by

Xenophobia Rakhine Burma

Oleh: Teguh Setiawan
 

Jika Anda ke Arakan dan bertemu Muslim Rohingya yang masih bertahan di desa-desa mereka, sempatkan bertanya dimanakah masjid-masjid kuno peninggalan misionaris Islam dari India dan pemukim Arab?

Jawaban yang Anda peroleh pasti sekadar gelengan kepala, atau; “Tidak ada lagi. Semuanya telah berganti menjadi pagoda dan monasteri Budha.” Bahkan, Anda mungkin tidak akan menemukan pondasi, atau puing-puingnya.

Masjid Sandi Khan adalah salah satunya. Masjid ini dibangun tahun 1430 oleh Raja Narameikhla, yang memerintah Arakan saat itu. Tahun 1996, ketika pemeintahan junta militer menjalankan de-Muslimisasi, masjid dirobohkan, dan puing-puingnya digunakan untuk memperkeras jalan antara basis militer dan lokasi permukiman tempat masjid itu pernah berdiri.

Di atas lokasi masjid, pemerintah Myanmar membangun pagoda, dan sekolah seminari Budha. Di sekeliling masjid, yang semula permukiman Muslim Rohingya, kini dihuni masyarakat Rakhine Budha.

Lainnya adalah Masjid Musa Pali. Masjid dibangun oleh Musa, seorang misionaris Islam asal India, antara tahun 1513 sampai 1515, atau saat Raja Mrauk-U ke-9 berkuasa. Masjid terletak di Desa Maungthagon, Mrauk-U. Tahun 1983, Jenderal Ne Win memerintahkan penghacuran masjid.

Muslim Rohingya di Sittwe pernah sangat bangga dengan masjid peninggalan abad ke-15, yang bernama Babagyi Mosque. Masjid terletak di tepi Danau Sittwe.Tahun 1985, Ne Win meratakan masjid itu dengan tanah. Pemerintah junta militer Myanmar mendirikan Pagoda di atas lokasi masjid beberapa tahun kemudian.

Nasib tragis juga dialami Budder Mukam atau Pir Badar Sha, bangunan untuk mengenang jasa-jasa Allama Shah – sufi penyebar Islam yang lebih awal datang ke Arakan. Sejarawan memperkirakan Budder Mukam dibangun abad ketujuh.

Sampai tahun 1960, Budder Mukam masih dikunjungi banyak peziarah. Tahun 1978, militer Myanmar merobohkannya, dan membangun basis Angkatan Laut Myanmar di atas puing-puingnya.

Semua penghancuran itu adalah bagian dari penolakan pemerintah Myanmar, dan sebagian besar masyarakat pemeluk Budha di negeri itu, terhadap fakta sejarah bahwa masyarakat Muslim telah menjadi bagian Kerajaan Arakan sejak abad ketujuh, dan mencapai puncak keemasannya di abad ke-15.

Pemerintah militer Myanmar berusaha menghilangkan semua bukti arkeologis tentang eksistesi Muslim Rohingya, untuk menegaskan klaimnya bahwa penduduk beragama Islam datang ke Myanmar dibawa ke Arakan oleh Inggris. Muslim Rohingya, demikian pemerintah Myanmar, tidak punya sejarah.

Klaim ini relatif baru, karena kampanye penolakan terhadap eksistensi sejarah Muslih Rohingya di Myanmar relatif baru gencar dilakukan setelah keluarnya UU Kewarganegaraan Myanmar (dulu Burma) tahun 1982. Dalam UU itu disebutkan warga negara Burma adalah kelompok etnis, mayoritas dan minoritas, yang menjadikan terotori mereka sebagai permukiman permanen sejak 1185.

Al Rukun

Pemerintah Myanmar boleh saja menghancurkan semua bukti arkeologis peninggalam Islam di Arakan, tapi mereka tidak bisa menghapus dokumentasi sejarah yang tersimpan di berbagai universitas di seluruh dunia. Pembersihan etnis Muslim Rohingya selama 60 tahun juga membangkitkan banyak sarjana Barat dan Islam untuk menuliskan kembali sejarah komunitas pemeluk Islam di Myanmar, dan mempublikasikannya.

Mohamed Ashraf Alam, dalam , The etymology of Arakan, Rohingya and Rakhine, berupaya menelusuri kata Arakan dan Rakhine. Ia sampai pada kesimpulan Arakan adalah adalah plesetan dari kata dalam bahasa Arab; Al Rukun. Dalam laporan perjalanannya, Ibu Batuta menulis Arakan dengan kata Arkan, yang berasal dari Al Rukun.

Sumber-sumber tradisional Myanmar membantah klaim ini. Sedangkan dalam Ptolemy Geografia, terbitan tahun 150 sebelum masehi, Arakan disebut dengan nama Argyre. Sedangkan Sir H Yule mengatakan kata Arakan seharusnya berkaitan dengan tambang perak ang ada di tempat itu. Asumsi H Yule didukung dua peneliti Inggris.

Dalam pilar batu Chandra Ananda, raja dari Dinasti Chandra, yang ditemukan di Shitthaung Pagoda di Mrauk-U, nama Arakan terukir sebagai Arakades. Pilar batu ini diperkirakan berasal dari abad ke-8. Sedagnkan dalam peta Dinasti Moghul. Arakan disebut Aracam. Abul Fazal dalam Ain-I-Akbari menyebut Arakan sebagai Arkhang.

Sejarawan Chowdhury Mohahd punya versi lain. Menurutnya, Rohang adalah nama kuno Arakan. Rohang berasal dari istilah dalam bahasa Arab; Raham. Lebih tepatnya Raham Bori, yang berarti Tuhan merestui tanah ini. Rashiduddin, geographer Arab, menyebut kawasan ini Rahan atau Raham.

Tripura Chronicle Rajmala, menyebut Arakan sebagai Roshang. Quazi Daulat, Mardan, Shamser Ali, Quraishi Magan, Alaol, Ainuddin, Abdul Ghani, semuanya penyair dari Chitaggong abad pertengahan, juga Arakan dengan sejumlah nama; Roshango, Roshanga, Roshango Shar, dan Roshango Des.

Dalam Arakanese Chronicle, pemukim pertama Arakan adalah kelompok Negrito yang disebut Rakkhasas atau bilus (kanibal). Menurut Rakhine Rajawan, Rakhine adalah nama kuno Arakan. Sir Arthur Phayre menyebutkan Rakhine adalah plesetan dari kata Rakkhasa, kata dalam bahasa Pali dan sansekerta yang berate raksasa atau monster.

Sebelum penyebaran Budha, sebagaian besar orang Rakhine pemuja alam. Orang Rakhine mengadopsi kata Arakan untuk menyebut identitas tempat mereka bermukim. Mereka memperkenalkan diri sebagai orang Rakhine Pray. Pray adalah kata yang berarti negara. Sedangkan misionaris Budha menyebut Arakan sebagai Rekkha Pura.

10 Periode

Mohamed Ashraf Alam, dalam Historical Background of Arakan, membagi sejarah Arakan ke dalam 10 periode. Pertama, periode 100 sampai 778, atau periode sejumlah dinasti Hindu. Kedua, 788-957 atau periode Dinasti Chandra (Hindu),. Ketiga periode chaos 957-1430, atau ketika Arakan silih berganti pindah tangan dari Mongolia, Budhis, dan Muslim. Keempat, periode Dinasti Mrauk-U (Muslim-Budha) 1430-1784. Kelima, periode penjajahan Burma 1784-1826.

Keenam, periode penjajahan Inggris 1826-1948. Ketujuh, periode pemerintahan parlementer Burma 1948-1962. Kedelapan, periode pemerintahan revolusioner 1962-1974. Kedelapan, periode pemerintahan satu partai 1975-1988, dan kesepuluh periode pemerintahan milier SLORC/SPDC 1988 sampais aat ini.

Sebelum kedatangan Inggris, Arakan silih berganti dipimpin raja-raja Hindu, Budha, dan Muslim. AP Phayer and GE Harvey menulis saat masih menjadi negara merdeka, raja-raja Arakan kerap memindahkan ibu kota ke delapan tempat.

Abid Bahar, dalam Burmese invasion of Arakan and the rise of non Bengali settlements in Bangladesh, menulis sampai abad ke-11, Arakan adalah negara yang selalu bergolak, dan kerap direpotkan oleh konflik antar kelompok.

Ketika muncul pemimpin yang kuat dan dapat mempersatukan semua, Arakan menjadi ancaman bagi negara-negara di sekelilingnya. Arakan juga negara yang sangat ketergantungan dari perdagangan budak, sehingga harus selalu memerangi suku-suku di sekelilingnya, agar mendapatkan budak.

Memasuki abad ke-11, Burma tumbuh menjadi kerajaan yang kuat. Untuk meredam ketegangan di dalam negeri, Burma melakukan ekspansi, dan mecaplok negaran-negara di sekelilingnya. Arakan tak lupua dari serbuah Burma.

Invasi pertama dilakukan 1044. Anawrahta, setelah membunuh saudaranya dan mengklaim naik takhta di Burma Utara, menyerang Arakan dan Mon. Ia adalah pemeluk Budha yang taat, tapi juga rajak paling kejam dalam sejarah Burma.

Anawrahta tercatat sebagai raja yang memberi dimensi rasial bagi agama Budhisme. Ia mengubah wajah Budha Theravada yang penuh cinta kasih menjadi agama yang sarat kekerasan. Ia juga memperkenalkan politik xenophobic pertama di Burma. Ia berusaha menghalau Indianisasi di Arakan, dan mendorong masuknya penduduk Tibeto Burman.

Akibatnya, Chakmas – ras mongoloid tapi berbicara dalam Bahasa Chandra-Chittagonian, merasa terancam dan meninggalkan Arakan menuju selata Chittagong.Mereka kembali ke Arakan tahun 1077, atau setelah cengkeraman Burma atas Arakan berakhir.

Invasi Burma kedua terjadi 1406. King Min Khaung Yaza, raja Burma saat itu, memimpin invasi ini. Noromi-kala, raja Arakan saat itu, melarikan diri ke Gaur bersama sebagian besar pengikutnya. Gaur saat itu diperintah Sultan Gaisuddin Azam Shah. Tidak ingin diperbudak orang Burma, penduduk Arakan memilih melarikan diri ke Bengal, mengikuti sang raja.

Tahun 1430, Sultan Jalal uddin Khan – penguasa Bengal saat itu – mengirim Wali Khan ke Arakan dengan tugas mempersiapkan kepulangan Noromi Kla, yang berganti nama menjadi Sulauman Shah untuk kembali bertakhta. Sulauman memindahkan ibu kota Arakan ke Mrohaung.

Namun Sulauman hanya setahun berkuasa. Tahun 1431, Wali Khan mendepak Sulauman, dan menjadikan dirinya raja di Arakan. Ia memperkenalkan Bahasa Persia sebagai bahasa resmi. Noromi-kla, atau Sulauman Shah, kembali ke Bengal untuk meminta bantuan kepada Sultan Bengal.

Dua tahun kemudian Nadir Khan, sultan Bengal saat itu, mengirim Jenderal Sindhi Khan dan 30 ribu pasukan untuk menghukum Wali Khan, serta mengembalihkan takhta ke Sulauman Shah. Sebagai imbalannya, Sulauman Shah memberikan wilayah selatan Chittagong, dan membayar pajak tahunan ke Sultan Bengal.

Sejak saat itu, dan sampai paruh pertama abad ke-18, Arakan relatif terlindung dari kemungkinan serangan Burma. Arakan dihuni dua etnis yang relatif seimbang; Rohingya dan Rakhine. Keduanya bersatu karena memiliki musuh bersama, yaitu Burma.

Situasi politik berubah setelah memasuki paruh kedua abad ke-18. Pengaruh Kesultanan Bengal menurun. Burma kembali bangkit sebagai kerajaan yang kuat. Tahun 1784, Raja Budapawa menyerbu Arakan dengan 30 ribu pasukan, dan kembali dengan 20 ribu tawanan.

Inilah pembersihan etnis pertama terhadap Muslim Rohingya dan Rakhine Budha yang dilakukan Burma di Arakan. Mereka membantai semua penduduk Hindu dan Muslim Arakan. Pemeluk Budha relatif tidak tersentuh. Namun Raja Budapawa merampas patung Budha Mohamuni yang terbuat dari emas, dan dibawa ke Burma.

Dari 20 ribu tawanan yang dibawa Budapawa, 3,700 diantarnya Muslim Rohingya. Mereka dimukimkan di Mandalay, dan beberapa menjadi menteri kerajaan Burma. Sedangkan raja Arakan tidak lagi meminta perlindungan ke Bengal, karena saat itu Inggris telah menjajah India dan seluruh kesultanan Bengal. Ia tidak pernah kembali ke Arakan, karena Burma terus melancarkan aksi pembersihan. Akibatnya, populasi non-Bengal di Chittagong menjadi tinggi, karena Inggris memberi merek tempat.

Burma meminta Inggris memulangkan seluruh orang Arakan; Muslim, Hindu, dan Budha, kembali ke Arakan. Inggris menolak. Perang Inggris-Burma tak terhindarkan. Unggul persenjataan, Inggris dengan mudah menguasai Arakan tahun 1824 . Saat itu, sebagai akibat pambantaian terus-menerus, Arakan nyaris kosong penduduk.

Inggris membawa kembali Arakan; Muslim, Hindu, dan Budha, kembali ke Arakan. Aye Chan, seorang Rakhine Budha yang kembali ke Arakan, mulai menyebarkan kebencian terhadap Muslim di kalangan orang Rakhine. Menurutnya, jika Inggris hanya membawa Muslim Rohingya dan Rakhine Budha == keduanya mengungsi di selatan Chittagong – itu normal. Namun Inggris juga membawa Chittagonian Mulsim Bengal, dan memenuhi tanah pertanian di Arakan.

Kebencian Rakhine Budha terhadap Muslim pun dimulai, dan terus membesar. Puncaknya terjadi tahun 1942. Inggris angkat kaki dari Arakan, dan Jepang datang. Rakhine Budha memanfaatkan keadaan ini untuk menyerang Muslim Rohingya. Pembantaian tak terhindarkan. Lebih 100 ribu tewas dalam peristiwa itu.

Rakhine melupakan sejarah bahwa mereka pernah senasib dengan Muslim Rohingya, ketika menjadi korban pembantaian Burma. Mereka tertular visus xenophobic Burma, dan menjadi penghancuran semua bukti arkeologis tentang persaudaraan mereka dengan Muslim Rohingya.

 

 

(Sumber: Status Facebook Dina Sulaeman)

Foto: pemandangan di Mrauk U, Rakhine State 

 

 

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed