by

Artificial Intelligence

Oleh : Sunardian Wirodono

Namanya juga artificial, nggak pure. Jadi kalaupun ditambahkan intelligence di belakangnya, kualitasnya kawe, alias jejadian, alias tidak semurninya. Pinter yang tidak sebenarnya pinter.

Berbagai platform medsos yang menggunakan admin AI, menunjukkan betapa palsunya kepandaiannya itu. Tak sedahsyat sebutannya. Bukan hanya soal tidak peka, tetapi bener-bener hanya mengerti teks dan tak pernah memahami konteks.

Ketika medsos seperti fesbuk, IG, tuiter, atau youtbe dan lain-lain, memproteksi untuk teks ataupun gambar citraan tertentu, ia kayak banteng Spanyol. Akan asal nyeruduk jika ngeliat warna merah. Untuk membangun sistem pengamanan, ia bisa melakukan permintaan berulang-ulang untuk hal yang sama. Dengan pertanyaan yang sama dan jawaban yang sama. Tak boleh lebih tak boleh kurang. Di situ makna presisi menjadi beda dengan yang dulu kita mengerti.

Ketika seorang komikus mengatakan tidak ada niatan menghina, ketika memposting meme isteri presiden, AI medsos tidak peduli. Yang peduli pasti manusia, yang oleh Dale Carnegie dikatakan “ketika berhadapan dengan orang, kita tidak berhadapan dengan makhluk logika, melainkan makhluk emosi.” Dan ketika ada yang mendaku seniman, yang bekerja di ruang publik dengan sistem komunikasi, alangkah menyedihkan alasan yang disampaikan. Bahwa dia tak punya niat buruk. Dia sendiri mempraktikkan dan membuktikan, bukan makhluk logika, tapi makhluk emosi.

Kadang saya tergoda, pengen membuka kursus online atau zoom meeting, ngajari orang bagaimana cara menghina orang tanpa terjerat UU-ITE. Atau tanpa harus jadi buronan dan sapi perah aparat hukum. Tapi alangkah kacaunya nanti, karena meski disebut bangsa yang ramah, selera humor itu berkait degan tingkat literasi. Dan kalau ngomongin literasi, mesti bersabar bila-bila masa ada yang dapet Nobel Sastra.

Sayangnya para kreator platform medsos kebanyakan lahir dari kamar gelap. Tak peduli. Dan dia menganggap salahmu sendiri jika kamu tidak memenuhi syarat. Karena dunia mesin, gaya-hidup algoritmania, memang hanya cocok di mana masyarakat itu sama dan sebangun. Sama pinternya, sama kayanya, sama mimpinya, sama egonya, sama gemblungnya, sama referensinya. Lha kalau masyarakat yang hanya beda pilihan presidennya terus jadi dungu? Jadinya kayak Roky Gerung dan Reffly Harun itu. Pinternya dipek sendiri. Bodonya juga.

Mungkinkah kita balik ke jaman batu? Di mana pikiran orang dikendalikan satu orang? Kalau tak sama kepala dipecah pakai batu? Lihat di facebook dan twitter, ujaran kebencian, hoax dan fitnah merajalela. Dan kita tak bisa apa-apa, padahal negeri ini susah payah melahirkan Sukarno dengan Pancasilanya yang keren. Dewan Pers? Dia hanya akan ngomong berulang-ulang, “berita bukan opini, opini bukan berita”.

Senyampang itu, para kreator platform medsos lebih didominasi ahli-ahli teknologi informatika. Tidak ada yang lulusan sosiologi atau filsafat. Di Indonesia saja, calon filsuf tapi drop-outan Driyarkara malah jadi pengamat politik. Kalau pun ada kaitan dengan filsafat, jadinya filsafat kebencian, atau kalimat sopannya filsafat kepentingan. Kepentingan pribadi pula.

Jadi ketika medsos merajalela, dan negara tak bisa berbuat apa-apa, jangan mengeluh kalau situasi amburadul. Jokowi dan keluarga, mungkin tak apa-apa dihina-dina orang. Bisa menerima dan sabar. Tapi gimana kalau tipikal penguasa kelak nggak seperti keluarga Jokowi? Dan UU-KUHP yang baru tak akan bicara soal hukum acara pidana, di mana yang dirugikan harus melaporkan. UU itu akan menyatakan, mereka yang menghina simbol-simbol negara, atau petinggi negara, sekelas Presiden dan isteri presiden, bisa langsung diciduk? Tanpa harus menungu ada atau tidaknya laporan dari yang dihina?

Untuk tulisan ini, saya tetap memakai illustrasi gambar yang kemarin saya pakai (cuma saya balik posisinya). Anak lelaki kecil menyangking sabak, sekotak kecil papan tulis. Dilihat oleh seorang ibu yang sedang membatik tulis. Bayangkan sabak segede itu, hanya hanya bisa menulis beberapa huruf atau kata. Dan harus dihapus jika hendak menuliskan yang baru.

Sementara si Ibu yang duduk melihat anak kecil itu, telah menulis batik berlembar-lembar. Sebuah tulisan yang remit, rumit. Bukan sekedar huruf atau teks, melainkan simbol-simbol yang melahirkan konteks. Aja dibanding-bandingke?

Itu sebabnya, Ibu Iriana bisa menasihati anaknya, untuk bersabar dan tidak menambah masalah. Seorang ibu yang bijak. Sebagaimana ia juga di luar mainstream, seperti suaminya. Menjadi ibu pejabat yang tak suka bergossip. Tak suka ikut reriungan arisan berlian, sebagaimana ibuk-ibuk pejabat pada umumnya.

Ketika Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta, Iriana lebih banyak duduk berdua dengan Nyonya Ahok waktu itu, sebagai isteri Wagub DKI Jakarta. Mereka selalu menjauh dari rubung-rubung buk-ibuk sosialitas. Di situ ia tampak selalu lebih mulia dari yang berniat dan tidak berniat menghinanya.

Bahkan barang-barang pribadi miliknya, yang ditaruh di Istana Kepresidenan, sudah diangkuti ke Solo, meski suaminya baru akan selesai tugas pada Oktober 2024. Sementara orang-orang menduga cem-macem, Jokowi pengen dipilih tiga periode. Mengundurkan jadwal Pilpres. Atau diisukan akan ambil alih PDI Perjuangan. Analisis model AI, dengan latar belakang setara para Soehartois.

Sebagai rakyat jelantah, saya lebih percaya omongan Jokowi. Selesai tugas, akan kembali ke Solo. Jadi rakyat jelantah lagi. Ngurusi perusahaan meubelnya lagi. Biasa saja. Itu bedanya dengan AI, yang cara mikirnya telah diprogram. Dipenuhi kata-kunci, tetapi kehilangan nurani sebagai kekayaan manusia. |

Sumber : Status Facebook Sunardian Wirodono III

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed