by

Zakat Bagi Orang Kaya Baru

Maka Rasulullah SAW berkata,” Bila kamu mau, bisa kamu tahanpokoknya dan kamu bersedekah dengan hasil panennya. Namun dengan syarat jangan dijual pokoknya (tanahnya), jangan dihibahkan, jangan
diwariskan”.
Maka Umar ra bersedekah dengan hasilnya kepada fuqara, dzawil qurba, para budak, ibnu sabil juga para tetamu. Tidak mengapa bila
orang yang mengurusnya untuk memakan hasilnya atau memberi kepada temannya secara makruf, namun tidak boleh dibisniskan (HR. Bukhari Muslim)
Banyak kalangan menyebutkan inilah kejadian yang menjadi dasar masyruiyah wakaf dalam Sirah Nabawiyah. Kekayaannya berupa tanah perkebunan kurma yang produktif dan terus menerus menghasilkan.
Namun ada beberapa catatan buat saya :
1. Nabi SAW menjawab pertanyaan Umar dengan diawali lafazh : in syi’ta (إن شئت) yang artinya : Kalau kamu mau.
Jadi ini bukan kewajiban, juga bukan keharusan. Ini sekedar ide saja. Mau dijalankan bagus, tidak dijalankan ya tidak apa-apa.
2. Nabi SAW tidak pernah menyebut kudu dikeluarkan zakatnya.
Padahal kalau kejadiannya di masa sekarang, pasti banyak kalangan pada ngomongin kewajiban zakat. Malah langsung sodok 5% atau 10%, malah bisa diketok 20%, disamakan dengan ghanimah.
Ternyata Nabi SAW sama sekali tidak menyinggung masalah kewajiban berzakat. Seandainya menerima kebun kurma itu wajib dizakati, tidak mungkin rasanya Nabi SAW kok cuma diam saja.
Namun kalau nanti kebun kurmanya membuahkan hasil, dari panennya memang ada zakat sepersepuluh (10%) kalau tanpa diairi atau seperdua puluh (5%) kalau diairi.
Dalam ilmu fiqih, Itu namanya zakat dzuru’ wa tsimar. Dikeluarkannya tiap tahun atau tiap panen, sebagaimana firman-Nya :
Dan tunaikan zakatnya pada saat panen. (QS. Al-An’am : 141 )
Biasanya kalau saya menjelaskan hal-hal macam ini, banyak yang pada protes. Khususnya teman-teman saya yang jadi pengurus lembaga zakat. Masak potensi zakat sebesar itu malah disia-siakan?
Potensi?
Ya itu lho orang kaya baru kan duitnya banyak. Harusnya wajibkan saja mereka berzakat. Zakat apa kek. Yang penting bisa jadi pemasukan buat lembaga zakat kita. Karena kalau pemasukan zakat kita di bawah target, bisa kena pinalti nih kita.
Nah itu dia nih yang jadi masalah. Kesannya kok lembaga zakat kayak kantor pajak yang kudu ngejar setoran ya?
Masak kudu dicari-cari celah biar pada zakat? Kalau kita paksa mereka disuruh zakat, zakat apa namanya? Mana dalilnya? Mana contoh real di masa kenabian?
Masak mau diqiyas dengan zakat tsimar wa dzuru’? Alasannya biar tidak pakai haul, begitu panen langsung dizakatkan
Lha iya, tapi kan belum panen. Ini baru dapat kebunnya doang. Mana ada zakat kebun? Yang ada itu zakat dari hasil panen kebun kurma. Itu pun kalau panen.
Saran saya, jangan lah lembaga zakat itu dipaksa-paksa kejar setoran macam kantor pajak. Soalnya nanti fiqih zakatnya jadi korban otak-atik yang liberalis kapitalistik.
Setidaknya ikutilah cara Nabi SAW yang hanya menawarkan ide untuk berwakaf. Tidak main paksa lewat kewajiban zakat.
Mumpung lagi banyak duit, monggo kalau mau pada waqaf. Kita bikin perusahaan nggih, atau bikin masjid, rumah sakit,kampus atau apa lah. Atau buat mengerti bisnis era modern, beli saham perusahaan internasional juga boleh.
Kalau saya sebagai orang Jakarta, duitnya buat bikin ATM gedor. Maksudnya rumah kontrakan petakan. Tiap bulan panen setoran, mirip kayak punya mesin ATM pribadi. Ngambil duitnya tidak pakai kartu atau pin, cukup digedor-gedor saja.
Wakaf ATM gedor namanya.
Sumber : Status Facebook Ahmad Sarwat

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed