by

Hanya Di Era Jokowi Antek CIA dan Para Political Mainstream Bisa Ditundukkan

Dokumen yang dikeluarkan itu membenarkan bahwa Dubes AS Marshall Green melapor ke Washington dengan telegram bahwa ia mengetahui apabila pejabat yang berwenang dalam masalah keintelijenan di Indonesia telah memanfaatkan daftar dari kedutaan itu untuk membunuh mereka yang tercantum namanya. Dokumen itu juga membuktikan bahwa Green telah menyerahkan uang sebanyak 50 juta rupiah untuk terus membantu dalam penyingkiran PKI. Meskipun demikian, masih ada sejumlah dokumen CIA lainnya yang masih merupakan dokumen rahasia di tahun 2001 ini, seperti dilaporkan oleh George Lardner dalam ‘Washington Post’ tanggal 30 Juli 2001.
Kenaifan orang Indonesia dalam hal pengetahuan tentang cara dinas intelijen AS bertindak, sukar diukur. Tetapi, setelah mengalami 32 tahun pemerintahan militer dengan kendali ketat terhadap media, berbagai percakapan yang saya lakukan di Jakarta meyakinkan saya, bahwa saya harus menulis buku ini, agar orang Indonesia dapat mengetahui tentang nasib beberapa orang sahabat dan rekan Bung Karno.
Pembunuhan terhadap JFK masih belum terungkap tentang hal yang sebenarnya terjadi. Sementara filmnya Zapruder tentang pembunuhan itu sangat jelas membuktikan bahwa peluru-peluru yang mengenai Presiden ini ditembakkan dari dua arah, versi resminya bertahan pada ceritera bahwa Lee Harvey Oswald-lah yang menembak JFK. Sementara bukti-buktinya jelas ada dan dapat dilihat semua orang, namun masih ada orang yang percaya bahwa Oswald melakukan semuanya itu sendirian. Oliver Stone mendapat 40 juta dolar dari bangsa Jepang dan ia membuat filmnya berjudul JFK.
Dalam film itu ia mengambil alur ceritera bahwa peristiwa Dallas itu adalah hasil sebuah rencana persekongkolan. Segera pula ia diserang oleh kelompok yang keras kepala itu, yang menolak mengakui bahwa AS menderita akibat ulah dinas rahasianya yang tidak terkendalikan.
Di London, ‘Shadow of a Revolution, Indonesia and the Generals’ karangan Roland Challis terbit di bulan Juni 2001 (Sutton Publishing, London). Diceriterakan bahwa pada tahun 1965, Challis bertemu dengan Norman Reddaway pejabat Foreign Office(Kantor Perwakilan Luar Negeri) di markas besar Far East Command di Singapura. Pria ini menceriterakan pekerjaannya adalah ‘melakukan apa saja yang terpikirkan orang untuk melenyapkan Presiden Indonesia Soekarno.’ Challis menulis di ‘The Sunday Times of London’ terbitan tanggal 20 Juli 2001, sebuah artikel berjudul ‘Our Dirty Secret Behind Indonesia’s Coup’.
Di dalam bukunya, Challis merujuk ke dokumen yang berisi persetujuan JFK dan Perdana Menteri Harold Macmillan bahwa sebaiknya Soekarno dilenyapkan. Keputusan itu diambil setelah keputusan Bung Karno yang ingin melenyapkan pangkalan AS dan Inggris dan sisa-sisa kolonialisme di Negara Federasi Malaysia-nya Tengku Abdul Rahman.
Challis: ‘Dengan dukungan rahasia dari Amerika, unsur-unsur sayap kanan di Angkatan Bersenjata (Angkatan Darat) Indonesia siap untuk berperang. Peristiwa itu dipicu oleh gerakan rahasia mendadak pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, yang sampai sekarang disebut sebagai percobaan kup kaum komunis yang gagal.
Peristiwa itu sekarang dikenal sebagai ‘karya’ beberapa perwira nasionalis yang cemas akan adanya kecenderungan anti-Soekarno dari atasan mereka dari sayap kanan. Gerakan mendadak itu dimainkan dalam tangan Soeharto. Ia berurusan dengan divisi di dalam Angkatan Bersenjata, kemudian dengan pembunuhan orang-orang yang diduga komunis.’ (‘Sunday Times of London’, 29 Juli, 2001).
Selangkah demi selangkah, akhirnya kebenaran mengenai apa yang terjadi pada malam yang menentukan itu di Jakarta, sejak 30 September hingga 1 Oktober 1965, mulai muncul ke permukaan. Indonesia akan dihadapkan kepada kejutan lebih banyak, karena Roland Challis baru mengorek permukaan masalah ini saja ketika ia menulis tentang Nasution & Co mendapat dukungan AS, yang sebenarnya, jauh lebih banyak dari itu. Para arsitek peristiwa 1965 – seperti di tahun 1958 – yang berkomplot di Washington adalah kekuatan gelap yang sama yang sejak Perang Dunia II melakukannya di mana saja di dunia ini.
Pangeran Sihanouk selamat dan tinggal di Beijing. Ia berhasil menulis buku ‘My War with the CIA’, demikian juga Kwame Nkrumah. Tetapi Bung Karno tidak pernah beroleh kesempatan menulis buku sejenis itu, yang pasti dapat ditulisnya dengan mudah, saya tahu benar akan hal itu, karena saya telah berbicara lama dan mendalam dengannya di tahun 1966.
Waktu yang diperlukan rakyat Indonesia sebelum mau membuka mata mereka terhadap kenyataan adalah proses yang dapat diperbandingkan dengan rakyat Amerika yang menolak pendapat bahwa pembunuhan JFK adalah sebuah persekongkolan. Bahkan mereka yang sudah melihat dengan mata mereka sendiri, bahwa setelah ditembak dari belakang, ada peluru lain yang menembus leher Presiden ini yang datang dari arah yang berlawanan. Saya mewawancarai ahli bedah dr. Ralph Greenlee, salah satu dokter ahli di Dallas yang memeriksa JFK ketika presiden ini dibawa masuk ke Parkland Memorial Hospital, tempat ia meninggal tidak lama kemudian. Pada tanggal 10 Maret 1967, ia sudah berceritera kepada saya,
‘Satu peluru mengenainya dari belakang, peluru yang lain langsung menembus lehernya dari depan. Para dokter di rumah sakit ini sangat yakin bahwa peluru yang kedua datang dari arah yang lain dari tempat yang diduga Oswald berada. Ini berarti bahwa kami semua di sini tahu, bahwa pembunuhan Presiden ini adalah perbuatan yang direncanakan sebuah komplotan.
Pembandingan dengan rakyat Indonesia yang masih ragu apakah CIA ada di belakang kup tahun 1965 itu dan rakyat Amerika yang menolak pendapat bahwa pembunuhan atas Presiden mereka jelas-jelas hasil suatu komplotan, sangatlah mencolok. Karena saya telah tinggal di New York dari tahun 1958 sampai tahun 1992, saya tahu bahwa tidak ada yang dapat dilakukan orang untuk membuka mata masyarakat agar melihat kenyataan yang tidak ingin mereka lihat atau terima.
Hal ini membawa saya kepada beberapa pengamatan mengenai pergantian rezim dari Pak Wahid ke Ibu Mega, yang seperti lompatan dari wajan penggorengan ke api yang menyala. Sayang sekali, seperti yang saya tulis di ‘Jakarta Post’pada tahun 1999, putri sulung bapak bangsa ini telah masuk ke perangkap yang sudah dipasang baginya, karena dia akan terus diganggu bahkan bisa dibunuh agar kepentingan CIA bisa menguasai Indonesia.
Ayahnya, yang sangat saya kenal, pasti akan sangat sedih menyaksikan kejatuhan putrinya jauh lebih cepat dari kehancuran kepresidenannya Pak Wahid.
Dalam hal ini tidak sepenuhnya ramalan Oltmans benar walaupun memang kekuasaan political mainstream di Indonesia Masih kuat yang tak terduga justru Indonesia punya Jokowi yang berani membongkar rahasia ini dengan membubarkan proxy war nya yaitu FPI dan perpolitikan Indonesia bisa kembali kepada kedaulatan rakyat .
Semoga Indonesia bisa banyak belajar dari fakta sejarah agar Demokrasi dapat terjaga dan pembodohan politik tidak lagi mampu memperalat bangsa ini ….dan yang lebih Penting lagi Jangan biarkan Jokowi berjuang sendiri mengembalikan. Kedaulatan rakyat kepada seluruh rakyat Indonesia sesuai Pancasila dan UUD 1945.
Salam kedaulatan rakyat
Sumber : Status Facebook Tito Gatsu.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed