by

Agama Dan Kepentingan

Siapakah yang harus bertanggung jawab atas naiknya fasisme Islam di Indonesia? Kita semua. Orang-orang yang menjadi bagian dari politik oligarki, anti perjuangan kelas, anti mogok buruh, dan terlalu lama mengabaikan persoalan keumatan. Sikap apolitis, enggan melakukan intervensi seperti itulah yang turut melahirkan sosok seperti HRS dan sejenisnya untuk mendominasi, menghegemoni dan merampas ruang publik kita.

Kini, glorifikasi anti China sudah kadung menjalar karena ulah para ustad di perkotaan. Masalahnya mereka yang berkenan menyelami kehidupan umat. Sementara yang lainnya memilih berjarak dan memusuhi umat. Kelompok liberal, contohnya, kerjaannya selain mengolok-olok ketololan tafsir dan keber-Islam-an sebagian besar umat korban fasisme Islam, sejak semula justru menjadi bagian dari persoalan sosial politik pasca kolonial dan pasca otoritarianisme di Indonesia karena tiadanya kritik atas berbagai malapetaka sosial di republik ini oleh oligarki. Sebab secara gagasan liberalisme Islam mempunyai implikasi politis yang menguntungkan konglomerasi dan oligarki di Indonesia. Bahkan aktivitas teoritisnya disokong oleh konglomerat. Freedom Institute salah sebuah contohnya. Alhasil, keber-Islam-an ala liberal bermetamorfosis menjadi sejenis “Islam Ruang AC”. Alih-alih menjadi jawaban bagi kebuntuan kehidupan umat yang digencet secara ekopol di satu sisi dan menjadi sasaran dakwah fasisme di sisi lainnya.

Sebenarnya yang perlu dicermati dan dijernihkan adalah diferensiasi antara modal China dan etnis China. Maka berulangkali dalam berbagai kesempatan pengajian dengan masyarakat, saya katakan, kalau kalian anti etnis tertentu, Tionghoa, misalnya. Maka kalian sudah keluar dari visi perjuangan Islam. Namun kalau mau tahu konglomerasi China di Indonesia, sejarah pembentukan ekonomi politik orde baru, ya bagus? Malah wajib. Agar kalian tahu perbedaan antara modal China dan etnis China, agar tidak terus-menerus memamah propaganda anti Tionghoa di Indonesia. Agar tahu bahwa sedikit elit China di Indonesia menjadi sedemikian hegemonik dalam lapangan ekonomi juga dimungkinkan oleh Suharto dan orde baru yang di konon disebut dengan “kroni”. Jadi, ini bukan soal agama atau etnis tertentu. Ini soal siapa memperoleh apa. Ini soal ketimpangan, kemiskinan, ketidakadilan yang tak mengenal etnis dan agama.

Pertanyaan saya, apa jawaban Islam liberal (dan tendensi keber-Islam-an semacam ini) bagi investasi OBOR di kawasan Asia dan termasuk di Indonesia. Apa jawaban mereka terhadap maraknya perampasan tanah di Indonesia? Dimana posisi anda? Selama tidak mengkritik, tidak melawan itu semua, maka anda menjadi bagian dari persoalan.

*Sedikit catatan hasil obrak abrik dokumen riset dan bongkar-bongkar buku untuk kuliah tentang politisasi agama di Jogja dan teori Gramsci di Jakarta dengan para pejuang hukum muda Indonesia*. Sila yang mau mencaci saya sebagai orang murtad.

Sumber : Status Facebook Roy Murtadho

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed