by

Ambisi Mengadili (Mantan) Pemimpin

Kita juga tidak mau belajar untuk melihat kegagalan dan keberhasilan seseorang secara proporsional. Menyadari bahwa setiap dari kita memiliki dua sisi sekaligus, prestasi dan kegagalan. Kebencian kepada orang lain telah membuat sedikit noda yang menempel pada baju menutupi seluruh warna-warni indahnya.

Bila memang demikian, maka mengertilah bahwa kita ini masih dalam kondisi labil. Kita belum pantas menentukan pilihan, apalagi menghukum atas kesalahan orang lain.

Dalam konteks ini, ada bahan renungan menarik dari salah satu adegan dalam film berjudul Perempuan Berkalung Sorban (2009) yang diangkat dari novel berjudul sama yang ditulis oleh Abidah El Khalieqy. Dalam film itu diceritakan, Annisa (Reva S. Temat), putri Kiai Hanan, hampir saja mati karena dihukum rajam oleh kerumunan massa.

Annisa didakwa telah berbuat dosa oleh suaminya yang cemburu, yang kemudian memanggil orang-orang. Dalam kondisi genting itu ibundanya datang menghadang. Dengan suara bergetar khas seorang ibu, perempuan tua itu berteriak kepada massa yang telah bernafsu untuk menghabisi putrinya, Annisa. “Hanya mereka yang tidak pernah berbuat dosa, boleh melempar batu kepada Annisa…,” tegas wanita tua itu.

Mengadili orang lain harus berangkat dari motivasi mulia. Namanya saja “mengadili”, dari akar kata “adil”. Secara sederhana, target yang hendak dicapai adalah memperlakukan pihak-pihak terkait dengan adil, bijaksana. Karena itu, sebelum memutuskan untuk mengadili orang lain, kita terlebih dulu harus memiliki kompetensi khusus. Atau, setidaknya kita telah melakukan beberapa tindakan, sebelum memutuskan mengadili orang lain.

Pertama, kita terlebih dulu harus berempati kepada pihak terdakwa. Maksudnya, bagaimana kejadian sebenarnya, dan apa yang terjadi seandainya kita yang berada pada pihak terdakwa. Dengan menimbang-nimbang hal ini, maka kita tidak akan mudah menjatuhkan vonis hukuman kepada pihak yang kita anggap keliru.

Kedua, pastikan bahwa kita adalah orang yang lebih baik, katimbang mereka yang akan kita adili. Bagaimana mungkin kita menuding orang lain bersalah, sementara itu kita sendiri tidak lebih benar. Bagaimana bisa pembohong ingin mengadili pembohong, sebelum dirinya sendiri diperlakukan dengan “adil”.

Ketiga, kita harus memiliki solusi atas kesalahan yang dibebankan kepada terdakwa. Tanpa menawarkan solusi yang lebih baik dan teruji, kita tidak lebih pantas menggantikan mereka yang “keliru”.

Tanpa ketiga hal di atas, kita hanya akan menjadi bagian dari kerumunan massa beringas, yang puas ketika melihat orang lain tersungkur dalam jurang kehancuran. Lantang meneriakkan orang lain bersalah, tetapi tidak pernah melihat kepada diri sendiri yang tidak juga lebih baik.

Lazim terjadi di tengah masyarakat, kita berani menyalahkan para pemimpin. Padahal, kita juga tahu bahwa diri ini tidak lebih bisa mengatasi persoalan yang ada. Bukankah kita percaya bahwa menjadi pemimpin itu ada campur tangan kehendak Tuhan. Artinya, mereka yang telah “terpilih” itu tidak lepas dari campur tangan semesta. Mereka itu orang-orang yang setingkat lebih baik, meskipun akhirnya ada yang gagal. Sementara kita belum mencapai kilometer, sebagaimana yang sudah dilalui para pemimpin itu.

Belajarlah dari kejadian demi kejadian di masa lalu. Berhentilah memaki para petinggi di negeri ini. Kalaupun merasa harus memberikan kritik, sampaikan dengan elegan. Saatnya merajut solidaritas yang terkoyak.**

Sumber : geotimes

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed