by

Bandarmology Politik Golkar vs Nasdem

Oleh: Josef H Wenas

Para praktisi di dunia saham, khususnya kawula “scalpers” dan “day traders”, mereka ini akrab sekali dengan istilah “market makers”, yang bahasa populernya adalah “bandar.” Karena itu lahir suatu ilmu praktis yang namanya “Bandarmology.”

Bandarmology ini gampangnya adalah suatu pendekatan intelijen yang diterapkan oleh scalpers atau day traders dalam jual-beli saham dengan mengikuti manuver para pemain besar (pemilik saham mayoritas/institusi) di pasar modal. Jadi, ke arah mana “market makers” lakukan jual-beli, ke arah itu jugalah para scalpers/day traders (sering disebut juga ritel) berdagang saham-saham mereka.

Dengan analogi ini saya ingin membahas perkembangan politik nasional kita menuju perhelatan besar pergantian kepemimpinan nasional Indonesia di tahun 2024, oleh karena manuver para “political market makers”-nya (para bandar politik) mulai terdeteksi saat ini.

Sejauh ini, hanya manuver Golkar dan Nasdem yang menurut saya memiliki bobot untuk diamati. Yaitu, manuver Airlangga-Golkar dibalik deklarasi Koalisi Indonesia Bersatu (12/5), yang kemudian disusul manuver Surya Paloh-Nasdem bertemu Presiden Jokowi di istana (24/5), bertemu Prabowo di kantor Nasdem (1/6), dan bertemu SBY di kantor Nasdem (5/6)

Perlu diingat kembali, bandarmology politik ini hidup dalam eko-sistem amanat konstitusional yang namanya UU 7/2017 tentang Pemilu, bahwa: “Calon peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik.” Jadi, hanya partai politik yang berhak memainkan bandarmology politik ini. Tidak ada pihak lain!

Bagi publik umumnya, yang menjadi “saham politik” utama para bandar politik ini tentu saja sosok-sosok capres-cawapres, oleh karena suatu kemenangan politik secara nasional di mata mereka diukur dari kemenangan di Pilpres, bukan di Pileg— sekaligus hal ini adalah salah kaprah yang juga akan saya soroti pada analisis kali ini.

Dan menurut pengamatan saya, Partai Golkar adalah contoh best practice bandar politik (political market maker) sejati, karena sudah terbukti. Sedangkan Nasdem, yang didirikan 11 November 2011, dan baru mengikuti dua kali Pemilu, bandarmology politiknya belum terbukti.

****

Mari kita mulai dengan fakta-fakta. Ada tiga fakta terkait manuver Golkar yang tidak bisa dibantah:

Pertama, konsisten di posisi tiga besar. Reformasi 1998 tidak menghapus Golkar dari panggung politik nasional. Golkar yang nota bene wajah Orde Baru itu sendiri sebagai pilar utama politik kekuasaan Soeharto (sebelum Reformasi, PNS dan ABRI wajib pilih Golkar), justru mampu konsisten berada di posisi tiga besar peraih suara terbanyak di parlemen dalam lima kali Pemilu di era Reformasi (1999, 2004, 2009, 2014 dan 2019). Dalam Pemilu 2004, Golkar malahan menjadi pemenang dan meraih kursi terbanyak di parlemen.

Kedua, kader jadi wapres. Dalam lima kali Pemilu di era Reformasi, faktanya Golkar juga mampu menempatkan kadernya sebagai Wakil Presiden RI sebanyak dua kali, dalam dua periode kepresidenan yang berbeda. Di 2004-2009 bersama SBY, dan 2014-2019 bersama Jokowi. Kadernya sama: Jusuf Kalla.

Ketiga, posisi Ketua DPR-RI dijabat tiga kali. Menurut saya ini justru faktor terpenting yang diabaikan orang banyak. Golkar itu mampu menempatkan kadernya sebagai Ketua DPR-RI sebanyak tiga periode dari lima periode pemerintahan di era Reformasi sejak Pemilu 1999. Periode 1999-2004, dipegang oleh Akbar Tanjung; Periode 2004-2009, dipegang oleh Agung Laksono; Untuk 2014-2019, bergantian antara Setya Novanto, Ade Komarudin dan Bambang Soesatyo.

Para pengamat umumnya meyakini bahwa prestasi Golkar ini terkait dengan infrastruktur politiknya yang sudah terbangun solid selama 58 tahun sejak 20 Oktober 1964. Selain itu, juga karena kelihaian mereka bermain dalam “coattail effect.” Saya sepakat dengan mereka.

Tetapi ada satu hal yang luput dari pengamatan mereka. Dan inilah yang dimaksud dengan bandarmology politik disini.

****

Dalil-dalil bandarmology politiknya perlu dijelaskan lebih dulu, begini:

Pertama. Tidaklah cukup suatu kepemilikan “saham politik,” atau juga disebut sebagai modal politik, yang signifikan tanpa adanya kemampuan menggalang koalisi politik secara nasional. Sebaliknya, kemampuan menggalang koalisi politik nasional juga tidak mungkin dilakukan tanpa memiliki modal politik yang signifikan. Keduanya satu tarikan nafas.

Kata kunci “kemampuan menggalang koalisi politik secara nasional” ini perlu ditulis dengan huruf kapital dan tinta tebal, lalu digarisbawahi tinta merah, serta di-stabilo kuning. Dan dingat-ingat sampai Anda mati. Ini akan saya bahas selanjutnya.

Kedua. Seorang kader partai, baik di posisi tertinggi sebagai Ketum maupun kader biasa, yang memiliki elektabilitas tinggi bukanlah bandar politik (political market maker) apabila yang bersangkutan resmi menyatakan diri sebagai capres. Yang menentukan itu modal politik “Presidential Threshold” (yaitu 20% kursi DPR-RI atau 25% suara nasional) yang mandatnya ada di partai-partai. Itu amanat konstitusional, tidak bisa ditawar-tawar.

Maka dari mandat konstitusional ini, PDIP adalah satu-satunya partai yang bisa mencalonkan presiden sendirian sebab punya ≥ 20% kursi di DPR-RI, tentu sesuai mekanisme internal mereka. Dari sisi elektabilitas kader, PDIP juga punya sosok dengan rating tertinggi. Survei SMRC terakhir (9/6) menunjukkan elektabilitas Ganjar Pranowo 30,3%, Prabowo Subianto 27,3%, dan Anies Baswedan 22,6%. Anies bisa diabaikan dulu, karena bukan kader partai, maka dia jelas menjadi obyek bandarmology politik.

Tetapi, “kemampuan menggalang koalisi politik secara nasional,” tetaplah niscaya. Begini… bila elektabilitas angka 51% adalah batas aman “elected”-nya (definifif terpilih), maka itu artinya Ganjar Pranowo masih perlu dukungan 20% suara lagi; Prabowo Subianto masih perlu 23.7% suara lagi.

Terang benderang terlihat disini, bahkan PDIP pun yang secara konstitusional bisa jalan sendirian, bila mereka ternyata mencalonkan Ganjar Pranowo yang saat ini memiliki elektabilitas capres tertinggi, tetaplah membutuhkan bandarmology politik untuk bisa menjadikan kadernya presiden. Apalagi Prabowo Subianto yang elektabilitasnya lebih rendah, dan Gerindra juga tidak memenuhi syarat “Presidential Threshold” karena cuma punya 13,57% kursi DPR-RI dan 12,57% suara nasional.

Artinya, PDIP, apalagi Gerindra, tetap perlu melakukan penggalangan koalisi politik secara nasional apabila impian calon-calon presiden mereka mau terwujud.

Dan kekurangan dukungan suara inilah kenyataan politik yang menjadi peluang bagi bandarmology politik yang dimainkan oleh Golkar dan Nasdem saat ini, oleh karena mereka justru tidak akan mencalonkan kadernya sebagai presiden— lain dengan posisi wakil presiden yang hanyalah “rider” (produk ikutan) yang dapat mendorong “coattail effect.” Kekuasaan politik itu ada di presiden, bukan wakil presiden.

Kita ambil contoh manuver bandarmology Golkar pada periode pemerintahan 2014-2019, yang juga telah menginspirasi Nasdem saat ini.

****

Tahun 2014 adalah turning point PDIP kembali ke panggung kekuasaan nasional setelah sepanjang 2004-2014 merupakan era SBY-Demokrat. Di pemerintahan, kader mereka Joko Widodo berhasil jadi Presiden RI, dan di parlemen mereka juga menguasai 109 kursi dari 560 kursi DPR-RI yang diperebutkan. Golkar sendiri hanya di posisi kedua dengan 91 kursi.

Akan tetapi, fakta bagi-bagi kekuasaan nasional yang terjadi di pada periode 2014-2019 itu tidak seindah statistiknya. Yang jadi Ketua DPR-RI nya bukan PDIP sang pemenang Pemilu, tetapi Golkar (bergantian antara Setya Novanto, Ade Komarudin dan terakhir Bambang Soesatyo).

PDIP hanya kebagian posisi Wakil Ketua DPR-RI (Utut Adianto). Jatah kursi Wakil Ketua DPR-RI sisanya dibagi-bagi diantara partai-partai ini: Fadli Zon (Gerindra), Agus Hermanto (PD), Taufik Kurniawan (PAN) dan Fahri Hamzah (PKS)

Di level MPR, ketuanya juga bukan kader PDIP, tapi PAN, yaitu Zulkifli Hasan. PDIP hanya sebagai Wakil Ketua (Ahmad Basarah), bersama-sama dengan unsur DPD-RI (Mahyudin), PD (E.E. Mangindaan), PKS (Hidayat Nur Wahid), Hanura (Oesman Sapta Odang), Gerindra (Ahmad Muzani), dan PKB (Muhaimin Iskandar)

Komposisi di parlemen ini bukan yang diharapkan PDIP sebagai pemenang Pemilu. Terlihat disini adalah kemampuan Golkar menggalang koalisi politik nasional meyakinkan para pemilik kursi signifikan lainnya (Gerindra, PD, PAN dan PKS) untuk melakukan power sharing bersama menurut cetak biru Golkar. Bukan menurut PDIP.

Padahal kita masih ingat, Setya Novanto itu diterpa kasus-kasus, dari soal etik di Amerika Serikat sampai soal pidana korupsi. Dia diganti sementara oleh Ade Komarudin, lalu kembali jadi Ketua DPR-RI, sebelum akhirnya dilengserkan untuk selamanya, setelah KPK mengirimnya ke penjara Sukamiskin. Toh pengganti definitif Ketua DPR-RI tetap orang Golkar, Bambang Soesatyo.

PDIP sebagai pemilik kursi terbanyak di parlemen tidak mampu mengendalikan DPR-RI periode 2014-2019. Itu faktanya.

****

Dengan mengendalikan parlemen, maka Golkar dan koalisi politiknya di DPR-RI kemudian bisa menekan eksekutif. Presiden Jokowi yang awalnya idealis dan murni ingin “kabinet kerja” yang dipenuhi orang-orang profesional, akhirnya sadar dan menyerah setelah begitu banyaknya kebijakan pemerintahannya digantung oleh para politisi di DPR-RI.

Maka satu per satu orang politik yang tadinya tidak mendukung capres Jokowi pun masuk ke Kabinet Kerja 2014-2019 mendukung Presiden Jokowi. Perhatikan, koalisi politik pada tahap pra-Pilpres bisa sangat berbeda dengan koalisi politik di tahap post-Pilpres. Itu fakta lainnya.

JK dan LBP, keduanya orang Golkar, boleh dikecualikan oleh karena sudah bersama-sama Jokowi sejak tahap pencalonan. Namun, bagi saya, ini tetap suatu strategi dua kaki dari Golkar yang “tidak kemana-mana tapi ada dimana-mana” sejauh partai mereka bisa menjadi bagian dari kekuasaan.

Diluar dua kader Golkar itu, masuklah Airlangga Hartanto sebagai Menteri Perindustrian di bulan Juli 2016. Lalu Agus G. Kartasasmita jadi Menteri Sosial di bulan Agustus 2018. Memang PPP dan PAN yang juga bukan koalisi capres Jokowi, lompat lebih dahulu ke Kabinet Kerja-nya Presiden Jokowi, tetapi hal itu karena Jokowi perlu memecah koalisi politik di parlemen yang diinisiasikan oleh Golkar.

Sebaliknya, justru keinginan Jokowi untuk memecah koalisi politik di parlemen itu adalah hal yang ditunggu oleh Golkar untuk menjadi titik masuk mereka ke domain eksekutif. Dan menjadikan mereka salah satu pemegang “saham Jokowi” sampai hari ini. Bahkan pada periode Kabinet Indonesia Maju 2019-2024, dua kader Golkar duduk di posisi Menko (LBP dan Airlangga Hartarto) serta dua kader lagi di posisi menteri departemen (Agus G. Kartasasmita dan Zainudin Amali). Total ada empat kader!

Bukan hanya di periode pemerintahan 2014-2019. Dalam keseluruhan lima periode pemerintahan sejak Aburrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, SBY, sampai Jokowi sekarang ini, Golkar telah membuktikan selalu menjadi bagian dari kekuasaan, baik di legislatif maupun di ekskekutif.

Dan pola manuver bandarmology politiknya sama: Galang koalisi politik nasional di legislatif, kemudian pengaruhi (baca: menekan) eksekutif.

Votes are given by the people to the political party, but without political capacity to manage related stakeholders they profit nothing. Belum ada partai lain dalam pengamatan saya yang terbukti punya kemampuan menggalang koalisi politik di level nasional seperti Golkar. Nasdem is yet to prove it.

Dan siapa bilang menang Pilpres adalah segalanya?

(Sumber: Facebook Josef H Wenas)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed