by

Antara Karyawan Rasis dan Kambing

 

“Gini. Gue tahu dia benci banget sama Cina. Kalau dia punya kekuasaan mungkin gue akan diganyang. Keluarga gue dihabisin. Terus apa alasannya gue masih pertahankan dia di kantor. Itu sama aja ngasih makan anak singa yang nanti bakalan melahap gue idup-idup.”

Rupanya teman saya ini benar-benar resah. Dia tidak menanggapi ledekan saya. “Kalau gue pecat dia, apakah gue salah?,” tanyanya lagi.

“Tanpa ada sebab apa-apa lu langsung pecat?”

“Gaklah. Bilang aja ada pengurangan karyawan. Gue minta dia mundur. Gue siapkan pesangon, sesuai aturan.”

Aku diam saja. Membayangkan berapa banyak kondisi seperti yang dialami teman saya itu. Ada orang yang pandangan hidupnya rasis, tetapi mencari penghidupan justru bergantung kepada etnis yang dibencinya.

Ini sama saja dengan PNS atau keryawan BUMN yang setiap hari kerjanya memaki-maki pemerintah. Mulutnya mencaci, tetapi berharap terus disuapi oleh kekuasaan. Hatinya membenci, tapi pembagian bonus paling getol. Dari sisi kebebasan berpendapat memang gak masalah, tetapi secara moral dan etika ya, gak banget.

Itulah yang dilakukan seorang manajer di Indosat. Dia pendukung Rizieq tulen. Dia membenci Jokowi dan pemerintahan. Baginya ini adalah rezim paling jahat di seantero jagad raya. Tapi dia bekerja di BUMN, yang sebagian sahamnya milik negara. Negara yang kini direpresentasikan kehadirannya oleh simbol seorang presiden. Namanya Jokowi, sosok yang dibencinya itu.

Bukan hanya itu. Banyak PNS yang kini memiliki pandangan anti Pancasila. Mereka mendukung khilafah. Mereka membenci Indonesia karena dianggap tidak sesuai syariah. Tapi mereka mencari makan di lembaga negara. Bahkan getol juga memanfaatkan kedudukannya buat nyolong.

Bahkan di Batam, ada PNS yang jelas-jelas mendukung ISIS dan hendak berangkat jihad ke Syuriah. Apa gak, rusak bangsa ini? Seperti memberi penghidupan pada virus yang akan menyerang tuannya sendiri.

Kini tidak sedikit PNS yang lebih berafiliasi pada parpol ketimbang loyal pada negara. Apalagi parpolnya jago dalam soal mengemas isu agama. Selama dua periode jaman SBY misalnya, PKS menempatkan banyak orang di departemen-departeman yang pernah dikuasainya.

Yang paling memuakkan, mesjid-mesjid di Kementrian, lembaga negara atau BUMN justru menjadi ajang tumbuhnya pemahaman agama radikal. Paham Wahabi disuntikan ke kepala para PNS yang pada akhirnya mereka membenci negara. Sebab menurut mereka Indonesia tidak sesuai syariah. Indonesia negara toghut. Lha, bukankah mereka itu yang digaji oleh ‘perusahaan yang bernama Indonesia’ untuk melayani publik?

Kita bisa bayangkan kondisi yang terjadi saat ini. Orang-orang yang semestinya mewakili wajah negara, malah segitu bencinya pada negara. Orang yang bekerja pada perusahaan yang pemiliknya keturunan Tionghoa, justru membenci Tionghoa. Mereka ini yang mewakili mentalitas Brutus.

“Gue sih, jelas-jelas aja. Ketika mau cari karyawan, yang rasis, yang radikal, yang comel, yang gak punya etika di medsos, gue langsung coret. Ngapain gue ngasih kerjaan orang yang kayak gitu,” ujar teman lain. Dia seorang manajer senior bidang HRD.

“Gini deh. Gue kerja diperusahaan swasta. Tapi gue cinta NKRI. Jadi gue akan memanfaatkan posisi gue untuk menghalau siapapun yang mau merusak NKRI. Jangan memberi mereka ruang untuk berkembang,” tambahnya lagi.

Teman lain, seorang CEO perusahaan nasional juga kini sedang mendata siapa-siapa saja dari karyawannya yang terdeteksi rasis atau radikal. “Itu akan jadi pertimbangan karir mereka. Kalau memungkinkan sih, mereka dikeluarkan. Ngapain mempekerjakan mereka. Sama saja memberi amunisi pada radikalisme.”

Melihat respon-respon seperti itu saya cuma diam saja. Harus diakui salah satu strategi dalam pertempuran adalah memotong jalur logistik musuh. “Kalau secara ekonomi mereka makin kuat. Besok mereka akan bangkit membunuhi kita semua.”

Katakanlah sekarang NKRI sedang berperang menghadapi kelompok radikal. Nah, jika mereka justru disupport secara logistik dengan dibiarkan menempati posisi-posisi strategis, pasti mereka juga akan memanfaatkan posisinya itu untuk perkembangan ideologinya.

“Gue cinta NKRI. Mereka yang membenci NKRI otomatis musuh gue,” kata manajer HRD.

Lain lagi komentar teman pengusaha tionghoa. “Ketimbang lu punya karyawan rasis atau radikal. Mendingan lu pelihara kambing. Kambing dikasih makan, nanti dagingnya enak buat disate.”

(www.ekokuntadhi.com)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed