Oleh : Mamang Haerudin
Namanya Abdusy Syakur Yasin. Namun lebih dikenal hanya dengan nama KH. Syakur Yasin, oleh santri dan jamaahnya disapa Buya Syakur. Tidak seperti Buya Hamka atau Buya Syafii disapa Buya dengan latar belakang Muhammadiyah. Buya Syakur justru merupakan santri, alumni Pesantren Raudlatut Tholibin, Babakan, Ciwaringin (Pesantren di mana saya juga belajar), kulturnya malah Nahdlatul Ulama. Saya mengenal Buya Syakur sejak 2003 atau 2004, sejak saat itu saya sering mendengar kajian Buya Syakur melalui radio. Sis FM namanya.
Jauh sebelum Buya Syakur merambah ke YouTube dan viral seperti sekarang. Oleh karena itu, saya sempat takjub, kok dakwah Buya Syakur bisa viral? Bukannya Buya Syakur sering dicap liberal, sesat dan ngaco? Sudah lama saya meyakini jika suatu saat pasti akan ada bom waktu. Waktu di mana dakwah “liberal” dan “sesat” Buya Syakur terendus. Benar saja, kali ini momennya, yakni saat Buya Syakur diundang untuk menjadi narasumber di Mabes Polri dengan kajian moderasi beragama.
Sesuai dengan gambar yang viral di medsos (terutama di grup-grup WA) di mana di dalamnya terdapat kurang lebih 14 poin kesesatan dan liberalisme pemikiran Buya Syakur. Hanya saja memang, saya juga sedikitnya menyadari bahwa Buya Syakur ini penceramah yang punya kemampuan public speaking yang bagus. Terkecuali manakala audiens atau jamaahnya dari daerah Sunda. Selain itu, Buya Syakur memang punya kemampuan meracik bahasa sulit tasawuf menjadi bahasa-bahasa yang berisikan motivasi spiritual yang memang sangat dibutuhkan oleh jamaah awam di Desa-desa maupun kalangan Muslim perkotaan yang sibuk dengan pekerjaan.
Bahkan di rumahnya, Buya Syakur juga menerima tamu dari berbagai kalangan. Jauh sebelum viral di YouTube, Buya Syakur lebih sering menerima tamu awam dengan keperluan: anaknya yang sedang bekerja di luar negeri, dagangan supaya laris, orang sakit, orang yang diguna-guna dan serupanya. Lalu kenapa dakwah Buya Syakur dianggap liberal dan sesat? Karena begitu adanya. Buya Syakur malah kerap kali menyederhanakan bahasa Al-Qur’an dengan bahasa-bahasa khas Dermayuan (Bahasa khas dialek Indramayu). Bagi yang tidak kenal dan dekat Buya Syakur, potensi menyalahpahami kajian Buya Syakur sangat rentan sekali. Maka ketika sekelas Prof. Dr. M Quraish Shihab, Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, dll juga disesat dan diliberalkan, maka saya justru meyakini jika Buya Syakur justru jauh lebih “liberal” dan “sesat.” Wallaahu a’lam Mamang M Haerudin (Aa)
Comment