by

Di Indonesia, Tak Ada yang Pribumi!

Absurd yang terjadi, ketika label non-pribumi hanya bisa ditujukan pada kaum Timur, bukan kepada kaum Eropa. Interaksi antar-kaum etnis pun kemudian dibatasi oleh hukum “passenstelsel”. Politik adu domba (devide et impera) mulai dijalankan ketika peran para kapitan Cina perlahan disebut sebagai kaum pemeras dan penipu bagi penduduk lokal Batavia.

Masyarakat lokal mulai menyebut diri mereka sebagai pribumi yang berbeda dengan etnis non-pribumi. Ketika kebencian memuncak, etnis Tionghoa menjadi target tragedi pembantaian di Batavia (Chinezenmoord ) tahun 1740 dan merebak hingga selama tahun 1825-1830 ketika Perang Jawa terjadi.

Di tahun 1918, benih sentimen terhadap etnis Tionghoa semakin meluas ke ranah masyarakat Muslim Jawa. Peristiwa Kerusuhan Kudus terpicu oleh adanya ketersinggungan agama, sarat akan adanya persaingan antara pedagang batik dan rokok kretek Arab dengan pengusaha Tionghoa. Massa bergerak atas propaganda dan seruan agama, menyerang kawasan pecinan dan para pedagang Tionghoa.

Satu per satu perseteruan atas nama etnis terus bermunculan hingga di masa paska kemerdekaan, seperti di kota Kebumen, Tangerang, Bagansiapiapi, Medan, Cirebon, dan terus menjalar di beberapa kota di Jawa hingga peristiwa Tanjung Priok (1984), Surabaya (1986), Pekalongan (1989), dan tragedi Mei 1998 di Jakarta.

Penyebutan diri sebagai pribumi dan kelompok etnis lain sebagai non-pribumi mungkin telah menjadi memori kolektif bangsa Indonesia. Filsuf dan sosiolog Prancis, Emile Durkheim, menyatakan bahwa di dalam sebuah struktur masyarakat tradisional terdapat adanya usaha pelestarian kepercayaan, nilai, dan norma yang berjalan secara turun temurun sebagai kenangan bersama atau collective memory.

Lebih lanjut, Maurice Halbwachs, murid Durkheim, meneruskan pandangan tersebut dengan menyatakan bahwa pola pikir dan pandangan individual terkonstruksi dari struktur sosial dan konteks masyarakat. Adanya collective memory sangat bergantung dari keberadaan kelompok yang memelihara suatu konsep, dan peran individual-lah yang akan meneruskannya.

Pelabelan pribumi dan non-pribumi oleh bangsa Belanda mewariskan akar kebencian sebagai salah satu warisan sejarah kolonialisme di Indonesia. Kebencian terhadap Tionghoa menjadi salah satu collective memory yang masih diteruskan secara turun-temurun. Saat ini, bangsa Indonesia masih menyebut diri sebagai pribumi, di kala mereka tak lagi hidup di zaman kompeni. Bahkan, pada akhir abad ke-19, istilah pribumi oleh Belanda telah beralih menjadi Indonesiers atau orang Indonesia.

Masih banyak orang Indonesia yang melalaikan fakta bahwa Indonesia sudah menjadi bagian dari ASEAN selama hampir 50 tahun, sebuah masa emas ketika kawasan Asia Tenggara tidak lagi mengalami penindasan dan penjajahan bangsa Barat. Indonesia bukan lagi Hindia Belanda, di mana kelas dan penggolongan etnis menjadi salah satu syarat untuk mendapat peluang hidup dan pekerjaan tertentu.

Tidak ada yang pribumi di Indonesia. Sebagai negara yang berdaulat, Indonesia hanya mengenal istilah warga negara dan non-warga negara, dibuktikan dengan keberadaan dokumen akta kelahiran hingga KTP dan paspor. Bukan lagi dengan pembedaan kelas sosial antara pribumi atau non-pribumi. Di bawah UUD 1945, semua Warga Negara Indonesia memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk hidup di Indonesia.

Maka, sebagai negara kepulauan terbesar yang diapit oleh dua benua dan dua samudera, ratusan suku dan budaya yang tersebar di antara belasan ribu pulau melalui masa ratusan tahun interaksi sejarah dengan bangsa-bangsa lain melalui perdagangan maritim, siapa yang paling bisa menyebut diri sebagai asli Indonesia? Siapakah yang pribumi? **

Sumber :geotimes

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed