by

Gudang Garong, Dewan Punya Selera

Oleh: Alifurrahman S Asyari

Beberapa hari terakhir ini kita sedang dihebohkan oleh kasus “Papa Setya Minta Saham.” Kasus ini dimulai oleh Sudirman Said Menteri ESDM yang memembuat pernyataan bahwa ada orang kuat dan politisi yang menjual nama Presiden serta Wapres untuk negosiasi perpanjangan kontrak Freeport. Puncaknya tiga hari yang lalu Sudirman Said melaporkan kasus pencatutan ini kepada MKD, karena orang yang mencatut nama Presiden dan Wapres adalah pimpinan DPR, Setya yes highly Novanto.

Sebelum ini sebenarnya sudah ada beda pendapat antara Menko Kemaritiman Rizal Ramli dan Sudirman Said khusus soal Freeport. Sehingga pada banyak kesempatan Rizal Ramli rajin menyindir Menteri ESDM, sementara yang disindir hanya menganggap itu soal ekspresi masing-masing orang.

Saya ingat betul betapa Rizal Ramli berbicara dengan semangat 45, kurang dari 3 meter di depan saya. Setiap katanya begitu menyihir para awak media yang hadir meliput. Maka maklum saja kalau setelah itu ada puluhan berita menarik yang dapat dipublikasikan.

Namun dari semua kalimat fantastis Rizal Ramli yang sesumbar Indonesia bisa memutus kontrak Freeport dan rupiah bisa 5,000 perdollar, ada satu hal yang saya pikir adalah point utama namun dilupakan oleh banyak orang, yakni: perpanjangan kontrak Freeport menunggu 2019. Namun banyak dari kita lebih suka mendengar kalimat fantastis dan melupakan materi paling mendasar mengapa seorang Rizal Ramli mengatakan itu.

Setelah kasus “Papa Setya Minta Saham” muncuat ke publik, manuver kalimat pun lebih banyak lagi. Kali ini Luhut Panjaitan ikut terbawa arus setelah namanya juga dicatut oleh Setya Novanto. Hal ini membuat publik semakin heboh lagi. Ragam dugaan muncul dan membuat banyak orang kebingungan memilih antara mana yang mafia dan pahlawannya?

Jangan-jangan Sudirman Said sebenarnya terlibat? Luhut juga geng dari Setya Novanto? Dan seterusnya. Komentar beberapa orang tokoh juga meramaikan kasus ini. Sehingga banyak dari kitapun larut.

Padahal, esensi dari pernyataan Luhut Panjaitan, Sudirman Said, Rizal Ramli dan Presiden Jokowi sebenarnya sama saja: kontrak Freeport baru bisa dibahas 2019. Syarat untuk perpanjangannya, Freeport harus mau divestasi saham, membangun smelter dan menigkatkan konten lokal.

Jauh sebelum Rizal Ramli sesumbar bisa menekan rupiah menjadi 5,000 perdollar jika Freeport kita ambil alih, beliau juga menjelaskan keinginan Presiden. Kita mau royalti fee bisa naik dari 1% ke 6%. Divestasi saham juga pada akhirnya harus 50%+1 untuk pemerintah Indonesia, dilakukan secara bertahap.

Yang menjadikan Rizal Ramli dan Sudirman Said seolah tidak satu suara adalah pernyataan Rizal Ramli jika Freeport tidak mau maka akan kita ambil alih. Rizal Ramli mengandaikan jika emas di Papua kita kelola sendiri akan membuat rupiah menjadi 5,000 perdollar, sementara Sudirman Said lebih menjelaskan detail materi terkait konsekuensi (dalam kalkulasi ekonomi) yang harus dihadapi. Begitu pula Luhut dan Presiden Jokowi sendiri sebenarnya satu suara. Namun semuanya terlihat seperti benang kusut ketika mereka harus menjawab pertanyaan wartawan yang sangat beragam. Faktor Sudirman Said bisa menjelaskan detail karena dia diwawancarai ekslusif satu lawan satu. Sementara Luhut dan Rizal Ramli tidak.

Saya sendiri berharap kita tidak perlu terlalu fokus pada pernyataan heboh, lalu melupakan point utamanya. Persis seperti kasus Setya Novanto, silahkan semua tokoh berkomentar dan menjawab wartawan, tapi fokus kita adalah mengawal MKD memberi sikap yang jelas kepada Setya Novanto. Apalagi sebelumnya pimpinan DPR ini juga tersangkut kasus Donald Trump bersama Fadli Zon beberapa waktu lalu.

Penjahatnya si Setya ‘yes highly’ Novanto

Kenyataannya, Setya Novanto sudah mengaku bahwa dia bertemu dengan pihak Freeport dan mengajak Reza Chalid. Kedua, Setya Novanto secara tidak langsung sudah mengakui bahwa memang dialah orang dalam rekaman yang dilaporkan oleh Sudirman Said, ini karena Setya sempat berkomentar bahwa soal beli jet dan golf hanya bercanda (persis seperti dalih PKS dalam kasus yang melibatkan ketua partainya, Lutfi Hasan Ishaq). Ketiga, Setya Novanto membuat pernyataan membohongi publik karena berdalih saham yang diminta itu bukan untuk Presiden dan Wapres, melainkan untuk negara. Lalu berdalih bahwa ada nama Presiden dan Wapres itu hanya joke/becanda, dengan alasan Freeport adalah perusahaan asing yang profesional dan setiap detail pasti dicatat resmi. Alasan yang sangat bodoh, jika membaca artikel saya “Papa Setya Minta Saham” anda akan tau mengapa saya mengatakan ini.

Pertanyaannya, setelah mendapat kenyataan yang terang benderang seperti ini, apakah MKD masih perlu melakukan investigasi yang lebih untuk segera menentukan sikap terhadap Setya Novanto? Bukankah kasus pencatutan ini sama terangnya seperti saat Setya Novanto dan Fadli Zon menghadiri kampanye Donald Trump? Jika MKD hanya membiarkan kasus ini menguap seperti sebelumnya, jujur saya sebagai rakyat hanya bisa gemas dan berharap semoga tidak punya kesempatan untuk mencekek bapak-bapak senayan tersebut, atau paling minimal saya kempesin ban mobilnya jika bertemu.

Presiden Jokowi dalam hal ini memang tidak akan susah payah turun langsung, karena masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Presiden Jokowi pun tidak akan menginstruksikan langsung ke menteri atau pihak lain untuk mengusut kasus ini, sebab menteri kabinet kerja dan doa adalah orang-orang dewasa yang bisa berpikir, bukan anak-anak TK seperti….asudahlah. Hal ini diakui oleh Menteri Sudirman Said bahwa memang tidak ada instruksi langsung, tapi beliau diminta untuk terus menjaga serta konsisten dengan areanya. Dan keputusan melaporkan ke MKD adalah bagian dari mengabulkan permintaan Presiden.

Seharusnya semua pihak bergerak sesuai porsi dan kerjaannya masing-masing. Presiden ya sebagai Presiden, MKD ya sebagai MKD. Jangan nunggu perintah Presiden baru diurus, bukankah negara sudah memiliki sistem yang baik? Bukankah Menteri Sudirman Said sudah menempuh proses dan sistem yang berlaku? KPK juga jangan seperti era Presiden sebelumnya, setelah diinstruksikan barulah ….. ooops nanti kena somasi. Hehe.

Setya Novanto dan Kaum Salawi

Yang saat ini terjadi di masyarakat dan publik adalah, kita lebih mengakomodir sensasi dibanding esensi. Sehingga kaum Salawi punya celah untuk menerapkan teori cocokloginya. Contohnya adalah pernyataan Pratikno Mensesneg.

“Soal Freeport jangan terlalu dibesar-besarkan”

“Semuanya kita serahkan pada hukum yang berlaku”

Setelah point ke dua, masih ada beberapa point lagi. Tapi ketika sampai di otak kaum Salawi, mereka hanya akan menangkap point satu: jangan terlalu dibesar-besarkan. Kemudian melupakan point dua dan seterusnya.

Mereka ini baru berani komentar setelah mendapatkan banyak berita agar bisa menyimpulkan teori cocoklogi. Jadi yang mereka tangkap dari “jangan dibesar-besarkan” adalah: Istana juga terlibat deal Freeport. Hanya karena Amien Rais dan Akbar tanjung meminta kasus ini dibuka serta transparan, dikaitkan dengan 1 point (jangan dibesar-besarkan) lalu melupakan point lainnya. Jadi kalau sampai kasus ini tidak diusut sama seperti kasus Donald Trump yang salah siapa anak-anak kutu? Jokowi…..!! Haha.

Luar biasa otak kutu. Anda tau kutu yang saya maksud? Kutu ya kutu. Masa nggak tau. Rempong Asu Kutu, asudahlah…..!

(Sumber: Seword.com)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed