Contoh lain.
Pendapat Imam Ahmad yang menolak ta’wil akan dikampanyekan, namun riwayat yang menyebut beliau menolak tajsim akan ditolak dan disembunyikan (karena beda pandangan dengan Ibn Taimiyah dalam hal ini).
Dalam bab bid’ah, asy Syathibi Al Maliki adalah salah satu panutan mereka. Tapi asy Syathibi dalam bab aqidah malah bertolak belakang dengan mereka. Kitab Al I’tishom karya asy Syathibi dijadikan pedoman soal bid’ah, namun kitab beliau Al Muwafaqot tak terlalu dianggap penting.
Dalam bab aqidah, karya adz Dzahabi Al Uluww pasti mereka pakai. Tapi dalam bab ngalap barokah alias tabarruk, adz Dzahabi mereka campakkan karena beliau mendukung tabarruk dengan ziarah kubur orang Sholih.
Ada 2 ulama’ yang hampir pasti mereka teladani nyaris tanpa reserve : Ibn Taimiyah dan Syaikh Muhammad ibn Abdil Wahhab. Kenyataannya kitab-kitab dua alim inilah yang mereka pakai dalam pengajaran apa yang mereka sebut manhaj salaf. Pendapat ulama’ lain hanya sampiran. Jika sesuai dengan dua ulama’ ini akan dikampanyekan. Jika berbeda akan dibantah dan disalahkan, atau disembunyikan, dengan alasan : bertentangan dengan manhaj salaf.
Payahnya, dua ulama’ ini bukan salaf sama sekali. Ibn Taimiyah wafat 728 H. Syaikh MbAW wafat 1206 alias baru tahun 1791 M. Namanya manhaj salaf, namun isinya sebenarnya hanya pemikiran dua alim ini.
Walhasil, manhaj salaf adalah ilusi, namun karena pola kampanye yang luar biasa, ia bisa menjadi sejenis ideologi. Kita pun berhadapan dengan fanatisme madzhab jenis baru. Sebuah madzhab yang bukan madzhab, seperti di masa lalu ada partai politik yang menolak dirinya disebut partai politik.
WalLahu a’lam.
Sumber : Status Facebook Ahmad Halimy
Comment