by

Virus Tentara Allah

Beberapa orang menginginkan India untuk semua, tapi Ali Jinnah ingin membawa kaum Islam mendirikan negara Pakistan, berpisah dari India. Dari sanalah persaudaraan Islam dan Hindu pecah. Meski umat Islam yang tetap setia dan mendukung gagasan Gandhi tak sedikit. India untuk semua.

Menerobos kerumuman orang yang berdoa tak jauh dari kamar Gandhi, seorang lelaki melemparkan parangnya, tak jauh dari pembaringan Gandhi. Lelaki itu marah, dan dimaki-makinya Gandhi. Dia seorang Hindu, anak-anaknya tewas dibantai kelompok Islam. Dia tak peduli apapun, juga omongan Gandhi agar rakyat India bersatu. Dia ingin balas dendam. Tak peduli dengan neraka. Ia merasa sudah berada di neraka.

“Kau ingin tahu jalan keluar dari neraka?” bertanya Gandhi pada lelaki yang marah itu. “Angkat anak dari anak-anak muslim, yang juga kehilangan orangtuanya, karena terbunuh dalam konflik itu. Asuhlah dia dengan agamamu, tapi biarkan dia tumbuh dengan agamanya. Maka kau akan terbebas dari neraka,…”

Lelaki Hindu yang semula beringas, makin mendelikkan matanya ke arah Gandhi. Tapi dengan gemetar, tiba-tiba ia bersujud. Mencium kaki Gandhi dengan tangisnya yang pecah.

Gandhi adalah manusia nyata yang pernah ada di dunia, yang Albert Einstein pun tak mampu memecahkan rahasianya. Bagaimana mungkin di bumi ini, ada manusia seperti Mahatma Karamchand Gandhi?

Gandhi akhirnya bertemu dengan Muhammad Ali Jinah, dan mengatakan India bersatu ialah menunjuk Jinnah sebagai Perdana Menteri pertama. Jawaharlal Nehru, kompetitor kuat Jinnah, tunduk pada keputusan mutlak Bapak India yang dihormatinya. Tapi Jinnah tetap pada keputusan, mendirikan negara Pakistan yang muslim, daripada tetap di India yang majoritas Hindu.

Sebelumnya, menjelang keberangkatan Gandhi menemui Jinnah, di pintu gerbang ashram, berjubel para pemuja dan pengikut fanatik Gandhi. Mereka menutup pintu gerbang dengan membuat pagar betis. Mereka tak ingin Gandhi pergi menemui Jinnah.

Namun ketika Gandhi lewat, orang-orang itu ternganga, kelu, tak kuasa, diam kaku. Membiarkan Gandhi leluasa menerobos pagar betis. Gandhi marah, atau setidaknya menaikkan volume suara lebih dari biasanya; “Saya adalah seorang Hindu, Islam, Yahudi, Sikh,…!”

Sekarang ini, dunia diserbu tentara Allah yang oleh manusia dinamai Corona (corona virus disease 19, atau Covid-19). Tapi ini bukan tentara Allah yang jahat, seperti dikutbahkan oleh Uasuwok. Ini tentara Allah yang sejati. Untuk mengingatkan ummat akan esensi agama kembali, ke fitrahnya yang mestinya bernalar, bermartabat, welas asih. 

Bukan kok sekedar dipakai secara ecek-ecek melawan virus dengan cara konyol, mengeksploitasi fanatisme buta terong ungu. Terus kemudian kalau tewas akibat virus itu, dibilangnya takdir. Padahal Takdir Alisyahbana sudah meninggal. Kalau takdir, tuhan dong yang tanggung jawab? Padal itu semua lebih karena manusia bego dan keras kepala yang tak bisa menjaga diri.

Jika virus Corona, atau penyakit apapun, bisa menyerang ulama, apalagi ustad abal-abal, pendeta, pastor, bahkan dokter, juga Ningsih Tinampi yang sakti itu, Menteri, Guru Besar, orang pinter dan kaya, orang miskin dan bodoh, tak ada hubungannya dengan segala macam status sosial itu. Dan juga bukan karena cilaka-13, sial, takdir dan seterusnya. Namun ada sebab-akibat yang terjadi dalam proses waktunya berkait status tubuhnya.

Gambaran gampangnya, dalam satu rumah pun, jika semua tertular virus flu atau batuk, ada saja yang kalis dari serbuan. Ialah yang kondisi fisiknya baik, daya imunitasnya tinggi, dan mungkin juga perilaku serta disiplinnya, relative lebih terjaga dari yang lain. Nggak ada hubungannya dengan tuhan, karena rumusnya sudah diberikan. 

Mungkin tuhan tinggal tidur saja, ketika alam semesta sudah berjalan dengan hukum-hukumnya. Mungkin lho, nggak usah ngamuk. Yang ngomong Gusti Allah ora sare, seolah menunjukkan keakrabannya, bisa menyambangi Gusti Allah sampai kamar tidurnya. Padal, dengan formulasi hukum sebab-akibat, Gusti Allah bisa tidur nyenyak. Membiarkan alam semesta bekerja dengan sendirinya. 

Yang bodoh dan lemah iman, tetap saja akan dieksploitasi oleh yang mengaku ahli agama (apa saja), ahli strategi, ahli tentara, ahli hoax, ahli omong kosong. Ahli omong kosong itu misal ngaku ahli sorga tapi tidak ahli neraka. Karena tak mungkin ada sorga tanpa adanya neraka. 

Gandhi sendiri akhirnya gugur ditembak dari jarak dekat, oleh nasionalis Hindu Mahasabha, 30 Januari 1948. Bagi Gandhi, betapa tidak pentingnya agama, ketika sama sekali justeru membuat manusia menjadi bodoh, lemah iman, dan kehilangan empati kemanusiaannya.

 

(Sumber: Facebook Sunardian Wirodono)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed