by

Fiqih Muamalah VS Sunah Nabi

Coba bayangkan, ngapain sih orang-orang di zaman segitu jual-beli pakai sistem barter segala? Bukannya gandum dibeli pakai uang, tapi malah gandum dibelinya malah pakai gandum juga.
Coba dipikirkan, ngapain sih maksudnya main-mainan pasar-pasaran kayak gitu?
Tapi larangannya tercantum di dalam banyak hadits terkait muamalah. Tinggal kita bingung sendiri, sebab di masa kita, mana ada orang belanja ke pasar beli gandum dan bayarnya pakai gandum juga. Lucu-lucuan aja kalau ada yang kayak gitu.
Terus ada lagi Nabi SAW melarang menyongsong orang desa masuk kota (talaqqi ar-rukban) dan tidak boleh membeli hasil bumi orang desa (la tabi’ hadirun li badin).
Ini maksudnya apa lagi? Masak orang desa masuk kota tidak boleh disambut? Nanti kalau dia nyasar di tengah kota bagaimana urusannya?
Mbah saya datang dari kampung bawa oleh-oleh buah tangan hasil panen, minta di jemput di stasiun Gambir, eh saya malah bilang : “Maaf Mbah, ini adalah perbuatan yang diharamkan oleh Nabi SAW dan nauzdu billah min dzalik kalau sampai saya melakukan perbuatan terlarang”.
Apa pula ini maksudnya?
Praktek ajaib kayak gitu hanya terjadi di masa kenabian. Dan dilihat dari madharatnya, makanya Nabi SAW melarangnya. Tapi buat kita, fenomena ajaib kayak gitu memang tidak terjadi, sehinggga justru kita yang bingung membaca haditsnya.
Contohnya Nabi SAW pernah bersabda bahwa manusia itu bersekutu dalam tiga komoditi, yaitu air, api dan rumput. Sehingga Beliau melarang jual-beli ketiga komoditas itu.
Kalau larangan macam itu kita terapkan hari ini, maka bisnis air minum kemasan itu jadi haram. Sebab Nabi SAW melarang orang memperjual-belikan air, yang mana air itu milik kita bersama.
Begitu juga bisnis pakan ternak yang bahan utamanya rumput ikutan juga jadi haram. Sebab di masa mereka, rumput itu tidak ada yang punya. Hewan-hewan kita silahkan saja merumput dimana saja, termasuk di halaman rumah orang lain sekalipun.
Nabi SAW juga pernah bersabda bahwa kepemilikan tanah itu cukup dengan memagarinya. Siapa yang membangun pagar di atas sebidang tanah, maka sah baginya sebagai pemilik tanah itu.
Kalau hadits ini kita terapkan di masa sekarang, jadilah hadits ini dasar atas sengketa tanah. Preman dan mafia tanah akan semakin meraja-lala memagari tanah milik rakyat seenaknya saja, dengan dasar hadits dari Nabi SAW.
4. Akad Yang Belum Ada Sebelumnya
Fenomena ini kebalikan dari fenomena di atas. Di masa kita ini, akad seperti itu kita anggap lazim dan wajar dilakukan, tetapi kalau kita lihat di masa kenabian, sama sekali tidak terbayangkan.
a. Surat Kepemilikan Emas
Misalnya sistem penitipan emas dan perak di suatu tempat, lalu sebagai gantinya, orang-orang berjual-beli hanya mengunakan kertas surat yang diterbitkan pihak penyimpan atas kepemilikan emas perak mereka.
Praktek ini pernah terjadi di negeri China yang mana mereka memberlakukan surat kepemilikan atas emas sebagai alat tukar. Tapi tidak pernah ada kisahnya di Arab khususnya di masa kenabian. Alat tukar mereka hanya menggunakan emas perak secara fisik, bukan surat atas emas dan perak.
Praktek jual-beli menggunakan kertas surat ini kemudian berkembang di seluruh dunia, menggantikan kedudukan koin emas dan perak secara 100%.
2. Mata Uang
Perkembangan lebih jauh dari kertas surat pengganti emas perak adalah ‘mata uang’. Awalnya kertas surat itu benar-benar representasi dari emas perak sungguhan yang disimpan di tempat aman.
Namun terhitung sejak tahun 1970, dipelopori oleh Presiden Richard Nixon, Amerika Serikat mengawali pencetakan mata uang dolar yang 100% tidak ada hubungannya dengan cadangan emas simpanan. Pencetakan uang kertas ini masuk era dimana emas perak benar-benar sudah ditinggalkan oleh umat manusia sebagai alat pembayaran keseharian.
Benar bahwa emas perak merupakan logam mulia, harganya stabil dan diakui oleh seluruh bagian dunia. Tetapi tetap saja fungsinya sudah tidak pernah lagi jadi alat pembayaran.
Baik untuk beli kebutuhan harian di mini market atau pun untuk membeli tanah, rumah, kendaraan yang mahal-mahal itu, tetap saja kita tidak mengukur harganya pakai emas.
Menilai harga suatu benda pakai emas itu hanya terjadi di masa lalu. Misalnya, ada hadits menyebutkan siapa yang menshalatkan jenazah saudaranya maka dia akan mendapatkan emas 1 qirath, yaitu emas seberat gunung Uhud.
Perhatikan, menilai harga suatu komoditas dengan berat emas itu memang ada di masa lalu. Tapi hari ini tidak pernah lagi dilakukan, kalau pun kita memaksakan, tetap saja pihak lain tidak akan mau menerima. Sebab zamannya sudah berubah.
Kita mengukur nilai harga suatu barang produksi pakai mata uang yang berlaku di suatu negara.
Uniknya sistem mata uang ini bahwa tiap negara punya mata uang sendiri-sendiri, sehingga nilainya menjadi dinamis dan bisa berubah terus sepanjang waktu. Fenomena ini jelas tidak pernah ada di masa kenabian, bahkan sampai 14 abad kemudian.
Baru hari ini saja kita mengenal alat tukar menggunakan uang kertas yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan logam mulia emas perak.
Sumber : Status Facebook Ahmad Sarwat

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed