by

Wacana Baru Pengajian Virtual

Kedua, kritis.

Sebagai pengagum al-Ghazali, Gus Ulil tak lantas memperlakukan teks-teks al-Ghazali layaknya kitab suci yang haram dikritik. Di banyak tempat, Gus Ulil tak segan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pemikiran Hujjatul Islam.

Lihatlah misalnya, ketika dalam al-Munqidz, al-Ghazali melancarkan kritik terhadap para filosof Yunani, dalam hal ketidakmampuan mereka menghadirkan argumen burhani (demonstratif) saat membahas isu-isu ketuhanan. Al-Ghazali menyebut para filosof terjatuh dalam kegagalan bernalar (aghālith).

Gus Ulil mengajukan keberatan: mensyaratkan argumen burhani dalam seluruh isu ketuhanan adalah hal yang nyaris tak bisa dilakukan oleh siapapun, termasuk teolog muslim sendiri. Buktinya, antar sekte umat Islam sendiri kerap terjatuh pada perdebatan sengit.

Masih banyak lagi contoh yang lain. Dalam oret-oretan selama pengajian Ramadhan, saya mencatat sekitar tujuh belas poin Gus Ulil memberi “catatan kaki” atas pemikiran al-Ghazali dengan ungkapan, “Dalam hal ini saya pribadi kurang setuju, meskipun pendapat beliau harus kita hormati.”

Ketiga, kaya literatur.

Menyimak pengajian Ihya` dan al-Munqidz, kita serasa dijejali materi perkuliahan berbagai disiplin ilmu: teologi, filsafat, fisika modern, kimia, biologi, geometri hingga astronomi. Saya berulangkali menggeleng-gelengkan kepala, ketika Gus Ulil dengan fasih mengurai teori Barat, sekaligus dengan judul buku dan nama penulisnya. Kalau referensi Arab, tentu tak perlu dibahas lagi.

Santri “kolot” seperti saya mendadak berkenalan dengan nama-nama filosof modern sekelas Habermas, Derrida, dan Focault. Saya juga diajak berkenalan dengan pemikiran saintis modern seperti: Stephen Hawking, Sam Harris, Danniel Dennet, dan Richard Dawkins.

Khusus nama yang terakhir, bukunya The God Delusion langsung saya unduh. Gus Ulil berkali-kali menyebut buku ini dalam pengajiannya. Karena keterbatasan membaca literatur Inggris, saya menelusuri terjemahannya yang berbahasa Arab berjudul Wahmu-l Ilah yang diterjemahkan oleh Bassam al-Baghdadi. Dari kata pengantar penerjemah, saya tahu bahwa ternyata buku ini terlarang di seluruh Jazirah Arab, karena dianggap mempromosikan atheisme.

_____________________________

Tiga poin di atas saya rasa cukup mewakili corak dari setiap pengajian Gus Ulil. Tiga poin itu saya anggap modal utama seorang santri dalam berinteraksi dengan turats yang mereka geluti. Ini sekaligus menjawab kegelisahan mengapa kajian-kajian online kitab kuning jarang diminati para netizen. Selain karena stagnan dengan metode tradisional, yang terjadi hanyalah pembacaan teks yang bersifat pengulangan. Kering kontekstualisasi, minim daya kritis, dan miskin literatur tambahan.

Dengan rumus 3K di atas, Gus Ulil sejatinya hendak memberi warna baru dalam dunia pengajian virtual yang mau tidak mau akan dimasuki dunia pesantren. Melalui cara pembacaan tadi, kitab Ihya’ dan Al-Munqid tak lagi menjadi kitab turats yang usang, yang hanya merespon peristiwa zamannya.

Meminjam istilah pemikir kontemporer Maroko Abid al-Jabiri, turats tak hanya relevan buat dirinya (mu’ashiran linafsihi), tapi juga relevan buat pembacanya (mu’ashiran lana).

Singkatnya, Gus Ulil mempraktekkan cara cerdas membaca turats, hingga ia tidak menjadi monumen peradaban yang asing dan membosankan untuk kita konsumsi di zaman ini. Matur nuwun, Gus.

#KuisNgajiIhya
#KesanSantriOnline

Sumber : Status Facebook Fahmi Santri Ahgaff

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed