by

Ustad, Dai dan Mubalig

Penggunaan kata “ustad” ini, menurut kolegaku dari Mesir, Dr. Tarik Abdulrahim, juga bukan hanya untuk Muslim saja tapi juga untuk non-Muslim. Jadi siapapun mereka, apapun agamanya, kalau sudah mencapai “lepel propesor”, maka disebut “ustad”. Di Saudi, kata “ustad” juga kadang dipakai untuk “profesor kampus” (misalnya di “kartu bisnis” milik saya dan juga teman-temanku yang non-Muslim tertulis “ustad”) tetapi untuk panggilan sehari-hari, lebih sering menggunakan kata “duktur” (doktor) atau “burufisur” (professor).

Lalu, bagaimana dengan kata “dai” dan “mubalig”? Waktu saya bertanya tentang kata “dai” dan “mubalig”, mereka kebingungan menjawab. Setelah saya jelaskan penggunaan kata itu di Indonesia (yaitu para penceramah Muslim di panggung publik untuk masalah-masalah atau hal-ihkwal keislaman), mereka baru “ngeh” dan sadar maksudnya.

Menurut mereka, kata “dai” itu tidak ada dan karena itu tidak dipakai. Kata yang dipakai untuk penceramah keagamaan di publik itu adalah “da’iyah” (jamak: “du’ah). Lagi, kata “da’iyah” ini juga bukan hanya digunakan untuk Muslim saja tetapi juga untuk non-Muslim.

Terakhir, kata “mubalig” adalah Bahasa Arab klasik (fushah) yang hampir punah dan sama sekali tidak dipakai. Para kolega dan teman-teman Arabku pada “melongo” waktu saya minta penjelasan kata “mubalig”. Karena menurut mereka kata “mubalig” itu seperti kata “nabi” zaman bahoela yang menyampaikan pesan-pesan kebaikan ke masyarakat. Kata “mubalig” juga dipakai untuk menyebut “Imam Mahdi” yang akan datang ke dunia menjelang kiamat.

Nah, sekarang “Cikgu” mau tahu nih, bagaimana penggunaan kata ustad, dai dan mubalig ini di Indonesia, biar saya jadikan bahan penelitian dan penulisan he he? **

Sumber : facebook Sumanto Al Qurtuby

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed