by

Harriet Taylor, John Stuart Mills dan Kartini

Oleh : Ruth I Rahayu

Suatu gagasan filosofis tentang emansipasi perempuan dapat lahir dari kolaborasi cinta seperti yang dialami oleh seorang feminis dari Inggris, Harriet Taylor, dan seorang filsuf, John Stuart Mills. Ketika Harriet Taylor dan John Stuart Mills berkenalan pada 1830, Harriet baru menikah empat tahun dengan John Taylor –seorang pengusaha di bidang farmasi. Perkenalan itu membawa Mills dan Harriet dalam perjalanan asmara panjang dan dikutuk masyarakat Inggris yang pada masa itu sangat puritan. Pacaran intelektual Mills dan Harriet melahirkan gagasan emansipasi perempuan di bidang pendidikan dan perkawinan.

Dalam tulisan berjudul The Enfranchise of Women (dalam the Westminster and Foreign Quarterly Review, July 1951), Mills mengatakan bahwa tulisan itu merupakan pokok pikiran Harriet. Mills menikah dengan Harriet pada 1851 setelah suami Harriet meninggal –setelah 20 tahun mereka berpacaran. Mereka berumahtangga selama tujuh tahun karena kemudian Harriet meninggal pada 1858. Setelah itu Miils menulis dan menerbitkan buku berjudul The Subjugation of Women pada 1869.

Dalam pengantar buku itu, Mills berterus terang –sekali lagi—bahwa karyanya ini merupakan pokok pikiran Harriet i mengenai emansipasi perempuan. Pokok pikiran itu menjadi bahan diskusi mereka terus menerus, dan seturut pengembangan pemikiran Mills di bidang fislafat. Mills adalah murid Jeremy Bentam, yang melahirkan pemikiran etika utilitarian, tetapi Mills mengembangkan pemikiran gurunya lebih tajam. Maka tak heran jika dalam pemikiran emansipasi perempuan dalam karya Mills ini juga diwarnai semangat etika utilitarian. Seperti apa pemikiran utilitarian Mills? Prinsipnya:Pertama, moralitas tindakan diukur sejauhmana diarahkan pada kebahagiaan Kedua, kebahagiaan sendiri terdiri dari perasaan nikmat dan kebebasan dari perasaan

Prinsip utilitarian versi Mills itu ketika ditempatkan pada emansipasi perempuan, maka secara prinsip berarti:

Pertama, emansipasi perempuan adalah moralitas tindakan yang baik karena mengarah pada penciptaan kebahagiaan perempuanKedua, emansipasi perempuan adalah membebaskan perasaan perempuan dari penderitaan dan memberikannya perasaan nikmat (dalam arti tidak tertindas)Dalam The Sugjugation of Women, Mills berpandangan bahwa emansipasi dan pendidikan perempuan justru akan memberikan manfaat positif bagi laki-laki.

Pertukaran pikiran dari perempuan dan laki-laki yang terpelajar akan menghasilkan sumbangan intelektual yang berguna bagi semua orang. Pun akan menciptakan keintiman bagi hubungan suami-isteri itu sendiri.Selain itu, Mills mengritik undang-undang perkawinan di Inggris yang membuat perempuan seperti budak di dalam rumah. Maka dari itu Mills mengusulkan perlunya reformasi undang-undang perkawinan yang adil bagi perempuan dan memberikannya tempat yang setara dengan laki-laki. Tak hanya itu, Mills juga mengusulkan perubahan hukum waris yang memungkinkan perempuan untuk memiliki harta mereka sendiri, dan memungkinkan perempuan untuk bekerja di luar rumah, mendapatkan stabilitas keuangan yang mandiri.

***Gagasan emansipasi di bidang pendidikan dan perkawinan yang lahir dari tradisi filsafat liberalisme sebagaimana yang digagas Mills dan Harriet itulah yang kemudian dicecap oleh Kartini. Ada banyak sarana hingga pemikiran ini sampai ke Kartini, baik melalui korespondensi, buku bacaan maupun dialog langsung dengan orang Belanda yang berpikiran liberal pada masa itu. Cuaca liberalisme di Eropa pada abad ke-19 terasa hingga Hindia Belanda dan berdampak adanya transformasi sosial kaum bumiputera. Sayang sekali bahwa kita yang hidup pada abad ke-21 pada abad digital ini, baik perempuan maupun laki-laki, terperosok ke dalam kebingungan dan keragu-raguan mengenai emansipasi perempuan.

Sumber : Status Facebook Ruth I Rahayu

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed