by

Bung Karno, Islam Dan Politik Internasional

Syaikul Azhar Mahmoud Shaltut menyematkan gelar kehormatan akademis itu di gedung pertemuan Universitas Al Azhar pada tanggal 24 April 1960, pukul 12.00 waktu setempat, seperti terekam dalam buku “Jauh di Mata Dekat di Hati: Potret Hubungan Indonesia-Mesir”.
 
Langkah terakhir Bung Karno untuk mempersatukan negara- negara Islam dilakukan dengan cara menyelenggarakan Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA), Maret 1965, setelah sukses membentuk front Conference of New Emerging Force (Conefo). KH. Achmad Sjaichu, pengurus PBNU yang juga putra tiri KH. A. Wahab Chasbullah, ditunjuk sebagai sekretaris jenderal KIAA.
 
Melalui konferensi ini lahirlah Organisasi Islam Asia-Afrika (OIAA). KH. Achmad Sjaichu dalam konferensi Islam Asia-Afrika dipercaya menjadi Sekretaris Jenderal. Demikian pula ketika KIAA membentuk OIAA, dia dipilih sebagai Presiden Dewan Pusat OIAA dan dikukuhkan oleh Presiden Soekarno.
 
CERDAS MEMANFAATKAN UMPAN
 
Saya tidak tahu apakah langkah Bung Karno menasionalisasi sekitar 700 perusahaan milik Belanda pada tahun 1957 itu secara fiqh bisa dikategorikan sebagai fai’? Kebijakan nasionalisasi ini muncul sebagai akibat dari ‘buntunya’ perjuangan mengembalikan Irian Barat dari tangan Belanda ke pangkuan Republik Indonesia (RI) melalui jalur diplomasi, pasca perjanjian konferensi meja bundar  (KMB) 1949.
Pemerintahan Bung Karno memutuskan untuk  menghadapi Belanda dengan cara frontal, yakni  membatalkan perjanjian KMB secara sepihak dan melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan Belanda. Secara politis ini adalah terobosan cerdas untuk menggertak  Belanda, sedangkan secara fiqh mungkin inilah yang bisa disebut sebagai Fai’, yaitu harta yang dihasilkan oleh umat Islam dari harta orang kafir tanpa peperangan, atau menunggang kuda atau kendaraan (al-mal al-hasil lil muslimina min amwal al-kuffar bighairi qitalin waa ijafi khailin wa la rikabin). Dalam konteks nasionalisasi ini, wallahu A’lam, butuh tinjauan mendalam mengenai tindakan ini dalam kacamata fiqh, sekaligus mencermati illat-nya.
 
Dalam politik internasional lainnya, Bung Karno pandai memanfaatkan umpan. Dalam hal ini kasus Allen Pope menjadi contoh taktisnya. Dalam kajian fiqh, terdapat istilah rahain (sandera) dan muqatil (kombatan). Sandera adalah seseorang yang ditahan dan diancam akan dilukai karena ada tuntutan kepada pihak ketiga tidak dalam keadaan perang. Sedangkan dalam kondisi peperangan, kombatan yang tertangkap dan menjadi tawanan perang dalam kajian fiqh disebut al-asir. Salah satu tawanan perang ini, dalam konflik antara pemerintah pusat dengan pemberontak PRRI/Permesta, adalah Allen Pope, agen CIA yang ditugaskan menjadi pilot pesawat PRRI. Ini salah satu pemberontakan terberat karena Permesta didukung pesawat tempur, senjata anti pesawat, dan senjata anti tank. Semua dipasok oleh AS. Ketika pesawat yang dikendarai Pope jatuh tertembak, pilot ini langsung ditahan dan diadili di Jakarta. Dalam kajian fiqh, status Pope adalah tawanan perang, bukan sandera. Dan karena itu tidak heran jika kemudian Pope dijadikan alat tukar menukar (tabadul) antara Indonesia dengan AS di era kepemimpinan John F. Kennedy.
 
Pope, agen CIA ini, pada 1959 ditukar dengan senjata untuk beberapa batalion dan 6 pesawat Hercules yang saat itu baru beberapa tahun diluncurkan. Jadilah AURI sebagai militer di luar AS yang punya Hercules. Bung Karno memang sengaja menunda pertukaran manusia dengan pesawat ini semata mata demi persiapan Indonesia merebut Irian Barat. Setelah sukses menjaring hasil dari AS menggunakan umpan Pope, Bung Karno ganti melobi Uni Soviet. Nikita Khruschev dilobi untuk membantu Indonesia melengkapi armada laut menjelang operasi perebutan Irian Barat. Krhuschev menyanggupi. Sebagian alutsista beli, sebagian barter, sebagian lagi hibah. Tak heran jika saat itu Indonesia punya alutsista paling top. Di udara, kekuatan AURI dilengkapi pesawat Antonov, MiG, Tupolev, Heli MI4 dan MI6, sedangkan ALRI juga didukung alutsita bikinan Uni Soviet dari kapal perang jumbo, kapal selam hingga korvet paling canggih di zamannya.
 
Menjelang Operasi Mandala merebut Irian Barat, Bung Karno terlebih dulu meminta pendapat Rais Aam Syuriah PBNU, KH. A. Wahab Chasbullah, yang juga ayah Menteri Agama KH. Wahib Wahab.
 
Setelah beberapa kali diadakan perundingan untuk menyelesaikan Irian Barat dan selalu gagal, Bung Karno menghubungi Kiai Wahab di Tambakberas, Jombang, Jawa Timur.
 
Bung Karno memanyakan bagaimana hukum orang-orang Belanda yang masih bercokol di Irian Barat?
 
Kiai Wahab menjawab tegas, ”Hukumnya sama dengan orang yang ghasab.”
 
“Apa artinya ghasab, kiai?” Tanya Bung Karno
 
“Ghasab itu istihqaqu maalil ghair bighairi idznihi. Artinya, menguasai hak milik orang lain tanpa izin,” terang Kiai Wahab.
 
“Lalu bagaimana solusi menghadapi orang yang ghasab?”
 
“Adakan perdamaian,” tutur  Kiai Wahab.
 
Lalu Bung Karno bertanya lagi, ”Menurut insting Kiai, apakah jika diadakan perundingan damai akan berhasil?”
 
“Tidak.”
 
“Lalu, mengapai kita tidak potong kompas saja Kiai?” Bung Karno sedikit memancing.
 
“Tak boleh potong kompas dalam syariah,” kata Kiai Wahab.
 
Selanjutnya Bung Karno mengutus Soebandrio mengadakan perundingan yang terakhir kali dengan Belanda untuk menyelesaikan konflik Irian Barat.
 
Perundingan ini akhirnya gagal. Kegagalan ini disampaikan Bung Karno kepada Kiai Wahab.”Kiai, apa solui selanjutny menyelesaikan Irian Barat?”
 
“Akhodzahu qohron (ambil dengan paksa!).” Kiai Wahab menjawab dengan tegas.
 
“Apa rujukan Kiai memutuskan masalah ini?
 
“Saya mengambil literatur Kitab Fath al-Qarib dan syarahnya (al-Baijuri).”
 
Setelah itu, barulang Bung Karno membentuk barisan Trikora (Tiga Komando Rakyat).
 
Kisah yang dinukilkan dari buku Karya Intelektual Ra’is Akbar dan Ra’is Aam al-Marhumien Pengurus Besar Nahdlatul Ulama karya KH A Aziz Masyhuri ini menunjukkan antara lain kontekstualisasi kitab kuning yang oleh sebagaian kalangan justru dianggap sebelah mata. Dengan pijakan fiqh ini kemudian Operasi Perebutan Irian Barat dimulai.
 
Jika operasi militer dilakukan dengan Maklumat Trikora, sebelumnya Bung Karno juga melobi John F. Kennedy saat kunjungannya ke AS, agar delegasi Paman Sam tidak membantu Belanda di sidang PBB.
 
“Bukankah secara fisik orang orang Irian Barat itu sama sekali tidak mirip kalian?” protes John. F. Kennedy.
 
Bung Karno memanggil Johannes Leimena yang saat itu ikut rombongannya.
 
“Kau lihat, John, ini adalah Leimena, dia berasal dari Indonesia Timur. Secara fisik lebih mirip kami.”
 
Kennedy manggut manggut.
 
“Jika kau bilang fisik penduduk Papua Barat itu sama sekali tidak mirip dengan kami, lantas apakah kau akan bilang jika penduduk Papua berkulit putih, berhidung mancung, pipi kemerah merahan mirip orang orang Belanda?” tukas Bung Karno.
—-
Mencermati uraian di atas, langkah-langkah politik internasional yang dilakukan Bung Karno sebenarnya merupakan pengejawantahan Mukaddimah UUD 1945. Bung Karno membantu kemerdekaan negara negara di Asia Afrika dan memberikan inspirasi kepada para pemimpin negara muslim lainnya untuk tegak dan tidak terseret pada pusaran konflik antara Blok Barat Kapitalis dan Blok Timur Komunis.
 
Bung Karno memang pemimpin yang tidak sempurna, namun berbagai tindakannya dan kontribusinya pada dunia Islam, saya kira menjadi catatan istimewa dan amal jariyahnya di akherat. Untuk memerdekakan bangsanya, kita tahu dia banyak berkorban. Dan, untuk mempersatukan bangsanya dia puluhan kali nyaris terbunuh, baik disniper, digranat, dibom, hingga diberondong jet MiG di atas istana negara. Dia gandrung persatuan, namun karena mempertahankan kegandrungan yang dicitacitakan itu pula dia harus turun dari kursi kepresidenan.
 
Saya seorang santri, dan bangga menghaturkan al-Fatihah kepada ruh Bung Karno setiap selesai shalat. Ini adalah salah satu bentuk rasa syukur saya karena Allah telah memberikan anugerah terindah untuk bangsa Indonesia bernama Sukarno.
 
Sumber : Status Facebook Rijal Mumazziq

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed