by

“Wayang Itu Haram!” Haram Lambemu…

Pemerintah Turki Usmani dulu menggunakan seni pertunjukkan wayang di seluruh kekuasaan Ottoman termasuk Arab, Timur Tengah dan Yunani. Para elit Muslim rezim Turki Usmani menggunakan wayang sebagai medium untuk mengsosialisasikan program-program pemerintah maupun alat komunikasi dan berinteraksi dengan warga, selain sebagai “hiburan rakyat” tentunya. “Karagoz” melambangkan “kelas bawah”(“wong cilik”) sementara “hacivat” menggambarkan “kelas atas” dan “golongan terdidik” (“wong gede”).

Meskipun namanya berbeda-beda, dunia wayang memang sebagai perlambang atau simbol dunia nyata. Karakter wayang yang beraneka ragam (keras-lunak, pendendam-pemaaf, pemarah-penyabar, licik-jujur, beringas-sopan, dlsb) merupakan gambaran atau perlambang karakter manusia di dunia nyata. Karakter wayang yang saya suka adalah Ontoseno atau Antasena (putra Bimasena) yang mendapat julukan “Ksatria edan sakti mandraguna tanpa tanding” he he (seperti di foto ini). Ia adalah sosok yang ceplas-ceplos, ngomongnya ngoko tidak bisa bahasa kerama tapi aduhai sekali kalau di medan perang dan membasmi lawan he he.

Meskipun kisah-kisah Mahabharata dan Ramayanan ala-Hindu India menjadi tema populer dalam seni perwayangan di Indonesia, tetapi dalam perkembangannya, sumber inspirasi pertunjukkan seni wayang itu sangat kaya dan beraneka ragam, bukan hanya dipengaruhi oleh cerita-cerita Hindu-Budha saja tetapi juga dari Serat Menak, sejarah keislaman, dan kisah-kisah kehidupan manusia sehari-hari.

Serat Menak (tidak jelas siapa penulisnya dan kapan terbitnya tetapi populer di Jawa dan Lombok) adalah sebuah karya sastra fiksi agung yang konon diinspirasi oleh karya sastra Melayu: “Hikayat Amir Hamzah” yang merupakan terjemahan dari sebuah karya sastra yang ditulis di zaman Khalifah Harun al-Rasyid di abad ke-8/9 M. Yang dimaksud dengan “Amir Hamzah” (atau “Raja Hamzah”) dalam Serat Menak dan Hikayat Amir Hamzah adalah Hamzah bin Abdul Muttalib, salah seorang paman Nabi Muhammad yang gagah perkasa dalam membela dan menyebarkan Islam.

Dari cerita Serat Menak inilah kemudian lahir sejumlah wayang golek menak atau wayang orang menak, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Barat, yang isi ceritanya menggambarkan lika-liku “dakwah Islam” dan perjuangan menegakkan masyarakat bermoral.

Karena wayang adalah “tradisi positif” dan medium yang cukup efektif untuk menyampaikan pesan-pesan moral ke publik masyarakat, maka para ulama dan Walisongo dulu, elit Muslim Turki Usmani, raja-raja Islam Jawa, dlsb ikut mempraktekkan dan memopulerkan seni wayang ini. Saya sendiri adalah penggemar berat wayang, baik wayang kulit maupun wayang golek. Beberapa dalang “paporit”ku adalah Ki Anom Suroto, Ki Manteb Sudarsono, Ki Nartosabdo, Ki Sugino, Ki Trianggono, dlsb. Untuk wayang golek, Ki Asep Sunarya (Jawa Barat) dan Ki Rohim (Jawa Tengah) adalah “dalang idolaku”.

Islam itu hadir bukan untuk “mengislamankan tradisi dan budaya lokal” tetapi untuk “memberi nilai” atas tradisi dan budaya setempat itu agar tidak melenceng dari nilai-nilai dan norma-norma keislaman. Jika tradisi dan budaya lokal itu sudah sangat baik, positif, bernilai, dan bermoral, serta bermanfaat untuk masyarakat banyak, maka Islam sama sekali tidak mempermasalahkannya, dan bahkan turut memelihara dan menyerapnya karena memang “sudah Islami”.

Bukankah banyak sekali apa yang kaum Muslim kini “klaim” sebagai “ajaran atau budaya Islam” itu sebetulnya awalnya adalah tradisi / kebudayaan non-Islam yang berkembang di masyarakat? Jadi jangan sekali-sekali mengharamkan wayang ya karena alasan bid’ah ini, bid’ah itu? Bid’ah lambemu kuwi…**

Sumber : Facebook Sumanto Al Qurtuby

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed