by

Edy Mulyadi Disekeliling Kita

Oleh : Gunadi

Org spt Edy Mulyadi lni bukan fenomena langka, apalagi luar biasa pada dunia perpolitikan kita. Baru menjadi bahan perbincangan publik manakala sebuah peristiwa heboh dibuatnya. Padahal, orang-orang dengan karakter sepertinya ini banyak sekali di negeri ini. Mereka gemar sekali berbaju agama. Ada yang benar-benar beragama, ada pula yang mengenakannya hanya demi kamuflase. Hanya demi meraih posisi politik. Target akhirnya selalu posisi untuk dirinya sendiri, jika bkn utk kelompoknya.

Manusia-manusia seperti itu senang dengan menghalalkan segala cara. Dan itu baru terlihat ketika mrk berulah. Org2 spt Edy ini terlihat senang dengan keributan hingga sensasi murahan dan maka fitnah serta tuduhan keji, konon sering dia buat. Rekam jejaknya mulai berbicara. Gejala seperti inilah yang kini kita rasakan dalam berbagai dimensi kehidupan termasuk dalam dunia politik. Cerita org spt Edy Mulyadi hanya fenomena gunung es, muncul ke permukaan dan maka terlihat, pdhl sesungguhnya org2 spt banyak jumlahnya di negeri ini, dengan latar belakang profesi bermacam2 : Penceramah, mantan pejabat, mantan TNI, dosen, dokter, dan lain2.

Dimulai dengan predikat sebagai wartawan senior yang dilekatkan pada dirinya, Edy ingin terlihat sebagai sosok yang bukan sembarangan. Citra yang sengaja dilekatkan dengan cara seperti itu mengingatkan kita pada pola yang sama terkait sosok yang mengaku lulusan Vatican, dosen, mantan pejabat, mantan biarawati atau bahkan merupakan keturunan suci tertentu. Itu semua mereka maknai sebagai intro atau pembuka. Itu sekaligus sebagai sebuah kebiasaan para pragmatis ingin memulai pekerjaannya. Menghalalkan segala cara demi target tertentu mereka pakai. Dalam cara ingin mencapai tujuan, banyak org terjebak pada cara tak pantas.

Pragmatis cara kita telah membuat kita siap melakukan apapun asal tujuan kita tercapai, termasuk jika itu harus mempermalukan dirinya.Kalau kita kupas sosok Edy Mulyadi ini misalnya.Video reportase Edy Mulyadi dari KM 50 tol Jakarta-Cikampek, hanya dalam satu hari telah ditonton lebih dari 1 juta kali. Edy Mulyadi mengunjungi titik itu untuk mencari tahu apa yang sesungguhnya terjadi pada enam laskar efpei yang tewas Senin dinihari pada 7 Desember 2020. Dgn ditonton oleh 1 juta org dia merasa telah memiliki segmen pasar.Dia juga dapat menjadi Ustad. Aksi parade tauhid yang akan dilakukan pada tanggal 28 September 2019 dan kemudian diubah menjadi aksi mujahid 212 selamatkan NKRI, ternyata, Ketua Panitianya bernama Edy Mulyadi.

Entah bagaimana caranya, di depan namanya, tersemat gelar ustad.Dan luar biasanya, ternyata dia seorang caleg dari PKS. Itu tercatat dalam pemilihan legislatif April 2019. Dia adalah caleg PKS nomor urut 8 daerah pemilihan Jakarta III yang meliputi Jakarta Barat Jakarta Utara dan Kepulauan Seribu, dan hasilnya dia kalah. Tapi itu tdk mematikan ambisinya.Dia dapat pula menjadi Ketua GNPF Ulama. Tercatat sejak Juli 2019, Edy Mulyadi sudah menjadi Sekjen GNPF Ulama. Edy Mulyadi, ternyata dia juga salah seorang deklarator KAMI. Dia pernah berungkap bahwa deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang akan dilakukan pada 18 Agustus 2020 di Tugu Proklamasi, Jakarta disebutnya telah membuat pemerintah panik.

Jadi kemaren2 ini ketika dia membuat blunder menyebut Pulau Kalimantan tempat Jin buang anak, tempat Genderuwo, (ditimpali oleh rekannya) bhw hanya monyet yg pantas tinggal di sana dll adalah offside, justru krn sikap “over confidence”nya, kesombongan, yg justru menunjukkan sikap rasis dia & kelompoknya. Kalau boleh saran buat aparat kepolisian, orang2 spt ini digulung aja, karena kebebasan berbicara itu bukan berarti kita bisa bebas memprovokasi masyarakat, memfitnah, dan menyebarkan kebohongan ke masyarakat. Jika tidak, jenis2 orang spt ini akan terus berkembang biak di negeri ini, dan itu justru hanya menambah jumlah orang bodoh, padahal kita justru sedang berusaha bekerja keras memintarkan masyarakat.

Eddy boleh saja berkilah, mengatakan “Tempat Jin Buang Anak” itu adalah istilah utk menyebut tempat yg jauh, tidak bermaksud menghina. Kalau dia ngomong keq gitu ke saya, saya balik tanya ke dia, jauh itu darimana? Dari Jakarta, dari Papua? Atau Dari Sumatra. Kalau kamu nganggep tempat yg deket itu cm Jabodetabek – Banten – Jabar, berarti mainmu memang kurang jauh, bukan cuma otakmu. “Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’Jubata,” Makna salam ini merupakan filosofi masyarakat Dayak sebagai pedoman hidup sehari-hari yang diambil dari bahasa Dayak Kanayatn, yg artinya adil terhadap sesama manusia, Bacuramin Ka’Saruga artinya becermin/berpedoman/berpandangan hidup pada surga, dan Basengat Ka’ Jubata artinya selalu mengingat Tuhan sebagai pemberi kehidupan.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed