by

Wajah Buruk Politik dan Kelas Menengah Berisik

 

Oleh: K. El-Kazhiem

Di era otoritarianisme, politik tidak pernah ada, tetapi terhadap yang tidak ada itu orang banyak mesti mengatakan sebagai baik adanya. Di masa Ore Baru misalnya, dalam keadaan di mana kekuasaan secara keras membatasi pikiran dan partisipasi, maka rakyat tidak boleh dan tidak bisa berpolitik. Dengan kata lain, di masa itu tidak ada politik. Ironisnya dalam keadaan nirpolitik itu, rakyat mengatakan politik itu baik. Sedangkan ketika masuk era reformasi di mana keran-keran politik, kebebasan berpendapat, dan aspirasi publik terbuka lebar, justru politik selalu dibilang busuk.

Wajah buruk politik acapkali digambarkan oleh reputasi buruk para politisi dalam proses pemilu itu sendiri. Banyak calon-calon wakil rakyat yang terbius jabatan sehingga demikian ambisius untuk meraihnya. Beberapa reputasi buruk berkembang karena politisi sudah harus kompromi sejumlah keyakinan pribadi untuk mendapatkan suara atau popularitas. Ada juga pepatah yang mungkin sering kita dengar power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Sementara itu, banyak politisi yang cukup memiliki integritas dalam melawan korupsi, tapi sayangnya ada juga yang tidak kuat. Seorang politisi di bawah tekanan yang signifikan dapat membuat beberapa keputusannya dipertanyakan, yang pada gilirannya dapat menyebabkan tuduhan melakukan tindakan korupsi. Walhasil, jabatan birokratik erat konotasinya dengan korupsi. Lebih jauh lagi bahwa di era masyarakat informasi sekarang ini, politik dianggap tidak penting karena distribusi kemakmuran dapat diselenggarakan melalui efisiensi pasar. Politik juga dijauhi karena transaksi uang dan brutalitas pelaku politik setiap kali pemilu berlangsung. Dalam soal pembuatan kebijakan publik, politik tidak diperlukan karena yang didahulukan adalah kecapakan para ahli, suatu efisiensi teknokratis.

Kehendak Berkuasa dalam Realitas Politik di Era Demokrasi

Hans J. Morgenthau, dalam Political Among Nations mengungkapkan bahwa politik selama ini hanya dimaknai sebagai sesuatu yang berkaitan dengan kekuasaan (power) saja. Maka tidak heran jika perilaku politik yang tampak adalah kenyataan bahwa segala sesuatu menjadi “halal” untuk merebut, menggunakan dan mempertahankan kekuasaan. Politik menjadi sekadar perjuangan menuju kekuasaan, atau seni meraih kekuasaan. Pemaknaan politik seperti ini jelas menyesatkan lantaran segala sesuatu hanya diarahkan semata kepada kekuasaan (power oriented).

Bias holistik muncul dalam demokrasi ketika dimengerti secara negatif dari apa-apa yang tidak dilakukannya, sementara totalitarianisme dipandang selalu berinisiatif untuk melakukan sesuatu. Dilema ini, menurut Claude Lefort dalam Democracy and Political Theory, dapat dijawab dengan tetap menekankan kembali ke arah keterbukaan. Demokrasi mendorong kita untuk mengganti konsep rezim yang diperintah oleh hukum-hukum dan kekuasaan yang legitim menjadi rezim yang dibangun di atas hasil dari perdebatan atas apa yang legitim dan tidak legitim tanpa ada kata akhir. Artinya, demokrasi akan menjadi lebih demokratis manakala politik demokratis terus diarahkan menantang rezim yang berkuasa dengan mengkontestasi keterbatasan hukum, sosial, dan wilayah.

Persepsi umum bahwa politik adalah tentang perjuangan untuk kekuasaan meniscayakan selalu ada pemenang dan pecundang. Setelah pemilu, partai yang memenangkan suara terbanyak dikatakan “berkuasa”. Tentu saja yang berkuasa akan bekerja keras untuk mempertahankannya, sedangkan yang kalah akan menghabiskan banyak energi menentang partai yang berkuasa. Mereka mencoba untuk membangun dukungan sehingga mereka dapat mengambil kekuasaan dari partai yang berkuasa dalam pemilu berikutnya. Perjuangan sepertinya tidak pernah berakhir. Dalam hal ini, tidak pernah ada kekuatan politik yang cukup untuk membuat semua orang senang.

Ketika orang-orang menyaksikan pahitnya perebutan kekuasaan di dunia politik, mereka akhirnya percaya bahwa kekuasaan adalah akar masalahnya. Kekuasaan dipandang sebagai kekuatan merusak. Mereka yang menginginkan kekuatan itu akan dicurigai. Mereka yang memilikinya dianggap bermental sakit. Mereka yang tidak memilikinya dianggap korban yang tidak bersalah. Pada kenyataannya, ini adalah pemahaman yang sangat sederhana dari relasi antara kekuasaan dan politik. Sangat disayangkan bahwa begitu banyak orang telah menjadi begitu kecewa, meski politik juga berpotensi untuk menjadi kekuatan positif transformasi.

Aristoteles, filsuf Yunani yang terkenal, menulis sebuah buku berjudul Politics yang masih dianggap sebagai salah satu karya yang paling penting di dunia filsafat politik. Di dalamnya ia berpendapat bahwa elemen kunci dari politik adalah pluralitas atau keberagaman kepentingan dan pandangan. Orang-orang semua berbeda, dan memiliki kepentingan yang berbeda. Kembali ke Aristoteles, politik adalah cara orang-orang dari latar belakang yang berbeda dan dengan berbagai pandangan berhasil menegosiasikan kepentingan mereka untuk memecahkan masalah publik. Dalam pengertian ini, politik bisa berada di mana saja dan dapat melibatkan semua orang. Tak heran pula jika di dalam keluarga yang sifatnya privat pun juga ada aktivitas politik.

Alienasi Warga dari Dinamika Politik

Memasuki abad ke-19, partai-partai politik mulai mendominasi kegiatan politik dalam masyarakat. Masing-masing pihak mengorganisir diri atas dasar ideologi yang berbeda. Misalnya; konservatif, liberal, sosialis, atau Marxis-Leninis. Ideologi ini mencerminkan cita-cita masyarakat yang berbeda dan bagaimana suatu tatanan seharusnya, terutama dari sudut pandang ekonomi. Acapkali masyarakat memilih untuk menyesuaikan diri dengan satu partai politik. Mereka juga mengembangkan prasangka yang kuat terhadap pihak lain dan para pengikut mereka. Afiliasi politik menjadi cara pelabelan orang, atau menempatkan mereka dalam sebuah kotak. Beberapa warga mengadopsi label ini secara antusias, sementara yang lain menolak dan memilih tidak ingin bersinggungan dengan politik. Akibatnya, politik cenderung menciptakan identitas kelompok yang kuat serta perpecahan mendalam di masyarakat. Jika hal ini menjadi satu-satunya makna, maka politik tidak lagi milik semua orang.

Sekarang ini, politik cenderung menjadi terlepas dari warga negara. Banyak orang memiliki perasaan bahwa politik tidaklah menyangkut mereka, melainkan soal para elite. Pertempuran antara pemimpin politik beredar di koran, televisi, dan dunia maya. Gagasan-gagasan warga semakin direduksi. Politik menjadi domain pemerintah, partai politik, dan media. Masyarakat sipil pun merasa dikesampingkan, dan muak dengan semua itu.

Pertumbuhan partai politik juga secara bertahap memiliki efek mengubah politik menjadi karir. Seperti beberapa orang yang berkarir untuk menjadi pemimpin partai, mereka muncul untuk menjadi politisi profesional. Hal ini menciptakan kesan bahwa ada beberapa orang baik di politik, sementara yang lain tidak. Banyak warga biasa mulai merasa bahwa mereka tidak memiliki peran dalam politik sama sekali.

Mengembalikan Deliberasi Publik Lewat Kelas Menengah Berisik

“Kelas Menengah Berisik”. Terminologi ini hadir kepada para pegiat dunia maya, terutama jejaring sosial (netizen), yang gemar mencipta kegaduhan dengan mengkritik dan mencaci-maki pemerintah (atau negara) tanpa menawarkan solusi alternatif. Kritik itu semacam kekesalan dan kekecewaan (atau bahkan kebencian) kepada pemerintah yang ditumpahkan begitu rupa di FB, Twitter, grup WA, BBM, Website, dan sebagainya.

Di sisi lain, idiom kelas menengah berisik hadir sebagai antitesa dari silent majority yang juga diidap oleh kelas menengah. Di Indonesia, gejala ini merebak setelah pilpres 2014 yang mempertemukan pasangan Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. Mereka yang kecewa atas tidak terpilihnya jagoan mereka sebagai presiden, pada umumnya, akan mengkritik (bahkan sampai mencaci) setiap kebijakan dari pemerintahan Jokowi-JK. Tentu saja, kritik dari para pendukung Prabowo-Hatta ini direspon dengan argumentasi tandingan oleh para pendukung militan  Jokowi-JK.

Tumpahan segala kekecewaan dan keluh-kesah kelas menengah berisik itu menjadikan jejaring-sosial di Indonesia sebagai yang paling gaduh di dunia. Setidaknya hal ini dapat kita baca dari seringnya kampanye tagar (#) ala Indonesia  menjadi trending topic dunia di Twitter. #SalamGigitJari, #SaveAhok, #SaveHajiLulung, #SaveGBK, #Papamintasaham, #PapadoyanLo***, dan sebagainya.

Namun, celakanya, kehadiran kelas menengah berisik yang sangat massif di jejaring sosial dunia maya ini tidak berkorelasi secara signifikan terhadap perbaikan kualitas demokrasi. Kelas menengah berisik sebagai bagian dari civil society tidak cukup kuat untuk mendesakkan kepentingan publik pada pemerintah (atau Negara). Kelas menengah berisik hanya berbusa hujatan tetapi tidak berakhir dengan hajatan.

Dan, disinilah titik bahaya dari oposisionalisme yakni kritik yang ditujukan bukan untuk memperbaiki kesalahan tetapi justru memperkeruh suasana dan mencipta beragam kebisingan. Lebih para jika kelas menengah berisik ini muncul memang ditujukan untuk menjatuhkan kekuasaan.

Di titik ini, kelas menengah berisik harus mengubah cara beroposisi. Mungkin kita bisa meminjam istilah PKS sebagai ‘oposisi loyal’. Namun, oposisi loyal bagi kelas menengah berisik ini adalah untuk memberi kritik sekaligus cara atau solusi untuk memperbaiki kesalahan sebuah kebijakan. Tidak hanya untuk merahayukan demokrasi tetapi juga untuk menghadapi pergerakan kaum oligarki dalam membajak demokrasi.

Oleh karena itu, warga harus mengambil kembali politik dan membuatnya bekerja untuk mereka. Ketika mereka melakukan hal ini mereka menemukan bahwa mereka dapat membangun kekuatan tanpa selalu harus berjuang sengit di atasnya, dan dengan demikian memiliki dampak positif pada dunia yang mereka tempati. Masyarakat sipil yang berpikir dan bertindak secara politik berarti mampu mengartikulasikan kepentingan dan kebutuhan sendiri. Setiap entitas kelompok di masyarakat harus mengakui adanya kepentingan orang lain yang berbeda, lalu berupaya untuk memahami mereka, dan memikirkan cara-cara solutif dan negosiatif untuk mencapai tujuan kepentingan publik. Di sini, politik bisa menjadi sesuatu untuk mengembangkan dan memperluas manfaat bagi banyak orang, bukan sumber daya terbatas yang diperebutkan.

 

Sumber: kupretist.wordpress.com

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed