by

Jangan Ada Keledai (Lagi) Antara Kita

Oleh : Andi Setiono Mangoenprasodjo

Sehari lalu, dua puluh tahun lewat adalah hari paling absurd, ironik, dan tragik dalam sejarah Indonesia modern. Seorang Presiden dari kalangan organisasi muslim terbesar di dunia di negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Ia dijatuhkan oleh orang muslim lainnya. Du dekade kemudian, kita menyadari betapa “harus dijatuhkannya” dirinya, karena reputasi baiknya sebagai seorang humanis, toleran, dan bervisi jauh ke depan. Ia memperpanjang kisah (dan tulah ilmu klasik) yang diturunkan Snouck Horgrouje ratusan tahun sebelumnya.

Jurus adu domba dan memecah belah, dengan tujuan akhir hancur kedua belah pihak. Sama2 jadi arang, karena sesungguhnya keduanya berposisi tak lebih cerita para petualang! Saya masih ingat betul, bagaimana suasana sosial-politik diharu-biru, perasaan dikacaukan oleh pemberitaan media yang sepihak. Media2 itu masih sama, dan berilaku sama sebangun di hari ini. Mereka terus bekerja atas nama aspirasi rakyat dan demokrasi. Media2 bayaran yang hanya memperpanjang usia, agar tak segera mati. Walau akhirnya akan tetap mati juga…

Semua situasi, kondis, dan auranya digoreng sedemikian rupa, seolah situasi yang terjadi, instabiltas politik, dan kekacauan ekonomi akibat faktor tunggal saja. Orang yang paling rasional sekali pun berubah menjadi irasional. Nyaris semua lapis kalangan berubah menjadi “fatalist”. Tak banyak yang sadar bahwa hal tersebut dalah skenario besar, sesuatu yang by design oleh sebuah kekuatan lama yang memang jauh lebih matang secara politik. Semua mata, hati, dan pikiran diarahkan pada suudzon berjamaah bahwa hal tersebut bisa terjadi karena Presiden kita adalah Abdurahman Wahid. Ia yang dihinakan sebagai sekadar presiden yang dipilih sebagai “jalan tengah”, yang hanya bisa naik berkat gorengan sekelompok petualang politik.

Artinya, kekuasaan yang ia peroleh adalah hadiah, belas kasih, dan sekedar kompromi. Ia yang semula dirapakan sebagai kerbau penggarap sawah yang bisa dicocok hidungnya, tiba2 berubah menjadi bison yang berani melawan siapa saja….

Dengan berkelakar Gus Dur sendiri mengakui hal tersebut di kemudian hari, bahwa naiknya ia menjadi presiden adalah bermodal dengkul. Itu juga dengkulnya Amien Rais! Seorang petualang yang berakhir menjadi gelandangan politik. Figur terakhir inilah yang mengangkat dan kemudian menjatuhkannya. Seorang yang secara salah kaprah disebut “sengkuni” dalam percaturan politik Indonesia. Kenapa bukan? Sengkuni itu memang seorang tokoh yang suka nyinyir dan mengadu domba, tapi ia memiliki loyalitas tinggi pada raja dan negaranya. Pun ia tak pernah berambisi memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari posisinya sebagai Mahapatih di Astinapura.

Ia yang kemudian menjilat ludahnya sendiri! Ia menaikkan Megawati yang dianggap sebagai “perempuan yang tak pantas jadi pemimpin” pada Sidang Istimewa MPR. Sesungguhnya bila kita kaji benar, keanehan ini mustinya terhindarkan. Titik kritikal sebenarnya terletak pada kenapa Megawati mau-mau saja mendukung pemakzulan Gus Dur. Orang yang sebenarnya sangat menyayangi, membela dan melindunginya ketika ia dirisak oleh rezim Orde Baru? Sejarah mencatat, kemudian ia tercatat sebagai Presiden wanita pertama di NKRI. Ia juga tanpa gangguan bisa menyelesaikan jabatannya.

Tentu karena lebih kompromistis dan bisa berayun ke sana kemari. Tapi di tengah jalan ia ditelikung dan dikerjain oleh petualang politik yang jauh lebih telengas dan ganas bernama SBY. Seorang yang dipercayanya, kemudian menusukknya dari belakang. Ia sebagaimana Amien Rais adalah brutus-brutus yang daftarnya masih akan sangat panjang. Hal ini adalah periode dimana ada jargon paling aneh, transisi paling absurd dalam sejarah politik Indonesia di era reformasi. Apa yang mereka sebut bahwa “politik itu dinamis”! Cih! Sejak itu ilmu dan retorika yang sama ditiru, direproduksi, dan diaplikasi sepanjang pergulatan dan pergaulan politik Indonesia sampai detik ini.

Kata “dinamis” digunakan untuk memanipulasi politik praktis sebagai sesuatu yang kotor, rendah, tanpa rasa loyalitas, rasa hormat, apalagi hati nurani. Semua atas nama dinamika, sesuatu yang terus bergerak. Padahal sejatinya politik itu juga bernilai agung, mulia, dan berbudi luhur. Tapi mereka memilih sebaliknya….

Sebuah kenangan yang hingga hari ini abadi saya simpan. Dulu ketika di awal tahun 1970an, ketika Islam belum bersikap hegemonik dan ugal-ugalan seperti hari2 ini. Baik majalah dewasa dana anak2, selalu mengkisahkan dengan asyik cerita2 pertemanan yang intim antara Nasrudin Hodja dan kedelainya. Tentu saja hubungan antara kejenakaan si manusia dan kedogolan si keledai. Si keledai yang digambarkan sebagai binatang yang pemalas, pengeluh, suka protes, pandir dan banyak ulah.

Binatang keledai memang tidak dikenal dalam alam kehidupan manusia Indonesia, yang lebih mengenal kuda dalam berbagai ukurannya. Baik Kuda Ostrali yang teji dan gagah, atau yang lebih endemik kuda kecil semisal Kuda Poni, Kuda Kedu atau Kuda Sumba. Karena itu, kita selalu bisa berjarak dengan keledai. Kita hanya mengenal keledai dalam suatu peribahasa yang saya yakin juga bukan asli Nusantara: hanya keledai yang terperosok pada lubang yang sama….

Hari-hari ini, para keledai itu. Sejenis anak wayang dan pion tiba-tiba bergerak dimana-mana, menuntut Jokowi mundur karena dianggap gagal mengatasi Pandemi Covid-19. Saya pikir hanya keledai yang bisa berpikir sebegitu menyedihkan. Sebut satu saja negara yang berhasil 100% mengatasi pandemi dihari ini? Negara terdekat, yang pernah mengatakan Covid 19 tak lebih flu biasa, tiba2 memberlakukan kembali lock-down. Di China yang memiliki tingkat disiplin dan kepatuhan warganya yang tinggi, tiba2 dihantui ketakutan munculnya varian2 virus baru yang kecepatan penularan lebih tinggi dengan tanpa didahului gejala apa pun.

Pun di Eropa yang tiba2 tampak konyol, dan terlalu pede. Setelah Piala Eropa, euforia akibat Piala Eropa ternyata menimbulkan kenaikan tingkat terpapar maupun kasus meninggal. Dan ketika, kita melihat Jokowi yang wajahnya makin keruh, kehilangan senyum, dan tampak terus tegang. Sebagian keledai itu menganggap ia sudah siap mengibarkan bendera putih. Ia dituntut untuk segera mengabarkan kekalahan dan meletakkan jabatannya. Ini sudah sangat keterlaluan!Coba tunjuk satu negara saja yang beradab!

Yang di tengah pandemi ini berhasil memakzulkan kepala negaranya, karena dianggap gagal mengatasi pandemi. Bahwa di setiap negara memiliki kebijakan yang berbeda, dengan resiko dan konsekuensi yang berbeda2. Tentu itu sangat bisa dimengerti oleh warganya masing2. Kalau ada teriakan kekecewaan dan keluahan dari warganya. Bukankah itu adalah teriakan minta perhatian itu wajar dan manusiawi saja. Karena ia simbol kesedihan, kehilangan, dan keputusasaan.Ya barangkali kalau dipanjang-panjangkan semua ujungnya berakhir pada setiap kehidupan akan dianggap sebagai kesalahan. Hanya memperparah keadaan dengan ungkapan paling ironik tetaplah hidup walau tak berguna. Mereka yang tak berguna itulah yang berteriak dan memaki paling parah. Karena mereka yang tak melakukannnya, akan bertanya apa yang bisa saya bantu dan lakukan.

Dan lalu mereka akan menyingsingkan lengan bajunya ikut bergerak. Dan ribuan orang melakukan itu, tanpa bayaran, tanpa tuntutan apa pun…Merekalah pejuang kemanusiaan sesungguh-sungguhnya…

Saya sekarang jadi paham, kenapa cerita tentang Nasrudin Hoja dan keledainya justru hilang ketika kekuatan Islam makin berkembang. Keledainya sudah berubah menjadi manusia-manusia yang hobby berteriak di jalanan dan sosial media…

Mereka ini akan melakukan apa saja, untuk menjatuhkan siapa saja. Bahkan terhadap kaumnya sendiri, yang sebenarnya adalah pembela utamanya. Ia akan terus begitu sampai mereka sejenak berkuasa. Ya sejenak saja! Karena mereka akan dijatuhkan oleh sempalan mereka yang tanpa sengaja mereka ciptakan sendiri. Begitu terus, sampai hancur lebur negeri ini. Hingga Indonesia tak lebih menjadi Afghanistan, yang di hari2 ini tak banyak lagi manusia waras yang mau mengijaknya. Saking tak jelas lagi siapa kawan siapa lawan. Saking sama-sama tak pantas dibelanya, semua sama telengasnya….

Duapuluh tahun yang lalu, dengan segala kerendahan hati harus kita akui kita melakukan kesalahan berjamaah yang fatal. Kita kehilangan kewarasan, kesabaran, dan kejernihan. Kita menurunkan orang baik yang harusnya kita bela. Tak kan lagi terulang, kita tidak boleh lupa. Tidak pernah boleh (lagi) menjadi keledai yang sama pandirnya. Sedemikian bodoh untuk masuk ke lubang yang sama…….

NB: Sejarah mengajarkan pengkhinatan akan melahirkan pengkhianatan yang baru. Sejak kejatuhan Gus Dur, Megawati tak pernah bisa lagi berkuasa dalam dua kali Pilpres berikutnya. Sepuluh tahun kita lewati dalam pemerintahan auto-pilot yang penuh dengan korupsi dan kebohongan. Seluruh sendi kehidupan negara hancur, dengan jejak kerusakan nyata yang tak lagi mudah diperbaiki. Bila hari ini, kita dianugerahi presiden ndeso yang bukan siapa2 tapi jujur dan tulus bekerja. Ia memang tidak sempurna, tapi tak seharusnya kita diamkan saja. Saat ia menderita dan direndahkan dalam kesunyian laku becik dan tapa ngrame-nya. Sudah semestinya kita tak boleh berdiam diri.Tulisan untuk sedulurku Ahmad Nasuha, sah dan lunas ya.

Sumber : Status Facebook Andi Setiono Mangoenprasodjo

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed