by

Bhante Karma Nyalon NU Cabang Budhdha

Oleh: Supriyanto Martosuwito

Penyanyi Franky Sahilatua (alm) pernah membuat Nahdliyin cemburu karena kedekatannya dengan Gus Dur. Lebih cemburu lagi ketika Gus Dur berencana mengangkatnya untuk jadi pengurus, bahkan Ketua Cabang NU. Franky Sahilatua bukan muslim, Nyong Ambon di Surabaya, mau jadi NU Ketua di cabang dan ranting mana, Gus?

Nahdliyin bertanya, gusar. Gus Dur dengan tenang menjawab, “NU cabang Kristen!” katanya.Para petinggi NU yang mendengar kontan terkekeh. Itu humor khas Gus Dur. Konon setelah Franky meninggal jabatan Ketua NU cabang Kristen diserahkan kepada Butet Kartaredjasa.

Sedangkan Ketua PBNU penerusnya, Kyai Haji Said Aqil Siradj, mengulangi humor yang sama di depan Kapolri Jendral Sigit Prabowo ketika audensi di kantorNU , beberapa waktu lalu. “Beliau kita angkat sebagai Ketua NU Cabang Katolik, “ kata ‘Yai Said – panggilan warga NU padanya.

Jendral Sigit Prabowo yang Katolik senyum senyum saja saat duduk di sampingnya.NU terkenal dengan semboyannya “Hubbul Wathon Minal Iman” yang artinya “Cinta tanah air sebagian dari iman” – semboyan yang yang merekatkan NU dengan semua umat Islam bahkan juga non Islam. Mendukung ideologi Panca Sila dan menghadirkan rasa aman dan nyaman bagi umat lain. Nasionalisme dan NU dua hal yang tak terpisahkan.

Juga Pancasila. “Barang siapa yang mengaku NU tapi masih mempersoalkan Pancasila, mengutik utik Pancasila dan mau mendirikan negara Islam, keluar dari NU sekarang juga! NU gak butuh anggota kayak gitu, “ katanya keras dalam salahsatu pidatonya.

“NU sangat dibutuhkan bangsa ini. Tanpa NU, Indonesia bisa tercabik cabik, “ kata Bhante menjelang audensi ke kantor NU di Kramat Raya 146, Jakarta Pusat, Rabu (20/10) lalu.

Dibanding ormas Islam lain, NU memang lebih nyaman untuk dikunjungi para rohaniawan non muslim. “NU itu organisasi yang welas asih. Ketuanya juga welas asih, “ katanya. Welas Asih adalah ajaran inti Budha; ajaran yang sudah dikenal selama lima ribu tahun.

“Saya siap menjadi Ketua NU cabang Budha, “ sambut Bhante Karma, 56, dengan tawa lebar. “Pilar negara kita adalah Panca Sila. Lima Sila. Di Budhis kami punya 200-an Sila, “ jelas Bhante Karma, di viharanya di Penjaringan – Jakarta Utara.

Mereka yang akan menjadi biksu di vihara belajar meditasi dari kitab kitab suci Tripitaka. Kewajiban para ‘Samanera’, sebutan bagi ‘santri’ Budha itu, adalah mematuhi sila yang berjumlah puluhan. Sila adalah ajaran etik moral yang harus diikuti. “Kalau untuk jadi biksu ada 200-an sila,“ paparnya.

Selain pendidikan ‘resmi’ hingga lima tahun, Bhante Karma melanjutkan pendidikan keBudhaannya ke Tibet, pusat Budha di dunia saat ini. Meningkatkan pengetahuan dan mengasah spiritualnya. Hanya setahun di sana, dia kembali. Bukan lantaran kesulitan belajar dan mengikuti ajaran ajaran Budha yang membawanya pulang, melainkan cuaca.

“Di sana udara dingin sekali. Nggak kuat saya. Kalau lagi musim dingin sampai di bawah nol derajat, “ katanya. Bahkan meski mendapatkan selimut tebal, dingin tetap menusuk tulang. “Di Indonesia saja kena 18 derajat udah kedinginan, nah bagaimana nol?” tanyanya.

Setelah lima tahun pendidikan menjadi Bhante dan menempati rumah ibadah. Rumah ibadah yang belum ada bhantenya disebut ‘Che Tia’. Kalau sudah ada banthe disebut Vihara. Fisik besar kecil tidak menentukan – yang menentukan vihara atau bukan adalah keberadaan Bhante. Dalam obrolan yang asyik, siang itu, saya mengkonfirmasi lagi tentang bhante yang boleh makan daging dan bhante yang vegetarian.

“Ya, Bhante aliran Terawada makan berdasarkan pemberian umatnya . Jadi apa diberikan umat, itu yang mereka makan. Bhante tidak boleh pesan. Ada banthe yang makan daging, karena mereka harus makan yang disediakan oleh umat,“ ungkapnya. “Menurut aturannya, Bhante tidak boleh buang makanan,” jelasnya.

Sedangkan Bhante dari aliran Budha Mahayana tidak makan daging sama sekali. Tapi baik bhante aliran Mahayana maupun Terawada sama sama makannya hanya dua kali sehari.

Ajaran Budha dalam pemahaman Bhante Karma membolehkan umatnya memakan daging yang sudah mati, yang sudah tersedia. Tapi tidak boleh memesan binatang untuk dibunuh.

“Kalau umat pergi ke pasar, membeli ikan atau ayam yang sudah dipotong, itu boleh dibeli dan dimakan. Tapi kalau “Besok saya mau ada acara tolong pesan ayam 12 ekor, itu yang tidak boleh. Karena sudah ada niat untuk membunuh binatang, “ katanya.

Salah satu jemaah yang hadir dalam acara makan siang itu menyebut, “sebaik baiknya binatang mati adalah binatang yang mati dimakan manusia”.

Dalam hal itu Bhante Karma mengangguk, meski dia tidak makan daging.Menjelang pamit pulang, saya menyempatkan bertanya bagaimana rasanya makan dua kali sehari, tak ada makan malam?

“Pada awalnya ada penolakan dari tubuh ini. Tapi sekarang sudah biasa, “ katanya . “Alam bawah sadar akan menentang kebiasaan baru. Lama lama biasa,“ tambahnya.

Seperti dalam penampakannya, Bhante Karma nampak sehat dan berwajah cerah. Ramah dan selalu ceria. Dia masih boleh minum, meski tak boleh makan apa pun setelah siang hingga pagi berikutnya.

Duduk di taksi, menuju stasiun Jakarta Kota, menuju pulang, saya membayangkan malam malam tanpa mie rebus, pecel lele, ayam geprek, sate madura atau nasi goreng kambing. Akh, betapa sulitnya jadi Bhante.

(Sumber: Facebook Supriyanto M)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed