by

Imsak

Desember dua tahun lalu saya berada di Ankara. Itu malam Natal. Sepulang dari gereja saya mengunci diri di kamar. Anggota rombongan makan malam di resto hotel. Sebagian membuka botol Rakhi, araknya orang Turki. Mereka berucap selamat Natal kepada hanya sedikit dari kami. Jangan lupa, Turki adalah negara penting bagi kekristenan perdana. Tak cuma Antiokhia ada di sana, juga Nicea, kota yang darinya lahir kredo Iman Rasuli.

Pukul dua pagi, sesudah beribadah Natal secara pribadi, saya bergerak ke luar kamar, kepingin merokok. Turun melalui elevator, dengan cepat saya melangkah menuju backyard hotel. Dua petugas keamanan datang menyusul. Saya beri tanda pada mereka bahwa saya sedang tak mau ditemani. Mereka mundur.

Saya ambil gelas kecil, menaruhnya di bawah panci teh Turki, memutar kran, membiarkan air teh mengisi gelas hingga penuh, lalu melangkahkan kaki ke kedinginan winter. Sia-sia, saya tak sendiri. Di sana ada beberapa perokok. Saya mojok, dan sejenak kemudian menyesal: kenapa Cay, kenapa bukan red wine?

Saya terlihat asing bagi mereka. Dua orang datang mendekat. Kami bertukar-kata. Tahu bahwa saya dari Indonesia, mereka ingin menegaskan apa saya beragama Islam? Saya menggeleng dan menyebut Lutheran Christian. Mereka kaget. Yang lebih tua, agaknya berusia di sekitar enampuluhan, menjelaskan tentang islam.

Sepuluh menit habis. Cay sudah lama klaar. Teman lelaki itu bertanya apa saya butuh tambahan teh. Saya mengangguk. Dia berjalan ke dalam untuk mengambilnya. Si Tua tetap berkhotbah, terdengar bahkan semakin seru dengan bahasa Inggris sederhana dan Google Translate di selponnya.

Sebagian cerita itu pernah saya dengar saat duduk di Sekolah Dasar. Saya hapal banyak hal dari Islam, tak ragu mengenangnya dengan dada hangat. Satu lagu, yang sering muncul di RRI saat subuh puluhan tahun lalu, membuat saya tersenyum: …Allahuakbar, Allahuakbar, Allah, Allahuakabar”.

Pak Tua mengucap dua kalimat syahadat. Senyum saya mekar. Dia minta saya mengulanginya. Saya paham apa yang dia maksud. Tanpa ragu saya penuhi permintaan tersebut, mengucapkannya dengan takzim.

“Now you are Muslim,” serunya haru sambil memeluk saya.

“Sebagai bagian dari rahmatan lil alamin, ya, saya Muslim. Sebagai orang yang telah dibebaskan dari perbudakan konsep dosa, saya Kristen.”

“Tapi Anda sudah mengucap dua kalimat syahadat.”

“Betul. Apa yang keliru dengan itu? Saya bahkan pernah berdoa di Angkor Wat, di Pura Besakih, di banyak rumah ibadah lain.”

“Dengan mengucapkan dua kalimat syahadat Anda sudah jadi Muslim.”

“No, dengan mengucap dua kalimat syahadat saya telah menjadi manusia, menjadi saudaramu, memahami penuh apa yang kau rasakan ketika menyerukannya sepenuh keagungan. Saya manusia merdeka, tidak punya pantangan apa-apa. Dan karena itu saya bersukacita senantiasa. Saya boleh bernyanyi lagu apa saja, berpentas dengan puisi siapa saja, mengucapkan kalimat apa saja tanpa harus mengubah agama saya. Kekristenan yang saya peluk membebaskan saya dari perhambaan. Di hadapan Allah, saya adalah partnerNya, kekasihNya, bukan hamba apalagi budakNya.”

Itulah juga yang saya ucap kepada teman Katolik saat berbuka puasa tepat ketika bedug terdengar berdentuman kemarin.

“Betul, gua gak beragama Islam sehingga jam mahgrib gak harus gua patuhi dalam berbuka Puasa. Namun gua memilih untuk merasakan apa yang para muslim rasakan ketika bedug ditumbur.”

Sejenak kemudian, dari pelantam, berhiruk bunyi beduk. Saya berucap, “Alhamdulillah”.

Sebelum menyendok kolak biji salak berselaput bubur sumsum, saya mendesah, “bismillahirrahmanirrahim”.

Agaknya terdengar sexy. Waitres di meja depan menoleh. Saya tersenyum. Dia datang menghampir. “Ada yang perlu saya tambahkan?”

Sumber : Status Facebook Sahat Siagian

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed