by

Dia Sudah Memegang Pemantiknya

Dari sudut-sudut ruang keseharian mereka mainkan hoaks harian, harga tempe, pete, bawang, nasi ayam, dan sejenisnya. Targetnya emosi emak-emak yg maaf kadang rasionalitasnya terpangkas hanya gegara harga cabe sedikit keatas. Kadar gerakan yg lebih tinggi adalah pidato-pidato sang sengkuni. Mengomentari ekonomi, kemiskinan, kepemimpinan Jokowi, sampai negara dibilang sakit. Dia yg demam kita yg dipaksa pakai selimut.

Serangan terencana dgn strategi yg nyaris prima, kasus oplas RS. Setelah kita amati dgn seksama, merinding bulu kuduk kita. Siapa saja yg bermain disana itu adalah great sandiwara yg alhamdulillah gagal ditengah. Andai tidak kita bisa perang saudara. Dan itu target mereka. 

Serangan kedua mereka mainkan di UGM, di kampus rumah Jokowi itu mereka mencoba membuat huru hara dgn cara yg terencana, sekali lagi kita masih dilindungi, Tuhan masih disini.

Bakar rumahnya, rampok isinya, kalau perlu bunuh penghuninya. Ini strategi perang. Ingat Ambon, kota toleransi beragama, tiba- tiba menyala, dan meninggalkan luka menganga. Siapa pelakunya, cam kan dan pikir sendiri, dari gerakannya sejak 1998 polanya selalu sama. Dan itu terus dilakukannya sampai tercapai tujuannya, dan terpuaskan nafsunya. Sayang yg dipertaruhkan nyawa, negara dan bangsa yg jumlahnya 256 juta, kalau tidak orang gila mana mungkin tega melakukannya.

Dan yg lebih gila kalau kita membiarkannya, serta ada yg memilihnya. Absurd tapi ada. Sekali lagi saya kutip ucapan Gusmus : Diatas orang pintar, ada yg lebih pintar. Diatas orang bodoh ada yg lebih bodoh. Jadi kl ada orang bodoh dipilih jd pemimpin, karena yg milih adalah orang yg lebih bodoh. Dan kalau ada orang gila terpilih jd pemimpin, karena ada orang yg lebih gila yg memilihnya. Apa kita mau ikut gila. Janganlah kita masih punya anak dan cucu yg harus dijaga kelangsungannya.

Pemantik yg disiapkan adalah sumber api, sekecil apapun apinya kobarannya akan cepat membara bila medianya disiapkan dgn seksama. Ada bensin yg disiramkan, ada titik api yg dipindahkan, sehingga bukan hanya kebakaran, yg pasti terjadi pemusnahan, ngeri!. Arang atau abu, sama-sama ujud sisa pembakaran, tidak lagi bisa di fungsikan seperti sediakala. Kita tidak mau jadi arang, apalagi jadi abu.

Bakar rumahnya, rampok isinya. Mendekati hari-hari yg dinanti persiapannya bukan target rumah lagi. Bisa bakar kampung, kota bahkan negara, karena kekuasaan yg lama menjadi incaran adalah tujuan yg tidak dapat di gantikan. 

Analogi bakar, dan api, tidak selalu dalam ujud sebenarnya. Bisa dalam gerakan yg memanaskan dan membuat saling curiga. Hoaks adalah pemantik baru yg disiramkan melalui medsos dan disebarkan titiknya kemana saja. Kita yg berkomitmen menjaga Indonesia harus terus mengamatinya, jangan ruangan kita dijadikan medan perang saudara. Jangan ditanya hati kepada mereka, karena dirinya saja mereka lupa, dia siapa dan ada dimana.

Seyogianya mereka tak pantas tinggal di Indonesia. Kawannya anti pancasila, dan mau mengganti ideologi. Ada jenderal tua yg berkoar bahwa PKI lebih berbahaya daripada HTI, dia lupa dua-duanya adalah partai dan ormas terlarang. Ya kita mahfum karena istilah jenderal sekarang sudah bertambah, Andi Arief mengatakan ada jenderal kardus, yg suka mengendus, kayak tikus rakus. Sumpah prajurit mereka sudah lupa, sapta marga mereka letakkan dikolong meja. 

Kita sudah masuk zona perang terbuka, jangan percaya kepada orang yg NYAMAR MA’RUF, NYAMBI MUNGKAR. KARENA HANYA SATU MA’RUF BERSAMA JOKOWI, DAN JELAS MEMBAWA KEMA’RUFAN, BUKAN MEMBUAT KEMUNGKARAN.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed