by

Emha Cak Najib

Oleh: Dahono Prasetyo

Sosok yang satu itu selalu bisa menemukan celah untuk “tampil beda” dalam situasi politik apapun. Pada kesempatan kali ini, Cak Nun yang dulunya “malu-malu” menyatakan ketidak setujuannya kepada Jokowi, kini mulai terang-terangan dengan gaya bahasa satire khas miliknya. Maka lengkap sudah dia menjadi netral se-netral netralnya karena dengan sosok Prabowo-pun dia lebih tidak setuju.

Di era 90-an hingga masa reformasi, sosoknya cenderung di belakang layar dalam setiap peristiwa politik. Kalaupun sedang berada di depan layar sebatas sebagai aktor panggung pertunjukan kesenian dakwah yang konsisten dijalaninya bersama Kyai Kanjeng.

Rezim Soeharto dilawannya dengan konsisten. Di era kebangkitan muslim bersama Gus Dur, dia tetap sarat kritik dan opini bagaimana melihat Kyai NU dipakasa berjibaku di panggung politik. Kemudian saat Megawati mengambil alih kekuasaan tak luput dari kritik pedas ala Cak Nun. Hingga di 2 periode SBY dia semakin gencar menggambarkan Indonesia kembali di jaman Orde Baru, namun mendadak tercengang saat Jokowi tiba-tiba muncul diluar intuisi dan analisa politiknya.

Jokowi yang bukan siapa-siapa mendadak jadi anti tesis sekian puluh tahun kiprah budayawan “mbeling” itu. Jokowi yang menurutnya tak lebih dari sebuah “boneka” diantara boneka-boneka lain di negeri ini. Sedangkan Prabowo yang menjadi rival Jokowi tak pernah absen dari kritikan persoalan masa lalunya. 

Maka tidak ada yang luar biasa dari pernyataan seorang Cak Nun yang tiba-tiba membuat kita baper saat Jokowi menjadi Presiden 2 periode. Cak Nun yang menjadi saksi banyak hal dalam peristiwa politik, dan kemampuannya “menyihir” jama’ahnya dengan gaya slenge’an. Sindiran pedas kepada Jokowi bahwa saat ini bukanlah Presiden yang tepat menurut imajinasi Cak Nun, menyimpan ambigu absurd kalau tidak mau dibilang skeptis. Karena dia tidak lantas menyebutkan standar Presiden yang tepat seperti apa. Ya sekedar berprosa alias mengarang bebas. 

Memahami Cak Nun membuat kita kadang terjebak pada “pesona” syair kata-kata bijaknya. Namun merunut jalan pikirannya mesti mundur jauh lebih dari seperempat abad ke belakang. Saat syair dan gerakan “Lautan Jilbab” dari UGM, alun-alun Jogjakarta hingga bersafari dari kita ke kota tahun 90an menjadi awal kebangkitan kaum mayoritas muslim untuk memperjuangkan nasibnya sendiri. Simbol-simbol keagamaan mulai mencari tempat meng-aktualisasikan diri.

Cak Nun yang sudah lebih dahulu menanam benih politik di dalam Islam. Menyiramnya dengan tebaran pupuk-pupuk kebudayaan hingga melihatnya tumbuh dalam kerangka Kebhinekaan, namun mendadak tercengang saat melihat ranum buahnya kini berubah menjadi Lautan Cadar
Paham kan bro??

(Sumber: Facebook Dahono Prasetyo)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed