Irham Dilmy (PAN) dan beberapa undangan lainnya yang saya lupa lagi siapa nama mereka.

Seingat saya, Muhaimin dibesarkan organisasi PMII, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia selain KNPI, Komite Nasional Pemuda Indonesia sebelum akhirnya menjadi politikus dengan bergabung ke PKB.

Ia menjadi ketua umu parpol yang didirikan Gus Dur ini tahun 2005 setelah mengalami turbulensi sengketa partai yang berujung di pengadilan. Cak Imin berjaya setelah PKB menjadi di bawah kekuasaannya lewat pengesahan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono. Berikutnya Muhaimin didapuk selaku menteri tenaga kerja dan transmigrasi di bawah SBY.

Sosok seperti Cak Imin dan Anas Urbaningrum adalah “orang yang hadir dalam waktu yang tepat”, di mana pasca Soeharto lengser yang pada masa itu calon pemimpin dibonsai Orde Baru, lalu membuncah saat kran reformasi dibuka. Mereka antara lain menjadi ketua umum partai sebagai jembatan menuju sukses dalam perpolitikan nasional.

Sebagai politikus, Cak Imin sosok yang amat santun meski tak sependiam Anas Urbaningrum, ia tetap “petakilan” jika berada dalam kerumunan. Ia juga sosok politikus yang sangat percaya diri dan penuh kalkulasi praktis dalam mengejar kekuasaan, sesuatu yang sah-sah saja bahkan menjadi tujuan utama politik praktis.

Dengan percaya tingginya itu, jauh-jauh hari ia menyatakan diri sebagai “calon presiden” dengan mamasang baliho raksasa dimana-mana. Ia tidak malu-malu dan memang apa adanya jika dibandingkan dengan Puan Maharani yang tidak pernah menyatakan diri sebagai calon presiden, tetapi cukup melempar kata-kata bersayap saja, juga lewat baliho-baliho raksasa.

Saat berkoalisi dengan Prabowo Subianto di Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya menyambut Pilpres 2024, pun Cak Imin tidak menurunkan “tensi” politiknya sebagai bakal capres. Jadilah di koalisi itu terdapat “matahari kembar”, yaitu Prabowo dan Muhaimin yang sama-sama sebagai capres!

Maka ketika terendus kebersamaan antara Prabowo dan Ganjar Pranowo di acara panen raya di Jawa Tengah, isu menjodohkan “Prabowo-Pranowo” sebagai capres-cawapres menjadi isu politik penting, apalagi dalam acara itu ada Presiden Joko Widodo yang dianggap sebagai “kingmaker”.

Belum lagi pernyataan yang diungkapkan Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo, bahwa opsi menjodohkan Prabowo-Pranowo sebagai sangat memungkinkan.

PKB di mana Muhaimin bernaung tentu bereaksi. Wakil Sekretaris Jenderal Syaiful Huda mengatakan bahwa opsi menjodohkan Prabowo-Pranowo pada Pilpres 2024 tidak mudah direalisasikan begitu saja. Misalnya penunjukan usulan Ganjar Pranowo cawapres harus disetujui Muhaimin Iskandar selaku ketua umum PKB. Alasannya muktamar PKB meminta Cak Imin maju Pilpres 2024. Di sini, Cak Imin memegang kunci penting dan kunci itu sangat berharga.

Bayangkan kalau Cak Imin menyatakan “tidak setuju”, Prabowo tidak bisa apa-apa juga. Memaksakan diri agar duet Prabowo-Pranowo mewujud, mudah bagi Cak Imin hengkang dari koalisi, yang berakibat Presidential Threshold tidak lagi terpenuhi. Mencari kawan koalisi sudah sangat mepet bagi Prabowo.

Untuk itulah mengapa Cak Imin tidak bisa dianggap remeh. Ia masih memegang kartu truf yang jika kartu itu dibuka membuat Prabowo bisa gamang juga.

Syaiful Huda juga mengingatkan bahwa saat bekerja sama dengan Gerindra dalam Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya tersebut, PKB mendorong Cak Imin agar diusung dalam kontestasi Pilpres 2024. “Diusung” di sini tidak lain menjadi sedikitnya cawapres bagi Prabowo. Oleh karenanya, kata Syaiful, syarat yang dilontarkan Hashim tidak mudah dipenuhi karena memerlukan waktu dan pengkondisian.

Namun demikian, Syaiful menghargai opsi yang disampaikan Gerindra lewat Hasjim, meski keputusan soal capres dan cawapres di koalisi sepenuhnya di tangan Prabowo dan Cak Imin.

“Apa yang disampaikan Pak Hashim merupakan pandangan pribadi beliau, secara resmi belum disampaikan dalam satu meja dengan Pak Prabowo dan Gus Imin,” katanya sebagaimana diberitakan sejumlah media.

(Sumber: Facebok Pepih Nugraha)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed